Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan?
Behaviorisme
Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia.
Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa.
Freudianisme
Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang.
Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.
Psikologi Humanistik
Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban.
Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien.
Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting.
Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness).
Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya. Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk.
Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti.
Menuju Psikologi Qur’ani
Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap.
Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi. Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani.
Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia.
Behaviorisme
Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia.
Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa.
Freudianisme
Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang.
Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.
Psikologi Humanistik
Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban.
Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien.
Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting.
Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness).
Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya. Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk.
Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti.
Menuju Psikologi Qur’ani
Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap.
Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi. Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani.
Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia.
0 Opni Bebas:
Posting Komentar