Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

JURNALISTIK INDONESIA



A. Pengertian Jurnalistik
1. Etimologis
Berasal dari bahasa Perancis – journ : catatan atau laporan harian
Secara singkat, jurnalistik berarti kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari.
2. Kamus
Jurnalistik berarti kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.
3. Ensiklopedi Indonesia
Jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
4. Leksikon Komunikasi
Jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi.

Definisi Jurnalistik
1. F. Fraser Bond (dalam buku An Introduction to Journalism)
Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.
2. Adinegoro
Jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.
3. Onong Uchjana Effendy
Teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat.

B. Bentuk Jurnalistik
Jurnalistik dibagi menjadi tiga bagian besar:
1. Jurnalistik media cetak (newspaper and magazine journalism)
2. Jurnalistik media elektronik auditif (radio broadcast journalism)
3. Jurnalistik audio visual (television journalism)

C. Produk Jurnalistik
Produk jurnalistik adalah surat kabar, tabloid, majalah, buletin, atau berkalanya seperti radio, televisi, dan media on-line internet.
Surat kabar, tabloid, majalah, dan buletin dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Berita (news), meliputi:
a. Berita langsung (straight news)
b. Berita menyeluruh (comprehensive news)
c. Berita mendalam (depth news)
d. Laporan mendalam (depth reporting)
e. Berita penyelidikan (investigative news)
f. Berita khas (feature news)
g. Berita gambar (photo news)
2. Opini (views)
Meliputi: tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, kolom, esai, dan surat pembaca.
3. Iklan (advertising)
Dari ketiganya, hanya news dan views yang termasuk produk jurnalistik, sementara iklan bukan produk jurnalistik meskipun teknik yang digunakan merujuk pada teknik jurnalistik.

D. Sekilas Perkembangan Jurnalistik
1. Kelahiran Wartawan Pertama
Pada zaman Romawi lahir wartawan-wartawan pertama. Terdiri atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
2. Jurnalistik di Eropa
Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada 1609. sembilan tahun kemudian, surat kabar tertua bernama Courante Uyt Italian en Duytschland terbit di Belanda. Pada 1662 Curant of General News terbit di Inggris.
3. Zaman Penjajahan di Indonesia
Jurnalistik pers mulai dikenal pada 1744 ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda. Pada abad 20, Medan Prijaji sebagai surat kabar pertama milik bangsa Indonesia terbit di Bandung. Medan Prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono.
4. Jurnalistik dalam Orde Reformasi
Sejak kejatuhan rezim Soeharto, kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers dibubarkan.
UU Pokok Pers No.21/1982 diganti dengan UU Pokok Pers No.40/1999. Siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun.

E. RUANG LINGKUP PERS
Pers mengandung dua arti. Arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk pada media cetak berkala. Dalam arti luas, pers selain menunjuk pada media cetak berkala juga mencakup media elektronik auditif dan media elektronik audiovisual berkala. Pers dalam arti luas disebut media massa.

F. Fungsi Utama Pers
Terdapat lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal:
1. Informasi (to inform)
2. Edukasi (to educate)
3. Koreksi (to influence)
4. Rekreasi (to entertain)
5. Mediasi (to mediate)

G. Karakteristik Pers
Karakteristik adalah ciri-ciri spesifik. Terdapat lima ciri spesifik pers:
1. Periodesitas
2. Publisitas
3. Aktualitas
4. Universalitas
5. Objektivitas

H. Tipologi Pers
Pers dapat dklasifikasikan menjadi tiga keloompok sebagai berikut:
1. Pers berkualitas (quality newspaper)
Penerbitan pers berkualitas memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual. Sangat dihindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas.
2. Pers populer (popular newspaper)
Pers populer sangat menekankan nilai serta kepentingan komersial. Pers ini lebih banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Sasaran pembaca pers populer adalah kalangan menengah-bawah.
3. Pers kuning (yellow newspaper)
Disebut pers kuning karena penyajian pers jenis ini banyak mengeksploitasi warna. Bagi pers kuning, kaidah baku jurnalistik tak diperlukan. Berita tak harus berpijak pada fakta, tetapi bisa saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi.
Pers kuning menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (Sex, Conflict, Crime). Pers kuning lebih banyak ditujukan kepada masyarakat pembaca kelas bawah.

I. Jenis dan Wilayah Sirkulasi Pers
Berdasarkan jenis dan wilayah sirkulasinya, pers dapat diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu:
1. Pers komunitas (community newspaper)
2. Pers lokal (local newspaper)
3. Pers regional (regional newspaper)
4. Pers nasional (national newspaper)
5. Pers internasional (international newspaper)

J. Pilar Penyangga Pers
Pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lain saling menopang (tritunggal):
1. Idealisme
2. Komersialisme
3. Profesionalisme

K. Bahasa Jurnalistik Pers
Ciri utama bahasa jurnalistik di antaranya sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah serta etika bahasa baku.


read more “JURNALISTIK INDONESIA”

KATA “ALLAH” DALAM ALQUR’AN: RELASI MAKNA TAUHID DAN TUHAN



Prolog
Tulisan ini pada dasarnya memberikan pemahaman analisis yang berlandaskan sumber utama dari bahasan yang akan dikaji. Dalam tema di atas, sebagaimana diketahui, “Allah” adalah satu-satunya sumber inspirasi dari seluruh system Al-quran yang telah menjadi kitab suci umat Islam. Tentunya secara makna “Allah” memiliki keutamaan struktur yang tidak dapat dipisahkan dari Al-quran. Keadaan yang demikian ini memberikan ruang terhadap penguatan artikulasi dan pemikiran konsep ketuhanan yang dimisikan dalam al-Quran. 
Melihat dari potensi ini, ada keyakinan yang harus terarah dalam kerangka ideologis untuk menguatkan eksistensi tuhan dalam pemikiran yang lebih bisa diterima, baik dengan landasan teologis maupun akses kemanusiaan. Sementara itu, semantic adalah salah satu peran analisis makna untuk dapat memberikan kerangka berpikir terhadap al-quran yang nota bene tersimbolkan dengan hadirnya teks.
Dalam pandangan ini, ada maksud yang tidak sekedar mencari titik temu dari keragaman pemikiran. Tetapi lebih jauh ingin mencurahkan rasionalitas ideologis dalam beberapa tinjauan semantic yang secara spesifik sebagai ilmu makna dengan sekian problematika teks, termasuk al-quran.
Dalam teks al-quran yang biasa disebut ayat, memiliki landasan teologis yang berasumsikan tiga simpul yang tidak bisa dianalisis begitu saja oleh semantic. Tiga simpul itu adalah tuhan sebagai konsep teks, kemudian nabi Muhammad sebagai artikulasi teks, dan manusia sebagai objek teks. Ketiganya ini saling ada keterkaitan yang tidak bisa dilepaskan dalam memahami teks al-quran. Dan makalah ini mencoba memberikan alternative analisis terhadap konsepsi ketuhanan yang diambil dari lafadz “Allah” dengan pendekatan semantic. 

Tentang Semantik
Semantik sebagai ilmu analisis makna, memiliki banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistic terhadap konsep makna dalam studi semantic. Pada dasarnya para filsuf dan linguist melandaskan konsep makna dalam bentuk hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran dan realitas yang sedang berkembang. Pemikiran ini melahirkan teori tentang makna yang berkisar pada hubungan antar ujaran, pikiran dan realitas di dunia nyata. Konsep ini secara umum dapat dibedakan dalam teori makna atas: 1). Teori referensial (rujukan) atau korespondensi, 2). Teori kontekstual, 3). Teori mentalisme atau konseptual dan 4). Teori formalisme. Masing-masing teori ini memiliki karakterisktik analisis makna dari setiap bentuk teks yang beragam latar belakangnya. Dan makalah ini akan memaparkan ragam teori semantic tersebut dengan disertai beberapa contoh yang bersesuaian untuk menjelaskan dasar dalam analisis makalah ini. 
Pertama, teori regerensial (rujukan) atau korespondensi. Teori ini berdasarkan konsep segitiga makna seperti yang dikemukakan oleh Odegeen dan Richards dalam bukunya “ The meaning of meaning”. Menurut Odegeen dan Richards, makna adalah hubungan antara reference dan referent yang dinyatakan dalam symbol bunyi bahasa yang berupa kata maupun frase atau kalimat. Symbol bahasa dan rujukan atau reference tidak mempunyai hubungan langsung antara refence dengan referent yang ada di alam nyata. 
Dalam teori rujukan atau korespondensi “pikiran atau reference” (dalam terminology lain sama dengan makna, “sense” atau “content” ) ditempatkan dalam hubungan causal (sebab) dengan symbol (bentuk bahasa atau penamaan) dan referen, sedangkan antara simbol dan referen terdapat hubungan yang tidak langsung. Beberapa kata seperti; KLCC, Ka’bah, Jakarta, Mahatir Muhammad, orang pertama berjalan di bulan, maka sudah pasti makna ujaran itu merujuk kepada benda atau hal yang sama. Inilah yang disebut teori referensial (rujukan) atau korespondensi dalam teori semantic.
Kedua, teori mentalisme. Ferdinand de saussure, seorang tokoh lingusitik structural yang pertama kali mengajukan studi bahasa secara sinkronis, dan juga membedakan analisis dan lengage, secara tidak langsung telah memulai teori makna yang bersifat mentalistik. Ia menghubungkan bentuk bahasa lahiriah “La Parole” dengan konsep atau citra mental penuturnya “falangue”. Teori mentalisme ini tentu saja bertentangan dengan teori referensial (rujukan). Seperti kata: “kuda terbang dan kambing berenang” adalah satu citra mental penuturnya walaupun secara nyata tidak ada. Sementara itu, dalam teori mentalisme tidak semua perkataan bisa dikaitkan dengan gambaran mental, hal ini disebabkan masing-masing perkataan mempunyai makna yang tidak mesti berasal dari abstraksi mental. 
Ketiga, teori kontekstual adalah memahami makna dari kata yang terikat terhadap lingkungan cultural dan ekologi pemakai bahasa tertentu. Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantic perbandingan antara bahasa. Teori kontekstual atau konteks situasi ini sesuai dengan pendapatnya seorang antropologi B. Malinowski dari Inggris dan apa yang di Amerika Serikat dikenal dengan hipotesis saphire-whorf. Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai nama apabila ia terlepas dari konteks, walaupun demikian ada pakar semantic yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidaka akan terlepas dari konteks pemakaiaannya. Oleh karena itu, pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan makna sekunder atau makna kontekstual secara tidak langsung mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna. 
Keempat, teori pemakaian dari makna atau formalism, teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman L. Wittgenstein (1890 dan 1858). Wittgenstein berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Di sini makna tidak dapat digariskan di luar kerangka pemakainya. Bagi Wittgenstein bahasa merupakan suatu bentuk permainan yang diadakan dalam beberapa konteks dengan beberapa tujuan. Bahasa pun mempunyai kaidah yang membolehkan beberapa gerakan tetapi melarang gerakan yang lain. Wittgenstein memberi nasehat, “jangan menanyakan makna sebuah kata; tanyakanlah pemakainya”, maka lahirlah suatu dalil tentang makna: makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakainya dalam masyarakat bahasa.
 
Al-Quran dalam Peran Tauhid
Sebagai sebuah teks ideologi (baca: kitab suci), al-Quran terlahir dengan beban sejarah yang teridentifikasi dalam misi dari beberapa kitab suci sebelumnya. Beban ini secara naluri memberikan kesan positif terhadap re-ideologi al-Quran. Naluriahnya tercermin semenjak pergulatan ideology it uterus menghembus dengan pedoman yang telah mengukur dalam kultur masyarakat Arab. Kulturisasi ideology ini tertanam dari sebuah nilai kepercayaan dengan segala bentuk interaksi kemanusiaan hingga membentuk sikap dan emosionalitasnya. Pada tahapan ini secara sadar segala bentuk kitab suci yang terlahir mudah mendapatkan tempat dalam komunitas yang secara kultur dan sosial terlegitimasi, termsuk al-Quran.
Pendapat ini teriyakan dengan tersejarahkannya kehadiran kitab suci dari proses lingkaran ideology yang sama. Kalau diruntut dari misi ideologis itu, sejak Taurat, Zabur dan Injil akan menampakkan struktur pengembangan ideology yang berbasis kultur sama hingga kepada pembentukan al-Quran. Kekuatan inilah yang membentuk sandaran penerimaan kultur teks ideology al-quran dari pedoman yang telah terbangun sebelumnya.
Karakter ini menjadi hal penting dalam analisis structural dari nilai-nilai ideologis al-Quran. Kepentingan yang wujud terlihat dalam tekstualitas ideologis yang saling menguatkan antara satu kitab dengan kitab berikutnya, yang selanjutnya menjadi pedoman dari kehendak yang terus terbarui dengan pesan-pesan yang sama. Salah satu dalam pesan ini adalah pesan kunci terhadap symbol dan konsep tauhid. Keadaan ini dibenarkan dalam al-Quran yang berikutnya menjadi “kesimpulan” dari persoalan ketuhanan yang sebelumnya penuh dengan pertentangan.
 Kesan selanjutnya adalah penegasan ideology al-Quran. Seiring dengan beban sejarah tadi, ada perbedaan konsepsi teks dengan kitab suci sebelumnya dimana al-Quran berposisi sinergis dengan kehendak tuhan untuk menjelaskan problem manusia. Maka turunlah al-Quran secara berangsur-angsur sebagai bentuk sinergitas dengan Tuhan. Al-Quran turun dengan berangsur-angsur itu, satu sisi sebagai legitimasi kultur dari dinamika sosial yang terus berlaku dengan segala problemnya. Dari sinilah al-Quran hadir dengan berlandskan masyarakat local untuk menjadi bhan universalitas teks dengan membentuk pedoman-pedoman Tuhan. Namun demikian, terdapat hal-hal tertentu dimana al-Quran juga memainkan peran pada nostalgia sejarah dengan menghadirkan pesan-pesan ideology masa lain untuk dapat diterjemahkan dalam lingkaran universalitas al-Quran. Maka, muncullah cerita-cerita pembentukan maupun benturan sosial ideologis dari nabi-nabi terdahulu sebagai penguatan akses teologis yang di pesankan al-Quran.
 Dari beberapa landasan sosiologis dan ideologis tersebut, al-Quran diturunkan dengan dua fase yang biasa disebut dengan fase makkiyyah dan madaniyyah. Dua fase ini masing-masing memiliki karakter semantic yang berbeda. Makkiyyah yang teridentifikasi sebagai pembentukan teologis memberikan kesan semantic terhadap teks dalam pengenalan dari setiap unsure nilai ketuhanan yang harus diperankan oleh manusia. Sementara madaniyyah memiliki teks yang lebih mengutamakan terhadap hubungan sosiologis dari sekian problematika masyarakat yang plural. Dari sini nampak bhwa al-Quran memberikan pedoman teks yang interaktif dari segla dimensi untuk membentuk mental manusia, baik mental ketuhanan maupun mental kemanusiaan.
 Akses berikutnya, al-Quran secara definitive tersempurnakan dengan berbagai pedoman teks yang dapat digeneralisasikan dari sekian problem kehidupan manusia, yang dalam bahasa teologis menjadi pedoman agama (baca: Islam). Sisi ini dalam analisis yang sederhana merupakan bentuk penggabungan terhadap pengakuan Tuhan dan berproses untuk menjadi pengakuan manusia terhadap al-Qur’an sebagai kitab suci. Oleh sebab itu, konsep lil alamin (untuk seluruh alam) atau hudan li an-nas (petunjuk bagi manusia. Sebagaimana proses di atas, merupakan tanggungjawab yang lebih bisa diterima sebagai landasan kesucian al-Quran, di mana dalam karakteristik sosiologis telah mengakar pada emosionalitas manusia yang bisa diterima dengan aspek rasio kultur.
Pada tataran ini teks al-Quran melegitimasikan kebenaran nalar manusia dengan teks yang selalu diakhiri dengan kata ta’qilun (kamu berakal) yang sebelumnya sering diawali dengan a fala (maka, apakah tidak), jadi a fala ta’qilun (maka, apakah kamu tidak berakal). Dari kata ini, nampak memberikan penguatan teks yang diterima oleh manusia sebagai wahyu yang dapat berdialog dengan akal manusia. Dalam analisis linguistic, ta’qilun merupakan kata untuk dibahasakan terhadap orang kedua, yang dalam kaidah linguistic bahasa Arab dikatakan mukhatab. Dimensi teks dari kata ini menunjukkan ada kehendak Tuhan untuk membawa manusia pada dimensi dialogis dalam merespon konsep tauhid. Sementara itu karakteristik teks tauhid yang berkembang dalam al-Quran, menunjukkan bahwa Allah merupakan manifestasi puncak tauhid yang menginspirasikan rasionalitas dari celah-celah keterbatasan yang ada dalam diri manusia, seperti berbicara tentang alam kubur, sebelum dan sesudah kehidupan, balasan kebaikan dan keburukkan, norma dan nilai kehidupan, yang kesemua persoalan ini terkaitkan dengan proses keimanan. Jadi, kerangka kesimpulan dasarnya adalah bahwa peran tauhid yang diemban oleh al-Quran sebagai reaksi untuk meminimalisir dogma.
Dalam analisis tauhid yang lebih spesifik, beberapa ayat nampak ada kesinambungan teks antara yang dibangun berlandaskan kultur dengan penerimaan akal manusia terhadap kebenaran teks yang hadir. Ayat-ayat tauhid ini, sebagian memberikan kebenaran lama yang telah terkontaminasi kultur dan sosial dengan memformulasikan konsepsi yang lebih benar. Konsepsi ini secara semantic mengandung ayat-ayat yang mempunyai kecenderungan makna lugas dan tegas. Karena memang sebagian besar ayat-ayat tauhid turun pada fase makkiyyah yang memiliki ciri-ciri ayat-ayat yang pendek.
Dalam analisis sejarah teks, beberapa teks yang berbasis teologis tersebut nampak memberikan penguatan terhadap symbol-simbol ideology yang sebelumnya telah ada. Sehingga penggapaian tauhid memiliki karakter teks yang multi problem ketuhanan yang hadir dalam masyarakat waktu itu. Beberapa persoalan ketuhanan tersebut dibangun secara intens oleh al-Quran yang secara naluriah rasio ikut dalam arus rasionalitas budaya masyarakat Arab waktu itu.
Pada pembahasan semantic, struktur konsep tauhid berada pada tingkat sejajar dari teks yang m,enaungi seluruh konsep ketuhanan yang berkembang saat itu. Analisis ini melihat dari sudut teks al-Quran yang menjadi rujukan utama dalam konsepsi Tauhid untuk dapat diterima oleh manusia. Beda dengan beberapa teks suci yang lain, al-Quran selalu menjadi inspirasi terhadap persoalan-persoalan baik sosiologis maupun teologis yang sedang dihadapi masyarakat sebagai bentuk argumentasi nalar.

Struktur Semantic “Allah”  
Pada bagian ini, merupakan pembahasan inti dari analisis kata “Allah” yang sebelumnya telah dianalisis dalam konsep tauhid dan wahyu. Sebagai gambaran awal, dialektika tauhid dan wahyu merupakan landasan analisis dalam menggambarkan “Allah” dalam kerangka kata dan beberapa kaitan yang berhubungan dengan problematika bahasa. Kaitan dengan analisis tauhid dan wahyu. Kata “Allah” merupakan rujukan dari garis struktur konsep tauhid ataupun wahyu. Karena memang keduanya hasil dari inspirasi pedoman-pedoman ketuhanan yang tersimbolkan dengan kata “Allah” yang mendominasi kata dan makna dalam al-Quran.
Baik tauhid dan wahyu memiliki argumentasi struktur semantic yang legitimasi akhirnya sama, yaitu Allah. Keberadaan ini, menjadi akses struktur makna yang akan memberikan gambaran bahwa “Allah” melingkari dari aspek system ideology yang menyeluruh terhadap alam semesta.
Landasan awal dari analisis ini adalah bahwa Allah sumber wujud satu-satunya yang legitimit untuk memposisikan manusia sebagai eksistensi penghambaan, atau dengan bahasa lain pencipta dan yang diciptakan. Dalam proses ini, ada otoritas Allah yang menentukan keberlangsungan system doktrin manusia dengan apa yang disebut takdir. Pada pendapat ini, ada pengakuan yang diperoleh manusia dalam merespon identitas penghambaan dengan segala bentuk permasalahan yang akan dihadapi oleh manusia, termasuk kelahiran, kehidupan dan kematian.
Perjalanan al-Quran yang secara sinergis membentuk sikap dan identitas ideology ini, berlangsung dari “simbolitas” Allah yang secara medan semantic menguasai seluruh makna dalam al-Quran. Penguasaan makna ini berlangsung pada generalisasi teks yang dikaitkan dengan norma-norma dari konsep identitas Tuhan. Penyerapan dari generalisasi teks tersebut secara ideologis memang dikehendaki dengan adanya konsep pahala dan dosa ataupun surga dan neraka, yang kesemuanya mempunyai landasan sebagai bentuk manifestasi nilai-nilai ketuhanan. Sehingga ada karakter yang harus dipilih oeh manusia dalam memaknakan kehidupan ini dengan pilihan yang telah terdapat garis norma-Nya. Konsep inilah yang dalam analisis semantic dapat disebut sebgai core teks (teks inti). Artinya, Allah menjadi kekuatan dari seluruh struktur dan makna serta seluruh system yang ada pada teks al-Quran, dan ini yang menjadi legitimasi terhadap seluruh makna dari universalitas makna al-Quran. Kalau diruntut dalam lingkaran hubungan yang berlaku, maka Allah berada di tengah-tengah dalam dunia yang wujud dan objek-objek lainnya, baik manusia maupun mahluk lainnya, termasuk di sini al-Quran. 
Secara sinonim ada tiga nama yang secara mandiri bermakna Tuhan, yaitu Allah, Rabb dan ilah. Ketiga kata ini memiliki akses kata yang – secara semantic berhubungan dengan persoalan ketuhanan. Makalah ini akan memberikan analisis sifat kedekatan antar kata yang saling berhubungan. Di mana Allah sebagai kunci utama dalam pemhaman Rabb dan ilah. Pada tataran makna ketiga kata ini (Allah, Rabb, Ilah) memiliki makna kata yang dalam penggunaan bahasa baik dialek maupun teks memberikan makna sama, yaitu tuhan. Prinsip dasarnya hanya dibedakan dalam persambungan kata yang menyertai di antara ketiga kata tersebut.
Dalam teori mentalisme, kata Allah telah tersimbolkan sebagai penguasaan makna yang telah terikat dengan penutur yang secara ideologis membentuk pengakuan bahwa Tuhan itu adalah Allah. Pemaknaan disini menyambung dari analisis referensial bahwa kata “Allah” adalah symbol yang tertulis dan terbahasakan dari konsep ilah (Tuhan). Pada proses ini ada kesenjangan makna dalam kata “Allah” itu sendiri dengan emosionalitas beberapa konsep ketuhanan yang lain. Apalagi dengan kata dan bahasa yang sama. Karena memang kata “Allah” berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, secara mentalisme dan referensial kata “Allah” masih melihat pada siapa penutur kata “Allah” untuk dapat secara tepat sesuai dengan maknanya. Dan pemahaman ini menolak generalisasi kata “Allah” dalam pengertian umum sebagai Tuhan, tetapi kata “Allah” masih harus berkomunikasi dengan mentalitas dan pengakuan penutur terhadap konsep Tuhan yang teridentitaskan dalam kata “Allah”.
Pada konsep selanjutnya, kata “Allah” telah terdefinisi dalam berbagai logika yang memerankan umat Islam pada penghambaan yang telah menjadi system antara teks al-Quran dengan budaya dan lingkungan. Sejak proses ini Allah tidak lagi menjadi kata, tetapi telah menjadi bagian dari system kehidupan yang berada dalam lingkaran kehidupan yang harus ada. Namun demikian, proses ini tidak dapat dipisahkan dari pengakuan budaya tersebut terhadap legalitas kata “Allah” untuk menjadi identitas bahasa dalam interaksi kulturnya. Dan disinilah bentuk komunikasi Tuhan dan manusia itu berjalan.
Ala kulli hal, pengakuan ketuhanan adalah manifestasi dari perimbangan fakir dan emosional untuk betul-betul berani mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan. 


read more “KATA “ALLAH” DALAM ALQUR’AN: RELASI MAKNA TAUHID DAN TUHAN”

KEMUNGKINAN MEMBANGUN PSIKOLOGI QUR’ANI



Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan?

Behaviorisme
Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia.
Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa.

Freudianisme
Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang. 
Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.

Psikologi Humanistik
Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban.
Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien.  
Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting.
Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness).
Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya. Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk.
Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti.

Menuju Psikologi Qur’ani
Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap.
Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi. Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani.
Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia.


read more “KEMUNGKINAN MEMBANGUN PSIKOLOGI QUR’ANI”

KEBANGKITAN KAUM MUDA TUNTASKAN TRANSISI



"Ketika engkau menangis di saat kelahiranmu, orang-orang disekelilingmu justru tertawa gembira.
Maka pastikan dirimu tertawa gembira ketika mereka menangis disaat kematianmu."
(Syair Arab)

Tahun pertama digulirkannya reformasi, sejak tumbangnya rezim otoriterian Soeharto 21 Mei 1998 yang selanjutnya diserahkan kepada Habibie untuk mengantarkan reformasi sampai pada pemilu’99, saat itulah kita harapkan istilah transisi menuju demokrasi itu berlaku. Lebih dari itu, besar sekali resikonya kalau kita menganggap kondisi itu masih bagian dari proses transisi. Karena indikator transisi sangat sederhana, bahwa ketika tumbangnya suatu rezim otoritarian, saat itu ada semangat di hati rakyat dan bangsa ini untuk mengantarkan transisi menuju alam yang demokratis. 
Namun, ketika semangat itu meluntur, stagnan, membusuk dan mati, maka saat itu pulalah transisi tidak boleh lagi kita biarkan berlangsung. Usaha yang dilakukan dalam membangun institusi demokrasi yang kuat telah kalah cepat dengan matinya semangat di hati rakyat. 
Dari kasus-kasus transisi demokrasi yang pernah dialami oleh negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan, bahwa transisi demokrasi tersebut lebih memperkenalkan kepada kita suatu pemindahan kekuasaan rezim otoriter tertentu menuju ‚“sesuatu yang lain“ yang itu tidak pasti. ”Sesuatu” itu lebih mengarah kepada ketidakpastian yang luar biasa, beserta kejutan-kejutan besarnya, liar, mengandung dilema pelik, banyak peristiwa-peristiwa yang menuntut pilihan-pilihan dan tanggung jawab besar serta mengandung konsekuensi berat secara etis, ideologis dan politis.
Dalam mengarahkan dan memprediksi masa depan, transisi masih melibatkan unsur-unsur kebetulan dan tidak dapat diramalkan, serta keputusan-keputusan krusial yang diambil secara tergesa-gesa berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan dalam kondisi yang tidak tenang. Kondisi seperti ini seringkali menjadi kisah romantisme masa lalu rezim terdahulu, sembari menyesali dan menyalahkan kebangkitan yang terjadi hari ini, seolah-olah lebih mengarah pada gerakan yang menjauhi ”ketenangan”(sebagai nilai lebih rezim terdahulu) dengan memberi kesan ‘kacau’. 
Menurut Guillermo O’Donnel, ada tiga kemungkinan yang dialami oleh suatu negara dalam proses transisi; ”pertama, ‘sesuatu’ yang tidak pasti itu bisa jadi adalah sebuah pemulihan suatu demokrasi politik kearah yang lebih baik”. Kemungkinan ini bagi Indonesia tentunya sudah gagal selama 5 tahun proses transisi berjalan, wajah demokrasi itu belum juga memperlihatkan wajah demokrasi yang sebenarnya, yang bisa kita dapatkan dalam proses transisi demokrasi ini hanyalah sebuah ‘kebebasan’ semata tanpa menyentuh substansi demokrasi yakni ‘keberdayaan’ rakyat. 
Atau ”yang kedua, ‘sesuatu’ itu adalah sebuah restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk dari pada rezim pemerintahan otoriter terdahulu”. Mungkin ini yang lebih tepat untuk wajah transisi demokrasi kita, hasilnya hanya kekisruhan, yakni sekedar penggiliran kekuasaan diantara serangkaian pemerintahan yang telah gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan, justru dapat diramalkan transisi ini hanya sebagai bentuk pelembagaan kekuatan politik baru. 
Atau kemungkinan ”yang ketiga, bahwa transisi berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi kelompok-kelompok ‘revolusioner’ yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dan radix dari kenyataan politik yang ada”. Gearakan-gerakan semacam inipun hari ini sudah mulai kita saksikan. Berbagai macam tawaran-tawaran alternatif perubahan yang sangat mendasar sudah mulai digagas, melihat arah reformasi yang selama ini menjadi amanah penguasa baru selalu di khianati.
Selama 5 tahun ini, kita sudah tiga kali terjadi pergantian Presiden, dan semuanya kita lakukan dalam kondisi emergency dan insiden. Dan hari ini, tepatnya 23 bulan kepemimpinan Megawati, desakan-desakan ’turun’ (walaupun terasa ’berat’ untuk menurunkannya) mulai marak lagi demonstrsi di seluruh Indonesia. Permasalahan sebenarnya adalah bukan bagaimana kampus gemuruh lagi, aksi-aksi turun kejalan mulai heroik lagi dan semua forum-forum diskusi mulai ramai membicarakan kejatuhan Megawati lagi, tetapi Pemerintahan Megawati dinilai lebih buruk daripada tiga rezim sebelumnya. 
Konsolidasi rezim yang jauh lebih berbaya daripada rezim status-quo sebelumnya (dengan perangkat UU yang telah disiapkan), kran demokrasi akan disumbat kembali, ’wong cilik’ semakin sengsara dengan jumlah rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 60% (bagaimana dengan jumlah rakyat yang berada pada garis kemiskinan?), pengangguran sudah mencapai 40 juta jiwa, aset-aset potensial dijual secara membabi buta, KKN semakin merajalela (kalau Soeharto yang KKN keluarga dan orang-orang dekatnya, tetapi Megawati sampai tetangga-tetangganya ikut KKN), masuk dalam lubang yang sama dengan Buloggate III-nya dan agenda reformasi tidak berjalan secara signifikan. Inilah gambaran akhir transisi demokrasi yang kita alami saat ini.
Akhir dari perjalanan transisi sebuah negara, sejarah membuktikan bahwa hampir semua perjalanan transisi selalu diwarnai oleh kebangkitan kaum mudanya. Munculnya gelombang revolusi di Eurasia pada pertengahan abad XVII dan “era revolusi demokratis“ akhir abad XVIII seiring dengan meningkatnya jumlah angkatan muda yang begitu besar di negara-negara Eropa saat itu. Kenaikan angkatan muda Iran tahun 1970 mencapai 20%, mendorong terjadinya revolusi Iran tahun 1979. 
Konon, Reformasi Protestan merupakan salah satu contoh sejarah gerakan yang dilakukan oleh kaum muda, sebagai reaksi terhadap stagnasi transisi dan korupsi yang melanda berbagai institusi, mendorong kearah sesuatu yang lebih murni dan lebih sesuai dengan ajaran agama mereka. 
Bahkan dalam sebuah penelitian salah seorang kelompok militan Islam Mesir tentang posisi strategis kaum muda, bahwa ciri gerakan Islam yang ambil bagian dalam proses perubahan, hampir sama dengan ciri gerakan agama-agama lain. Merka memiliki lima ciri khas; mereka adalah kalangan muda, berusia sekitar 20-30 tahun, 80% dari mereka adalah mahasiswa atau lulusan universitas, lebih dari setengahnya berasal dari elite perguruan tinggi atau berasal dari kalangan intelektual yang memiliki spesifikasi bidang teknik dan kedokteran dan lebih dari 70% berasal dari kelas menengah yang lebih rendah, sederhana tetapi tidak berasal dari kalangan miskin, mereka angkatan pertama yang memperoleh pendidikan di keluarganya. Merekalah dalam sejarah yang berhasil memberikan manifestasi-manifestasi politik kebangkitan masyarakat pada akhir abad XX. Kejayaan sebuah negeri dicapai saat “kekuasaan politik“ berada di tangan mereka.
Realitas sejarah inilah yang menjadi kekeliruan terbesar bangsa kita hari ini, ketika Kaoem Toea masih diberi kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan ‘Politik’ negeri ini. Tanpa bermaksud mendikotomi dan menghilangkan peran dan jasa yang sudah mereka sumbangkan untuk perubahan negeri ini, secara subyektif dan obyektif layaklah kiranya kita harus berani menempatkan keduanya (Kaum Muda dan Kaoem Toea) pada posisi dan peran yang semestinya. 
Suatu yang riil kita saksikan sepanjang sejarah, bagaimana Kaoem Toea dalam pengambilan keputusan politik negeri ini tampak sekali keragu-raguannya, masih tampak malu-malu, enggan mengambil resiko, koorporatif dan lamban. Semua ini kita pahami sebagai suatu yang lumrah dan manusiawi bagi mereka yang punya masa lalu. Masa lalu ini menjadi faktor penghambat terbesar bagi seseorang pemimpin yang akan mengambil keputusan saat ini. Apalagi masa lalu yang pernah dilewatinya itu adalah masa lalu yang buruk. Selama memimpin dia akan selalu dihantui oleh trauma-trauma masa lalunya yang buruk itu. 
Sangat bijaklah kiranya kita memberikan Kaoem Toea ini kesempatan bagi mereka untuk lebih menyiapkan masa toeanya itu dengan baik dan tenang tanpa lagi dibabankan amanah-amanah yang akan melalaikan mereka dalam mempersiapkan masa Toeanya itu. Sebagai bagian dari kelapangan dada, kita doakan sekaligus agar mereka kelak menemui ajalnya secara khusnul khaatimah.
Memang sangat menyolok dan beralasan perbedaan peran Kaum Muda dan Kaoem Toea. Kaoem Toea adalah mereka-mereka yang hanya tersisa masa lalunya dan sudah tidak punya lagi masa depan, sedangkan Kaum Muda adalah mereka yang belum punya masa lalu dan yang hanya punya masa depan. 
Jadi, sangat arif dan bijaklah kalau hari ini Kaum Mudalah yang mengambil peran Kepemimpinan ‚’Politik’ itu. Artinya Kekuasaan ‚’Politik’ sepenuhnya di tangan Kaum Muda, seperti adili Soeharto, tangkap para koruptor, pemberantasan KKN, pemutusan hubungan dengan IMF, cabut dwi fungsi TNI, Kebijakan Operasi Militer, Rekomendasi amandemen UUD, pengawasan penegakkan wibawa hukum dll., sedangkan untuk peran-peran lainya tentunya tetap melibatkan Kaum Profesional, termasuk itu Koem Toea yang punya kompeten di dalamnya.
Suatu hal yang penting dari pernyataan Samuel P.Hantington, bahwa ‚“pada akhir perempat abad XX pengaruh dan kiprah politik gerakan-gerakan Kebangkitan yang dipelopori generasi muda yang berorientasi medern saling berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Namun, terdapat kecenderungan yang hampir sama. 
Secara umum, gerakan-gerakan tersebut tidak memperoleh dukungan dari para elite dan golongan Toea” (SPH, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order). Pernyataan ini jauh sebelumnya, 15 abad lalu Muhammad S.A.W., pernah mengingatkan bahwa:” Risalah yang aku bawa ini pertama-tama datang mendapat sambutan dari Kaum Muda dan ditentang oleh Kaoem Toea”. Dan tercatatlah barisan Kaum Muda saat itu diantaranya; Ali bin Abi Thalib (15 tahun), Zubair bin Awwam (20 tahun), Utsman bin Affan (22 tahun), Ummar bin Khatab (27 tahun), Abu Bakar as Siddiq (37 tahun) dan shahabat-shahabat lainya yang juga masih muda di bawah 40 tahun usia Rasul saat itu. Dan Kaoem Toea Makkah saat itu menenatang dan bahkan memeranginya. 
Kenyataan ini membuat Montgomori Watt (seorang Muhammadien asal Prancis/pencinta rasul tapi tidak mau masuk agama Islam) memberikan kesimpulan bahwa ISLAM adalah Gerakan Kaum Muda. Karena tambahnya, kelemahan terbesar Kaoem Toea adalah terletak pada lemahnya sisi berfikirnya dan sisi pengorbanannya. Jadi, hari ini gagasan Kepemimpinan ’Politik’ Kaum Muda sudah harus dimulai. Artinya kekuasaan ’politik’ sudah harus ditangan kaum muda. Agar keputusan-keputusan politik yang selama ini sudah kehilangan wibawa dan kredibilitasnya, mulai menemukan kembali kewibawaan dan kelugasanya. Ini sangat berarti sebagai awal bagi kita yang ingin menuntaskan perubahan, mendambakan kemenangan dan merindukan kejayaan bagi Indonesia Baru.


read more “KEBANGKITAN KAUM MUDA TUNTASKAN TRANSISI”

KOMPUTER UNTUK PENDIDIKAN



PENDAHULUAN
Pendidikan generasi muda dalam membentuk sumber daya manusia yang potensial merupakan kunci utama kemajuan suatu bangsa. Inti pendidikan itu sendiri pada dasarnya adalah proses alih informasi dan nilai nilai yang ada. Selama proses ini terjadi, pengalaman dan penalaran pengambilan keputusan seseorang akan bertambah baik. Hasil akhir suatu proses pendidikan adalah terbentuknya seseorang yang mampu berdiri sendiri, bekerja dan tak pernah berhenti untuk belajar serta mengembangkan apa yang telah diperolehnya. Kami berpendapat bahwa hambatan yang ada umumnya hanya berkisar pada "tak kenal maka tak sayang". Penanggulangan permasalahan ini, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan komputer akan dibahas dalam tulisan ini.
Proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan secara umum melibatkan empat buah komponen utama, yaitu murid, "guru", lingkungan belajar dan materi pelajaran. Keempat komponen ini mempengaruhi murid dalam mencapai tujuan belajarnya. Tentunya setiap murid mempunyai berbagai tingkat kemampuan yang berlainan ditinjau dari aspek daya tangkap, pengetahuan yang dimilikinya dalam bidang yang akan dipelajari (prior knowledge), motivasi belajar, ketrampilan belajar (learning skill), tujuan utk belajar dll.
Dengan semakin canggihnya dunia teknologi mikroelektronika, peran komputer tidak mungkin diabaikan begitu saja. Tentunya komputer bukan tanpa masalah untuk dapat diterima oleh masyarakat. Masalah seperti buta komputer (komputer illiterate), kesiapan mental dan juga harga yang relatif masih cukup mahal perlu ditanggulangi. Walaupun demikian keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya komputer juga cukup banyak. Sebagai contoh, hal ini dapat meliputi sumber informasi yang berlimpah dengan adanya fasilitas basis data (data base), perpustakaan elektronis, perpustakaan soal dan kisi kisi, membantu penyampaian / pemahaman materi, membantu latihan soal dan pemahanan materi (drill & practice, tutorial), simulasi hukum-hukum alam, membantu proses pengolahan & analisa data / informasi dan membantu proses penurunan rumus rumus matematika.
Pada kesempatan ini, kami tertarik untuk membahas peran komputer untuk pendidikan. Terutama pada proses penyampaian informasi dan pemahaman materi pendidikan pada murid-murid sekolah.

KOMPUTER ALAT BANTU PROSES PENDIDIKAN
Bayangkanlah seorang karyasiswa yang tertarik untuk mempelajari pusaran air laut. Dengan bantuan komputer dia mulai melakukan pelacakan literatur memanfaatkan fasilitas basis data di perpustakaan universitas dengan mengandalkan kata kata kunci tentang pusaran air laut. Untuk jasa ini, permasalahannya adalah masalah biaya yang akan sebanding dengan waktu penggunaan komputer. Cara perburuan semacam ini jauh lebih singkat dan menghemat tenaga.
Setelah memperoleh bahan bahan yang diperlukan, sang siswa lalu mendiskusikannya dengan pembimbing dalam pemilihan suatu topik baru dan belum pernah diteliti orang lain. Akhirnya pilihannya jatuh pada studi medan alir pusaran air laut. Untuk maksud tersebut, sang siswa perlu menghitung beberapa parameter yang menyusun suatu medan alir. Hal ini berarti perlunya informasi tentang metoda penghitungan parameter tersebut.
Katakanlah, dia berhasil menemukan makalah yang membahas tentang metoda penghitungan parameter yang diusulkan oleh seorang ilmuwan. Dengan menggunakan teknik aljabar komputer MACSYMA [1] atau MAPLE [2], solusi metoda tersebut diujinya. Jika solusi tersebut bisa dibuktikan kebenarannya secara matematis, persoalan lain telah menunggu yakni pengujian beberapa kasus fisis sederhana yang solusi teoritisnya sudah diketahui. Pemilihan suatu kasus sederhana dan umum dari berbagai kemungkinan kasus fisis yang ada merupakan seni tersendiri dan amat ditentukan oleh indera keilmuan sang siswa.
Setelah menetapkan pilihan pada suatu kasus tertentu, Kembali lagi
komputer berperan dalam proses simulasi yakni membuat data buatan kasus fisis tersebut untuk dihitung parameter parameter medan alirnya menggunakan metoda di atas. Hasil simulasi ini yang kemudian dicocokkan dengan perhitungan teoritis.
Dalam tahap pemrosesan data buatan inilah, timbul beberapa permasalahan diantaranya bising (noise). Bising ini bisa disebabkan oleh proses penghitungan misalnya penggunaan rumus turunan/differensial secara numeris atau bising yang sengaja dicampurkan ke dalam data buatan. Bising buatan ini merupakan antisipasi awal dalam menangani persoalan yang ditemui dalam pengukuran di laut yakni ketidaktepatan penentuan salah satu besaran fisis tertentu. Untuk mengatasi pengaruh kedua jenis bising ini, salah satu teknik yang memodifikasi teknik Transformasi Fourier Cepat dapat diajukan sebagai alat pembuat berbagai jenis filter.
Setelah melalui beberapa tahap di atas, sang siswa memperoleh informasi tentang kemampuan dan keterbatasan suatu metoda. Dengan mengetahui kemampuan metoda itu berarti ia atau pemakai lainnya menjadi yakin akan temuan yang diperoleh. Sedangkan menyadari akan keterbatasannya berarti alternatif pemecahan menjadi terbuka lebar melalui upaya penyempurnaan metoda yang sudah ada, pengembangan metoda lainnya atau pun pendayagunaan beberapa teknik pengolahan data yang ada, misalnya teknik penjendelaan [3] dan teknik perata rataan [4].
Contoh diatas merupakan proses belajar yang umum dialami oleh para karyasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri. Tampak berbagai disiplin ilmu dan komputer bergabung membantu proses belajar. Karena proses ini merupakan salah satu komponen pendidikan, kami menyimpulkan bahwa komputer akan memegang peranan penting sebagai alat bantu dalam pendidikan di Indonesia.
Penggunaan komputer dalam pendidikan di AS antara lain disebabkan oleh adanya kebutuhan AS utk mengajar murid yang jumlahnya besar dalam waktu yang singkat. Komputer pertama kali dipakai sebagai media pendidikan di pabrik-pabrik, bukan disekolah. Seperti diketahui AS juga pernah secara gencar menggunakan media TV utk mengajar, tetapi hasilnya ternyata tidak seperti yang diinginkan.
Mula-mula program belajar dengan komputer (courseware) tampil dalam bentuk latihan soal, tutorial, dan simulasi hukum-hukum alam. Dengan makin berkembangnya kemampuan komputer (misalnya dalam menampilkan gambar), perangkat lunak latihan soal dirasakan tidak memanfaatkan kemampuan sesungguhnya yang ada pada komputer. Keadaan bertambah runcing dengan perkembangan pengetahuan di bidang kognitif, seperti munculnya teori-teori tentang human information processing. Akibatnya para ahli dibidang komputer dan kognitif melihat bahwa komputer untuk pendidikan dapat berfungsi lebih dari sekedar alat mempresentasikan materi pelajaran. Komputer harus dapat meningkatkan cara berfikir seseorang. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan bantuan bidang AI (artificial intelligence).
"peningkatan cara berfikir" ini dirasakan penting karena perkembangan teknologi yang sangat pesat mengharuskan seseorang untuk mempunyai ketrampilan belajar (cara berfikir) yang tinggi. Dengan kata lain, proses belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan bukan proses menhafal pengetahuan. Jadi kita dapat menggunakan pengetahuan yang telah kita miliki untuk membangun pengetahuan yang baru.
Dibandingkan dengan media pendidikan yang lain, seperti overhead, tv, dan film, komputer itu lebih memungkinkan utk membuat sang murid menjadi "aktif" bermain-main dengan informasi. Perangkat lunak dapat dibuat agar interaktif. Hal ini sukar dicapai oleh media lainnya. Hal lain yang menarik, perangkat lunak untuk pendidikan dapat di sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing murid. Hal ini memungkinkan murid-murid untuk berkembang sesuai dengan keadaan dan latar belakang kemampuan yang dimiliki. Murid yang memang mampu belajar dengan kecepatan tinggi tidak perlu menunggu rekan lainnya yang memerlukan waktu lebih dalam memahami materi pelajaran.
Melihat luasnya kemungkinan penggunaan komputer untuk pendidikan, berikut akan dibahas beberapa tahapan yang dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir seseorang. Di samping itu, diharapkan pula sesorang tersebut mampu bekerja secara leluasa dengan menggunakan komputer.

STRATEGI MEMASYARAKATKAN KOMPUTER
Pemakaian komputer di Indonesia pada umumnya masih berkisar sebagai alat bantu dalam merepresentasikan informasi. Berawal dari keadaan ini, pengembangan perlu dilakukan berpegang pada hipotesa bahwa komputer hanyalah alat bantu untuk merepresentasikan informasi. Hambatan utama yang ada umumnya hanya karena masalah masalah "tak kenal maka tak sayang". Hal ini menimbulkan berbagai hal seperti buta komputer, perasaan takut pada komputer dsb. Proses pengenalan tentunya memakan waktu dan perlu dilakukan secara bertahap. Apalagi untuk tingkat sekolah dasar dan menengah, prinsip belajar sambil bermain yang merangsang untuk berani mengambil resiko perlu diterapkan. Hal hal ini diharapkan menimbulkan kesadaran akan keterbatasan dan kemampuan komputer, cara pemanfaatan komputer sebaik mungkin.
Langkah yang umum dilakukan di lembaga pendidikan komputer yang ada di Indonesia sering menitikberatan pada jumlah materi yang diberikan tanpa penekanan pada pemahaman proses dan peningkatan cara berfikir. Orang sering berfikir bahwa semakin banyak bahasa komputer yang diajarkan semakin baik. Keadaan semakin memburuk dengan banyaknya orang yang mengikuti kursus komputer hanya untuk mengejar sertifikat untuk mencari pekerjaan. Kemauan untuk mengembangkan diri, berani belajar dan mengambil resiko tidak terlalu ditekankan.
Permasalahan diatas menunjukan betapa pentingnya pemahaman konsep bekerja dengan menggunakan komputer dan peningkatan cara berfikir. Ada beberapa langkah umum yang dapat ditempuh agar seseorang dapat bekerja semaksimal mungkin dengan menggunakan komputer. Bertolak dari pemahaman bahwa komputer merupakan alat bantu untuk mempresentasikan informasi. Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan komputer adalah sebagai berikut.
1. Tahap awal adalah memahami pengoperasian komputer. Disini diperkernalkan berbagai konsep tentang komputer mulai dari istilah, perintah, cara kerja, konfigurasi yang digunakan. Hal ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Salah satu issu yang juga menarik dibicarakan adalah upaya pengindonesiaan baik istilah maupun pemrograman komputer.
2. Pada tahap ini ditanamkan keuntungan keuntungan yang bisa diperoleh dengan adanya alat bantu komputer. Pemahaman dilakukan melalui contoh penggunaan program aplikasi untuk memperestasikan informasi seperti program pemroses kata, desktop publishing atau merancang dan menggambar menggunakan komputer (computer aided design). Karena sifat program program ini yang umumnya cukup mudah dioperasikan, perasaan takut untuk menghadapi komputer dapat dikikis sedikit demi sedikit dan diganti perasaan senang bekerja menggunakan komputer. Pada tahap ini, murid baru menerima komputer sebagai alat bantu.
3. Khususnya untuk pelajar pelajar tingkat sekolah dasar atau menengah. Pemahaman pelajaran dapat dilakukan dengan bantuan komputer. Beberapa program aplikasi yang ada dapat digunakan keperluan tersebut. Sebagai contoh untuk pelajaran matematika program aplikasi simbolik matematik seperti MACSYMA [1] atau MAPLE [2] dapat digunakan. Contoh penggunaan ke dua program tersebut misalnya dalam pemfaktoran, penghitungan akar persamaan kuadratis maupun kubik, operasi matriks, solusi persamaan linear beberapa buah anu, kalkulus differensial dan integral. Hasil perhitungan tersebut dapat disajikan di kelas pada saat pengajar menerangkan beberapa topik misalnya, persamaan gerak lurus, rangkaian listrik, populasi penduduk, penghitungan bunga uang dan sebagainya.
Di samping itu, ada perangkat lunak lainnya untuk latihan soal bahkan untuk mensimulasi hukum-hukum alam (seperti fisika, kimia, biologi). Program semacam ini amat menarik untuk disajikan sebagai praktikum untuk memantapkan konsep hukum hukum alam yang disajikan dalam kelas. Sebagian program ini bahkan dapat diperoleh secara cuma cuma karena merupakan program untuk masyarakat umum (public domain).
Pada tahap ini, cara berfikir murid ditingkatkan dibantuan komputer. Diharapkan murid-murid tersebut mampu berdiri sendiri dan mempunyai motivasi belajar yang tinggi.
4. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk bekerja dan menganalisa masalah menggunakan komputer. Pada tahapan ini konsep konsep seperti basis data, aplikasi tabel (spread sheet) untuk membantu pemecahan masalah dapat diketengahkan. Kemampuan untuk meninjau informasi yang ada dan memformulasikan dalam program aplikasi yang digunakan dapat dikembangkan. Disini, murid-murid diberikan pengenalan secara umum perangkat yang ada di komputer.
5. Jika prasarana fisik memungkinkan, pada tahapan ini diketengahkan konsep bermasyarakat menggunakan komputer. Sarana fisik jaringan komputer mutlak diperlukan untuk memungkinkan hal ini terjadi. Konsep konsep untuk berdiskusi secara elektronik, tata cara yang digunakan, kemungkinan bekerjasama secara elektronis dapat dikembangkan disini. Tingkat ini mungkin akan berjalan baik pada tingkat mahasiswa universitas atau tingkat lainnya yang lebih tinggi. Kerjasama secara elektronis antar berbagai lembaga penelitian industri perguruan tinggi akan menjadi kenyataan disini.
6. Pada tahap akhir, kemampuan untuk membuat sendiri program program yang dibutuhkan dapat dikembangkan. Teknik pemrograman yang baik, misalnya menggunakan sifat sifat yang modular, object oriented dsb. dapat diketengahkan.
Tiap tahapan di atas sifatnya berdiri sendiri walaupun satu tahapan merupakan kelanjutan tahapan yang lain. Setiap orang dapat berhenti pada setiap tahapan tergantung pada kebutuhannya.

BENTUK NYATA LANGKAH PEMASYARAKATAN KOMPUTER
Melihat tujuan terbaik dalam penggunaan komputer di pendidikan adalah utk meningkatkan tingkat berfikir murid, maka sebaiknya usaha ini sudah mulai dilakukan sedini mungkin (misalnya TK / SD). Inti permasalahan dalam proses pengajaran komputer adalah pada pembuatan perangkat belajar (courseware). Untuk membuat courseware diperlukan kerjasama beberapa ahli dari, minimal bidang-bidang : komputer, kognitif, dan linguistik. Sayangnya ahli-ahli bidang ini termasuk langka, sebagai contoh ahli bidang Kognitif di Indonesia kurang dari lima orang dan, kebetulan, salah seorang dari kami (Sri Hartati Suradijono) sedang menekuni bidang ini. Jika Depdikbud bermaksud untuk menerapkan pendidikan komputer di sekolah-sekolah tentunya diperlukan sekelompok ahli yang memadai untuk menangani hal ini. Pada pemilihan perangkat lunak untuk belajar, akan tidak bijaksana jika perangkat ini hanya menterjemahkan (ganti bahasa) dari perangkat yang digunakan di negara-negara lain (seperti AS, Kanada dll.) tanpa penyesuaian dengan karakteristik anak Indonesia.
Tanpa perlu dibatasi oleh dua masalah di atas, penggunaan komputer untuk pendidikan di Indonesia dapat dilakukan di laboratorium di sekolah-sekolah menengah. Beberapa perangkat lunak telah dikembangkan untuk mensimulasi berbagai hukum alam untuk keperluan tersebut.
Agar rencana pemanfaatan komputer ini dapat terlaksana dengan baik, tentunya fihak Depdikbud harus siap dengan pendanaan yang kuat untuk membuat courseware yang bermutu dan pengadaan perangkat keras yang merata di sekolah-sekolah yang membutuhkannya (sekolah negeri). Tidak lupa perencanaan dan pelaksanaan latihan bagi guru-guru yang akan menggunakan komputer tsb. Tidak kalah pentingnya adalah pengadaan dana untuk penelitian yang sangat diperlukan utk meningkatkan peran komputer, baik dalam bidang perangkat lunak maupun keras. Pengadaan dana dari swadaya masyarakat merupakan alternatif yang perlu dipikirkan untuk meringankan biaya secara keseluruhkan. Hal ini mudah dilaksanakan bila masyarakat merasakan manfaat yang diperoleh dengan adanya pendidikan komputer.
Mungkinkah kita menggunakan perangkat komersial? Hal ini akan tergantung pada tujuan Depdikbud dalam menggunakan perangkat komputer di sekolah-sekolah, dan dana yang disediakan. Sebaiknya perangkat komersial yang ada dimodifikasi dan disesuaikan dengan karakteristik anak di Indonesia.

RANGKUMAN
Dalam tulisan ini telah diketengahkan beberapa hal yang berkaitan dengan penggunaan komputer sebagai alat bantu pendidikan. berangkat dari asumsi yang cukup realitis untuk keadaan di Indonesia bahwa komputer lebih banyak digunakan sebagai alat bantu untuk mempresentasikan informasi, beberapa langkah telah dijabarkan. Langkah langkah ini terutama ditujukan untuk membentuk seseorang yang mampu bekerja secara leluasa menggunakan komputer. Dengan kata lain, titik berat dilakukan agar seseorang dapat memahami cara berfikir dan bekerja menggunakan komputer. Pemikiran-pemikiran tentang penerapan komputer untuk pendidikan beserta beberapa permasalahannya telah disinggung. Masalah kekurangan tenaga ahli dan dana merupakan salah satu hambatan yang perlu diatasi secara bersama.


read more “KOMPUTER UNTUK PENDIDIKAN”

KONSEP DAN METODE PEMBELAJARAN UNTUK ORANG DEWASA



Andragogi berasal dan bahasa Yunani andros artinya orang dewasa, dan agogus artinya memimpin. lstilah lain yang kerap kali dipakai sebagai perbandingan adalah pedagogi yang ditarik dan kata paid artinya anak dan agogus artinya memimpin. Maka secara harfiah pedagogi herarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Karena itu, pedagogi berarti seni atau pengetahuan mengajar anak, maka apabila memakai istilah pedagogi untuk orang dewasa jelas kurang tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Sementara itu, menurut (Kartini Kartono, 1997), bahwa pedagogi (lebih baik disebut sebagai androgogi, yaitu ilmu menuntun/mendidik manusia; aner, andros = manusia; agogus = menuntun, mendidik) adalah ilmu membentuk manusia; yaitu membentuk kepribadian seutuhnya, agar ia mampu mandiri di tengah lingkungan sosialnya. 
Pada banyak praktek, mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu difinisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya. 
Kalau ditarik dari pengertian pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta didik bukan kegiatan mengajar guru. Oleh karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. 


Kebutuhan Belajar Orang Dewasa.

Pendidikan orang dewasa dapat. diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengem-bangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonoini, dan teknologi secara bebas, seimbang dan berkesinambungan. 
Dalam hal ini, terlihat adanya tekanan rangkap bagi perwujudan yang ingin dikembangankan dalam aktivitas kegiatan di lapangan, pertama untuk mewujudkan pencapaian perkemhangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dan setiap individu yang bersangkutan. Begitu pula pula, bahwa pendidikan orang dewasa mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan oleh orang dewasa baik pria maupun wania, sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing. 
Dengan demikian hal tersebut dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran orang dewasa yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar hersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dan adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi peruhahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan penilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubalian sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan orang dewasa tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dihekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam prihadiriya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif herupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungam 
Perubahan perilaku bagi orang dewasa terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disehabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi orang dewasa pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih kearah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih diperlukannya sebagai penyempumaan hidupnya. 
Setiap individu wajib terpenuhi kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu merasakan kehutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempumaan kebutuhan dasar tadi, yakni kehutuhan keamanan, penghargaan, harga diri, dan aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap individu belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu perlu rasa aman jauh dan rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan yang herkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri. 
Dalam kaitan ini, tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam proses belajamya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus disediakan, isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa yang cocok digunakan. Menurut Lunandi (1987) yang terpenting dalam pendidikan orang dewasa adalah: Apa yang dipetajari pelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar. Artinya, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dan pertemuan pendidikan/pelatihan, bukan apa yang dilalukukan pengajar, pelatih atau penceramah dalam pertemuannya. 
Prinsip Pendidikan Orang Dewasa
Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai prihadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin kelentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya. 
Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar alau pendidikan orang dewasa tentunya lehih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri,--- istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atan pendidikan merupakan prosess of becoining a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-uchuslizatiun). 
Seperti telah dikemukakan diatas hahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebuluhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dan kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berlikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. 
Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitamya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan. 
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengahan masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan “pengertian diri” (sense of identity). 
Selanjutnya, Knowles (1970) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut. Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dan ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak. 
Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai. 
Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dain orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang dilentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lehih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya. 

Kondisi Pembelajaran Orang Dewasa
Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pcngajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendoininasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan altematif-altematif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekalnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itn, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadiriya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka. 
Oleh karena sifat belajar hagi orang dewasa adalah hersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atari salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dart pembimbingnya, dan pada akhimya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut maka suasana belajar yang kondusif tak akan pemah terwujud. 
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berheda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling herbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang hagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll). 
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadiriya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan pisis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau diperma1ukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai altematif kebebasan mengemukakan ide/ gagasan dapat diciptakan. 
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar sccara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribad i orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam prihadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersehut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar helakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi wama yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil. 
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, herani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dan belajar. 
Pada akhimya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya herharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dan orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan 

Pengaruh Penurunan Faktor Fisik Oraug Dewasa dalam Belajar
Proses belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara pertarubahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Vemer dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan: 
Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglilhatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai hergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh fahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm. 
Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan penggunaan bahan dan alat pendidikan. 
Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya1 maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas. 
Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya komea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna lenmbut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras untuk alat-alat peraga. 
Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dan orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dan orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran. 
Pemhedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan hunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d. 
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang dewasa dalam situasi belajar mempunyai sikap tertentu, maka purlu diperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini: 
Terciptanya proses belajar adalah suatu prose pengalaman yang ingin diwujudkan oleh setiap individu orang dewasa. Proses pembelajaran orang dewasa berkewajiban memotivasi/mendorong untuk mencari pengetahuan yang lebih tinggi. 
Setiap individu orang dewasa dapat belajar secara efektif bila setiap individu mampu menemukan makna pribadi bagi dirinya dan memandang makna yang baik itu berhubungan dengan keperluan pribadinya. 
Kadangkala proses pembelajaran orang dewasa kurang kondusif, hal ini dikarenakan belajar hanya diorientasikan terhadap peruhahan tingkah laku, sedang perubahan perilaku saja tidak cukup, kalau perubahan itu tidak mampu menghargai hudaya bangsa yang luhur yang harus dipelihara, di samping metode berpikir tradisional yang sukar diubah. 
Proses pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang unik dan khusus serta bersifat individual. Setiap individu orang dewasa memiliki kiat dan strategi sendiri untuk memperlajari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Dengan adanya peluang untuk mengamati kiat dan strategi individu lain dalam belajar, diharapkan hal itu dapat memperbaiki dan menyempurnakan caranya sendiri dalam belajar, sebagai upaya koreksi yang lebih efeklif. 
Faktor pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap tindakan yang akan dilakukan, sehingga pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan ke arah yang lebih bermanfaat. 
Pengembangan intelektualitas seseorang melalui suatu proses pengalaman secara bertahab dapat diperluas. Pemaksimalan hasil belajaran dapat dicapai apabila setiap individu dapat memperluas jangkauan pola herpikimya. 
Di satu sisi, helajar dapat diartikan sebagai suatu proses evolusi. Artinya penerimaan ilmu tidak dapat dipaksakan sekaligus begitu saja, tetapi dapat dilakukan secara bertahap melalui suatu urutan proses tertentu. Dalam kegiatan pendidikan, umumnya pendidik menentukan secara jauh mengenai materi pengetahuan dan keterampilan yang akan disajikan. Mereka mengatur isi (materi) ke dalam unit-unit, kemudian memilih alat yang paling efisien untuk menyanipaikan unit-unit dan materi tersebut, misalnya ceramah, membaca, pekerjaan laboratorium, film,, mendengar kaset dan lain-lain. Selanjutnya mengembangkan suatu rencana untuk menyampaikan unit-unit isi ini dalam suatu hentuk urutan. 
Dalam andragogi, pendidik atau fasilitator mempersiapkan secara jauh satu perangkat prosedur untuk melibatkan siswa, untuk selanjutnya dalam prosesnya melibatkan elemen-elemen sebagai berikut: (a) menciptakan iklim yang mendukung belajar, (b) menciptakan mekanisme untuk perencanaan bersama, (c) diagnosis kehutuhan-kebutuhan belajar, (d) merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (e) merencanakan pola pengalaman helajar, (f) melakukan pengalaman helajar ini dengan teknik-teknik dan materi yang memadai, dan (g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosa kembali kebutuhankebutuhan belajar. 

Metode Pendidikan Orang Dewasa
Dalam pembelajaran orang dewasa banyak metode yang diterapkan. Untuk memberhasilkan pembelajaran semacam ini, apapun metode yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran, yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutu. Merupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja. 
Penetapan pemilihan metode seharusnya guru mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis: 
Rancangan proses untuk mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan memmedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya. 
Proses pembelajaran yang dirancang untuk tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja. 
Sejalan dengan itu, orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara. Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif lagi kalau dapat juga mengerjakan. 
Fungsi bicara hanya sedikit terjadi pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat mendengar, berbicara, melihal dan mengerjakan sekaligus, sehingga dapat diperkirakan akan menjadi paling efektif, 

Implikasi Terhadap Pembelajaran Orang Dewasa
Usaha-usaha ke arah penerapan teori andragogi dalam kegiatan pendidikan orang dewasa telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar orang dewasa seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkah-langkah sehagai berikut: 
Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusrwa melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau siswa, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat. 
Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk orang dewasa belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara guru dan siswa. Suatu iklim belajar orang dewasa dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke helakang. Guru lebih bersifat membantu bukan menghakimi. 
Diagnosa sendiri kebutuhan belajamya. Diagnosa kebutuhari harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kehutuhan bersama. 
Formulasi tujuan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya dikerjakan bersama-sama dalam deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas. 
Mengembangkan model umum. ini merupakan aspek seni dan perencanaan program, dimana harus disusun secara harmonis kegiaan belajar dengan membuat kelompok-kelompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil. 
Perencanaan evaluasi. Seperi halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip orang dewasa, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Maka evaluasi lebih bersifat evaluasi sendiri atau evaluasi hersama. 
Aplikasi yang diuaraikan di atas sebenamya lebih bersifat prinsip-prinsip atau rambu-rambu sebagai kendali tindakan membelajarkan orang dewasa. Oleh karena itu, keberhasilannya akan lebih benyak lergantung pada setiap pelaksanaan dan tentunya juga tergantung kondisi yang dihadapi. Tapi, implikasi pengembangan teknologi atau pendekatan andragogi dapat dikaitkan terhadap penyusunan kurikulum atau cara mengajar terhadap mahasiswa. Namun, karena keterikatan pada sistem lembaga yang biasanya berlangsung, maka penyusunan program atau kurikulum dengan menggunakan andragogi akan banyak lebih dikembangkan dengan menggunakan pendekatan andragogi ini. 


read more “KONSEP DAN METODE PEMBELAJARAN UNTUK ORANG DEWASA”