Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

Masa Depan Pemikiran Islam



Nara Sumber: Ulil Abshar-Abdalla, M Jadul Maula, Fachry Ali, Amin Abdullah
Moderarator Luthfi Assyaukanie

Luthfi Assyaukanie
Tema diskusi malam ini adalah masa depan pemikiran islam di Indonesia. Tema ini merupakan salah tema yang sangat seksis dan berbahaya karena di dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran). Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat. 
Saya pernah memberikan kata pengantar untuk buku Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia Arab”. Saya menyebutkan bahwa pengkafiran merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban. Di Indonesia ini, Ulil Abshar Abdalla merupakan orang yang terkena korban pengkafiran, karena dia banyak berfikir maka dia masuk dalam perangkap kafir. 
Saudara sekalian saya tidak ingin memperpanjang lebar karena kita memiliki banyak pembicara di sini. Sedianya saya ingin memberikan atau membahas sejarah pemikiran isalam di Indonesia dan kurang baik kalau kita tidak mengaitkan faktor sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Saya akan memberikan kronologi pembicara, di mulai dari Ulil Abshar-Abdalla, M. Jadul Maula, Fachry Ali, dan Amin Abdullah. 

Ulil Abshar-Abdalla

Pada malam hari ini, kita akan berbicara mengenai masa depan pemikiran Islam. Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan perkembangan intelektual dan kita tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, kita carikan forum yang lain. 
Kalau kita lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang diinspirasikan oleh pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni. 
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah. Sangat menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad Ali, salah satu penerjemah Alqur`an dalam bahasa Inggris pertama oleh seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu. 
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren, maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua tokoh ini yang paling penting. 
Namun, menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa yang membedakan antara generasi saya, Jadul dan yang lain lain dengan generasi Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur. Salah seorang teman kalau tidak salah Saiful Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan. 
Nah, generasi saya dan Jadul sekarang ini berbeda. Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik. Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI MMI, dll mempunyai status legal yang sama dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an. Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka, lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara. 
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat, karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga berat. Tetapi, menurut saya ruang publik sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa memungkinkan orang Islam menerima Pancasila. 
Generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru, karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an. 
Formalisasi syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama, maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman seperti teman saya sendiri di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali. Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup banyak di belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh. 
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan penting yang diberikan oleh generasi saya dan di bawahnya sekarang ini adalah tentang pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru. Ini isunya sangat detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap sebagai sesuatu yang kedudukannya permanen dan harus dilaksanakan dalam segala zaman. 
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah, bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama. 
Terakhir, saya akan sampaikan bahwa tentu masa depan pemikiran Islam cukup panjang. Tetapi tantangan di dalam pemikiran Islam ke depan lebih banyak berkaitan dengan isu-isu kecil semacam ini. Di dalam parlemen masih ada banyak sekali undang undang antri untuk disahkan, salah satunya isu yang akan menyita perhatian di masa depan adalah isu yang berkaitan dengan penyempurnaan KUHP. Di situ ada pasal tentang definisi zina. Juga ada pasal pasal yang berkaitan dengan penghinaan atas agama. Di Aceh ada kanon yang sudah dipersiapkan tetapi belum dibahas dan disahkan keburu ada sunami. Juga tentang pornografi. Artinya tantangan masa depan Islam adalah bagaimana memenangkan pertaraungan di level legal formal. Itu penting sekali, sebab di era demokrasi pada akhirnya semua kelompok bebas menyatakan pendapatnya dan arena pertarungan di arena demokrasi tidak bisa lain kecuali parlemen. Oleh karena itu, pertarungan paling penting adalah pertarungan menentukan suatu undang undang atau hukum. 

Luthfi Assyaukanie
Tadi Ulil sudah memberikan banyak sekali nuansa dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dia menjelaskan akar-akar historis dari pemikiran Islam yang di antaranya bersumber pada dan Timur Tengah. Kalau kita melihat pemikiran Islam sejak masa kebangkitan atau awal abab 19 misalnya, maka kita menemukan sebuah keutuhan yang unik. Ini berkaitan dengan klaim keislaman dalam pemikiran Islam itu sendiri. 
Dan saya kira tidak hanya dalam pemikiran Islam, di dalam pemikiran Barat pun itu kadang sebuah sumber pemikiran menghasilkan banyak percikan, yang satu sama lain saling berbeda. Kalau kita lihat sejarah filsafat modern juga begitu. Hegel itu menurunkan dua mazhab yang saling bertolak belakang, Hegel kanan dan hegel kiri. Muhammad Abduh sebagai ikon penting pemikiran Islam abad 20 juga menghasilkan duz madzhab, yaitu Abduh kiri dan Abduh kanan. Abduh kiri diwakili oleh Ali Abdul Roziq yang kemudian memperkenalkan gagasan gagasan liberal dan termasuk gagasan sekulerisme. Sayyid Qutb semakin hari semakin ke kanan. Begitu juga dalam konteks Indonesia, kalau kita menganggap Muhammad Natsir sebagai salah satu ikon pemikiran pemikiran Islam pada awal kemerdekaan. Dari Muhammad Natsir misalnya telah lahir dua madzhab yang kontras. Cak Nur yang dahulu dijuluki sebagai Natsir muda mewakili Natsir kiri dan orang-orang yang di Dewan Dakwah yang mewakili Natsir Kanan. 
Pembica selanjutnya adalah M. Jadul Maula. Saya berharap ia bisa mengelaborasi atau menjawab pertanyaan ini. 

M. Jadul Maula
Sebelum saya menjawab pertanyaan Saudara Luthfi, saya ingin memberikan respons atas apa yang disampaikan Ulil menyangkut ruang publik yang berbeda antara periode Cak Nur-Gus Dur dan generasi Ulil dan kita sekarang. Ruang publik generasi sekarang memang lebih luas dan terbuka. Generasi sekarang tidak menghadapi isu dan ideologi besar, melainkan menghadapi isu yang mikroskopik, isu-isu kecil yang seolah olah berdiri sendiri. 
Saya berbeda dengan Ulil. Justru dalam periode sekarang saya merasakan bahwa kita menghadapi isu besar, menyangkut nasib manusia per manusia yang riil menyangkut rasa rasa keadilannya. Kita merasa ruang publik demikian terbuka, padahal ada dominasi pasar di sana. Menurut saya, persoalan kenaikan BBM adalah sesuatu yang menyangkut rasa keadilan orang per orang. Saya yakin, ketika SBY kampanye dulu menyampaikan penaikan harga BBM ini, pasti ia tidak akan terpilih sebagai Presiden. Ini juga permasalahan yang dihadapi oleh pemikir Islam sekarang ini 
Saya mempunyai isu lain yang cukup penting dan perlu didiskusikan, yaitu mengenai perkembangan pemikiran Islam ke depan. Basis metodologi dan epistemologi sejarah pemikiran Islam Indonesia harus betul-betul dicari. Misalnya pertanyaan yang sederhana, kapan sebenarnya masa pembentukan pemikiran Indonesia (‘ashrut takwin). Kalau Timur Tengah jelas memiliki asrut takwin pada abad ke 6 H-7 H. atau abad 11 M.-12M. Sehingga kalau mau merumuskan satu nalar Islam Arab, mereka akan merujuk pada teks teks otoritatif yang ditulis dan dicetak pada masa masa itu. Nah, Islam Indonesia kapan ‘ashrut takwinnya dan teks-teks otoritatif apa yang mesti dirujuk ketika kita ingin mendefinisikan dan merekontruksi pemikiran Islam Indonesia. Bagaimana metodologinya. 
Kita akan sulit mengembangkan pemikiran ke depan ketika kita belum berhasil dan menemukan kaki pemikiran Islam Indonesia. Kaki pemikiran ini mseti ditemukan sehingga islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan ilmu ilmu lain, yang mungkin dari Barat, China, Arab, India, atau lainnya. Ketika IAIN Jogjakarta mau diubah menjadi UIN, maka pengembangan pemikiran lebih diarahkan pada dialog antara dua sumber, yaitu Barat dan Arab. Selalu dibilang bahwa ramuannya hanya dua itu. Saya bertanya, basis Indonesianya mana? Tidak mempunyai kaki ke-indonesia-an. Dan sumbernya pun cukup terbatas pada Arab dan Barat, tidak dicoba untuk dicarikan di tempat-tempat lain. Padahal, Hamzah Fanshuri yang dari Aceh itu ketika menjelaskan hadits “uthlubul ilma walau Bisshin” (tuntuntulah ilmu walau ke negeri China) ditandai dengan “uthlubul ilma walau bisshin wal bulgaria” (Carilah ilmu walau samapi ke negeri China dan Bulgharia). Hamzah Fausuri juga memikirkan dialog Islam Aceh, Nusantara, China, dan Bulgaria yaitu negara dekat Asia Tengah yang memberikan aspirasi besar buat perkembangan Islam Indonesia. Tokoh Islam dari Asia tengah ini salah satunya adalah Syaih Ibrahim al-Shamad atau al-Shamarra. Jadi, semejak abad abad 15 sebenarnya sudah ada dialog yang kuat antara pemikiran nusantara dan daerah-daerah lain yang mungkin kita tidak kenalnya. Dalam kaitan itu sebenarnya menarik, saya ingin memberikan salah satu contoh untuk menentukan ‘ashrut takwin. 
Saya kira, satu kata penting yang berpengaruh dalam membentuk dan mengkreasi gerakan pemikiran Islam Indonesia adalah wihdatul wujud. Saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan satu naskah yang ditulis oleh Samsudin Al-Sumatrani. Kitab ini mau menjelaskan tentang muwahhid (orang yang bertauhid) dan mulhid (yang tidak bertauhid). Di dalam kitab itu juga dijelaskan tentang wihdatul wujud. Wihdatul wujud ini sebenarnya masuk ke Indonesia merupakan inspirasi dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi, Abdul Karil Al-Jili dan seterusnya. 
Jadi ketika al-Jabiri berbicara tentang takwinul aqli al-Arab al-Islami (pembentukan nalar Islam Arab), dia mengatakan bahwa abad abad 12 itu merupakan masa bangkrutnya spirit jiwa nalar Islam yang tumbuh dilingkungan peradaban Arab yang disebut sebagai masa jatuh. Al Jabiri mengatakan, disebut masa jatuh karena terjadi pertikaian yang berlarut-larut antar-berbagai jenis sistem pengetahuaan; bayani, burhani, dan ‘irfani. Sistem bayani yaitu sistem pengetahuan yang bekerja untuk memaknai teks membaca teks Qur`an, Hadits, Fikih, Ushul Fikih. Mereka mengambil makna dari Qur`an dan Hadits, lalu bertikai merebut makna itu. Kelompok bayani ini juga bertikai dengan kelompok burhani, yaitu satu kelompok yang mengambil satu kesimpulan berdasarkan logika. Kedua kelompok ini kemudian bersitegang dengan kelompok ‘irfani. Sistem ‘irfani ini mengambil kesimpulan bukan dari teks, logika tetapi langsung dari Tuhan dengan menggunakan intiusi atau mukasyafah. 
Ketiga sistem ini terjebak dalam pertikaiaan walau pada akhirnya ada kompromi. Celakanya, demikian al-Jabiri, pada perkembangan kemudian di Arab telah terjadi koalisi antara ‘irfani dan bayani dengan tokohnya al-Ghazali. Al-Ghazali yang mem-bayani-kan yang ‘irfani. Tasawuf ditaklukan dalam sistem bayani. Hasil koalisi ini kemudian dapat mengalahkan yang burhani sehingga burhani berpindah ke Eropa yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Yang lupa untuk dibicarakan adalah Ibnu Arabi. Bahwa ketika menulis kitab al-Futuhat al-Makiyah, Ibnu Arabi telah melakukan satu sintensi yang sangat berani dan kreatif serta produktif dan menurut saya sangat inspiratif terhadap semua pertikaian nalar itu; burhani, bayani dan ‘irfani. Dalam perkembangannya pemikiran Ibnu Arabi mengalami diaspora hingga sampai ke Nusantara. Yang salah satu buktinya terdapat di teks Samsudin Al-Sumatrani. Saya akan mengajukan satu tesis bahwa produk eksperimentasi dari wahdatul wujud Indonesia yang berlangsung pada abad 15, 16, dan 17 telah mengahasilkan kumpulan naskah. Disini kita bisa merumuskan nalar Islam Indonesia. 

Fachry Ali
Saya mau menyatakan bahwa yang sebenarnaya menjadi pelopor dari gagasan gagasan liberal di Indonesia ini adalah mereka yang punya basis keislaman dan budaya yang kuat dan harus saya katakan itu dari kalangan NU atau kaum Nahdhiyin.
Memang saya sering mengatakan bahwa Muhamadiyah akar budayanya itu adalah perkotaan dan pertumbuhan Muhammadiyah itu juga merupakan refleksi dari--menurut hipotesa saya bahkan mungkin dari Mas Dawam Raharjo--sebuah usaha masyarakat kota untuk menunjukan sikap paguyuban baru. Muhamadiyah itu refleksi dari gagasan itu. Persoalannya bahwa di wilayah perkotaan selalu saja budaya itu tidak pernah mendekam lama. Salah satu contohnya adalah pada budaya Betawi yang tidak bisa berkembang. Inilah yang menjadi persoalan struktural yang dihadapi Muhamadiyah. Sebaliknya, di kalangan nahdhiyin seluruh peradaban Islam itu tersangkut dan terpendam lama di dalam masyarakat dalam bentuk tradisi dan sebagainya. Mereka yang hidup di dunia nahdhiyyin atau dunia pesantren pada umumnya sudah merengguk begitu banyak gagasan spekulatif. Mereka menguasai bahasa Arab dengan sangat baik sehingga mengalami persambungan dengan sejarah pemikiran Islam yang klasik. Inilah yang kita lihat pada sosok Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, hingga generasi Ulil Abshar-Abdalla, dan Ahmad Sahal. Ilmu spekulatif yang ada di pesantren itu kemudian mengalami pencanggihan setelah mereka berhijrah ke kota seperti Jakarta, maka muncullah Jaringan Islam Liberal.  
Pikiran-pikiran yang berkembang di kalangan anak-anak NU itu tidak muncul dalam Muhammadiyah yang mengembangkan organisasi dengan sangat ketat, menerapkan daya kontrol terhadap anggotanya. Ini berbeda dengan NU yang pada dasarnya luwes, ada otonomi individual. Mereka dapat menyerap sekian banyak pikiran-pikiran spekulatif dalam sejumlah kitab kuning, sehingga dapat memperkaya khazanah, imajinasi. Maka, ketika terjadi perbenturan pemikiran mereka sudah memiliki modal. Inilah, menurut saya, mengapa orang seperti Ulil Abshar-Abdalla yang baru datang ke Jakarta itu tiba-tiba ketemu dengan panggung yang pas nan luas.
Ini yang pertama yang ingin saya katakan. Yang kedua, saya sebenarnya ingin juga mempertanyakan dasar struktural dari gerakan Islam liberal. Saya tidak sempat mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang liberal itu. Di dalam proposal dikatakan bahwa setelah empat tahun JIL berdiri sekaranglah saatnya menunjukan kepada publik bahwa kelompok Islam moderat bisa mengajukan gagasan. Gagasan demokratisasi dan HAM dikembangkan. Sayangnya, tokohnya adalah Amerika dan bukan JIL. Dan saya tidak pernah melihat komentar JIL tentang Amerika; apakah ada komentarnya tentang keadilan.

Amin Abdullah
Saya tidak akan memberikan klarifikasi terhadap pernyataan Fachry. Itu tidak perlu karena teks kalau sudah dilempar akan punya kaki sendiri. Fenomena JIL dan JIMM merupakan gerakan Post NU dan Post Muhammadiyah. Jadi, kalau uraiannya masih dalam kaca mata NU dan Muhammadiyah, saya kira sudah out of date. Di benak generasi muda Islam kini tidak ada lagi ide NU atau Muhammadiyah. Mereka telah membaca buku-buku yang tidak pernah dibaca generasi yang lebih tua, baik di NU maupun Muhammadiyah. Mereka hidup dalam era post-Muhammadiyah dan NU. 
Hanya memiliki dua catatan terhadap JIL ini, pertama adalah terhadap kata sekuler dan kedua adalah kata liberal. Dua kata yang banyak disuarakan anak-anak JIL. Pertama, kata sekuler pertama kali diarabisasi oleh Jamaludin Al-Afghani dengan al-dahriyyun yang kemudian ditentang oleh Ahmad Khan dari India. Kata Jamaludin al-Afghani, yang ada itu adalah al-dahriyyun. Dalilnya adalah hal ataa ‘ala al-insan hinun min al-dahri. Lima puluh tahun kemudian ketika muncul Sayid Quthb, sekuler tidak lagi al-dahriyyun, tetapi diterjemahkan dengan alla-diniyyah, tidak terkait dengan agama. Pertanyaannya, apa benar sekuler itu tidak terkait dengan agama? Ini problem. Faktanya, sebagian orang sekuler itu beragama. Anehnnya lagi, sekarang tidak lagi al-dahriyyun dan tidak juga alla-diniyyah kemudian berubah menjadi al-‘ilmaniyyah. Apa artinya? Kita yang mau mentransfer ide sekuler itu bingung menerjemahkannya ke dalam kultur kita. Untuk itu saya usul kepada kedutaan Perancis, karena dia yang mempunya ide sekuler itu dulu, untuk mengadakan seminar yang serius pos-30 tahun Cak Nur menyampaikan tentang sekularisme. Sudah tenggang waktu 30 tahun, saatnya kita benar-benar memahami itu dengan baik, gimana sejarah sekularisme. 
Yang kedua, adalah kata liberal. Saya setuju saja dengan the idea of progress dari JIL ini. The idea of progress itu salah satu rukun dari liberalisme. Kemudian demokrasi, demokarasi itu memang problematik tapi memang itulah kenyataannya. Dan Indonesisa dikatakan paling bagus intitusi demokrasi umat Islam setelah Pakistan. Kemudian human rights. Sebenarnya rights dalam Islam tidak ada, yang ada adalah kewajiban. Pertanyaan saya, kenapa menggunakan kata liberal. Saya tidak tahu, apa itu kesalahan mengambil dari Binder dan Kurzman? Karena titelnya enak, maka dipakailah Islam liberal. Dalam katolik terjemahnya agak beda. Yaitu liberation theology dan bukan liberal theology. Liberation itu bermakna liberate, membebaskan dan transformasi. Kita mesti membebaskan diri dari dua dominasi, yaitu kapitalisme dan neo-kapitalisme bahkan dominasi dari lingkungan agama. Ini untuk direnungkan oleh teman-teman JIL. 
Kenapa begitu? Arkoun mengatakan, apa ada religious concept, islamic concept? Jawabnya, tidak ada. Semua kata, dulunya adalah political concept. Political concept yang diagamakan, disublimasi sedemikian rupa sehingga seakan menjadi agama, biar lebih lebih kharismatik. Umpamanya taubat. Taubat itu akar-akarnya supaya kembali kepada kepemimpinan Nabi. Jangan menjadi desersi. Jadi harus dikembalikan kepada ketaatan kepada pimpinan. Itu taubat. Begitu juga dengan munafik. Munafik sebenarnya orang yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ide kita, golongan kita. Jadi sebetulnnya ada social interactions dan political interactions. 
Politik Islam ini, mungkin juga di dalam Katolik, Protestan, bahwa yang paling pokok itu adalah akidah. Akidah dalam Islam itu kombinasinya dengan ghanimah, ekonomi atau materi. Baru kemudian persoalan kabilah, sekte. Pertemuan antara akidah (ideologi), ghanimah (ekonomi), akan melahirkan kepemimpinan poltik yang hegemonik. 

Luthfi Assyaukanie
Kita telah mendengarkan empat pembicara. Kalau saya ringkas dari semuanya maka pertanyaan pertama saya adalah bagaimana kta melihat karakter Islam. Kita melihat dari Ulil bahwa sumber-sumber Islam itu berasal dari Barat dan Timur, lebih sefesisfik lagi dari Timur Tengah. Kalau kita melihat jawaban Jadul, maka Jadul mengatakan bahwa sumber-sumber itu harus dari ‘ashru tadwin dalam Islam Indonesia. Bang Fachri menyebutkan bahwa sumber-sumber liberal itu ada di dalam komunitas NU. Sementara Amin Abdullah menyanggah dan merujuk kepada post Muhamadiyah dan post NU. Saya kira post-Muhamadiyah dan post-NU merujuk kepada unsur unsur yang telah dijelaskan oleh tiga pembicara sebelumnya. Silakan yang mau memberikan tanggapan atau respon. 

Franky Maramis
Saya dari Front Pemberdayaan Indonesia Timur. Kalau melihat dari dialog-dialog ini saya berkesimpulan bahwa melihat bahwa sistem kemasyaraktan di Madinah itu sistem modern yang penuh aspirasi. Demokratisasi dan penancapan HAM itulah yang islami. 

Saefuddin
Salam damai utuk kita sekalian. Memang mengikuti pemikiran orang-orang disini setengah mati. Inti yang saya tangkap, mestinya Islam selalu berfungsi sebagai rahmatan lil alamin. 

Ulil Albab
Saya dari Ulumul Qur`an Institute. Ada beberapa point yang dapat saya tangkap dari beberapa ungkapan yang tadi dipresentasikan oleh para nara sumber. Tadi ada pandangan-pandangan untuk membongkar epistemologi, membuat ushul fikih baru, karena problem yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup belakangan jauh berbeda dengan problem masyarakat terdahulu.  

Sarifuddin
Saya dari Makasar. Pertanyaan saya tujukan pada Ulil dan Amin Abdullah; apakah mungkin memberikan gambaran yang dapat dijadikan acuan untuk menilai aksi atu pemikiran itu sebagai islami atau tidak. Contoh konkrit misalanya menaikan BBM. Bagaimana saya bisa menangkap persoalan itu Islami atau tidak. 

Ulil Abshar-Abdalla
Saya sebenarnya lebih suka sebagai tuan rumah, mendengarkan para tamu berbicara. Tetapi oke lah. Beberapa minggu lalu, saya mendapatkan sebuah email dari seorang mahasiswi Surabaya jurusan arsitektur interior. Dia ingin menulis skripsi tentang spa yang Islami. Belum tahu spa kan? Spa adalah suatu tempat semacam rileksasi gitu. Dia akan menulis tentang spa yang Islami.Dia bilang, ”tolong Mas Ulil bagaimana definisi tentang spa yang Islami itu?” Saya tidak tahu, tapi saya jawab begini. Apakah pantas kita ini menyeret seluruh kata Islam ke dalam seluruh persoalan ? Maksud saya, apa ada spa Islami, HP Islami, ada JIL yang Islami ada yang tidak, dan macam-macam. Tapi memang kriteria sesuatu dianggap sebagai islami atau tidak memang menjadi obsesi semua orang dan menghantui banyak orang. 
Nah kita bisa berdebat tentang jawaban masalah ini. Tapi menurut saya, yang menjadi pokok atau pangkal masalah, apakah semua kelompok dalam Islam itu bisa mencapai kata sepakat dengan kata islami. Menurut saya, tetap susah karena setiap kelompok mengambil pendekatan dan cara pandang yang berbeda-beda. Misalnya dulu di NU itu, tahun 1930-an memakai celana dianggap tidak Islami, yang Islami itu sarung. Tetapi ketika putranya Kiai Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, menjadi menteri, dia memaki celana dan berdasi, maka persoalan menjadi berubah. Dan sesungguhnya masalah islami dan tidak Islami itu perkara yang kontekstual, berkembang dan masing kelompok mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian untuk masalah BBM, saya tidak bisa membahasnya disini, dan kita bisa berbeda pendapat tentang masalah ini. Intinya, kriteria tentang islami dan tidak islami adalah salah satu yang menjadi perjuangan JIL. JIL memang menginginkan bahwa di dalam ruang publik ini, ada kemungkinan semua kelompok menyampaikan pendapatnya dan tidak usah khawatir disebut tidak Islami. Justru yang menjadi concern JIL adalah kalau ada suatu kecenderungan dalam suatu kelompok dengan mudah mengatakan tidak Islami, dan tadi disebut saudara Luthfi di awal pembukaan diskusi ini, bahwa ada kecenderungan antara tafkir dan takfir, antara berpikir dan kekafiran. Itu yang ingin kira hindari. Perlu dihindari mengidentikan antara tafkir dan takfir; berfikir dan kekafiran. 
Yang kedua yang hendak saya jawab adalah apakah JIL berkampanye pada liberalisme pemikiran keagamaan saja atau juga berkampanye liberalisme politik atau sekaligus liberalisme ekonomi? Ini pertanyaan ynag sering sekali ditujukan kepada JIL. Banyak orang menuduh bahwa dengan menggunakan nama liberal JIL berarti turut menyetujui proyek neoliberaisme Internasional. Saya tadi siang diskusi dengan Romo Magnis Suseno di Ciputat tentang buku yang ditulis Isaiah Berlin. Anda tahu bahwa Romo Magnis adalah salah satu yang ikut menandatangani iklan pro-kenaikan BBM. Di dalam diskusi itu ia mengatakan bahwa di dalam liberalisme politik terdapat liberalisme agama. Saya kira perjuangan JIL sebagian besar diarahkan pada isu ini.  
Kita mendukung liberalisme politik yang unsur-unsurnya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebesan berkumpul buat semua warga negara. Dan kalau kita baca sesungguhnya fokus pemikiran dari kalangan liberal dunia Islam kebanyakan tercurah pada liberalisme pemikiran Islam yang berkaitan dengan isu-isu politik. Coba perhatikan pemikiran-pemikiran Arkoun dan Abu Zaid, itu banyak menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan politik. Oleh kaena itu, Abu Zaid merasa perlu mengarang buku al-Takfir fiy Zaman al-Tafkir. Dengan buku itu, ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa di dunia Islam telah berlangsung satu kondisi yang membatasi kebebasan berfikir. Alhamdulilah kita di Indonesia dapat menikmati suatu sistem politik yang lebih demokratis ketimbang Timur Tengah. Delapan puluh prosen memang dunia Islam masih dikuasai oleh sistem yang otoriter. Namun, ada sedikit berita gembira bahwa Mesir akan mengadakan pemilihan presiden secara langsung, meskipun kita sudah tahu bahwa yang akan terpilih tetap Husni Mubarok. Tapi, itu tetap perkembangan yang menarik. 
Di dalam sistem politik, saya kira seluruh pemikir Muslim liberal bisa bersetuju tentang liberalisme politik. Kini demokrasi telah diterima secara konsensus oleh umat Islam. Kalau kita melihat hasil survai di Indonesia, misalanya yang terakhir dilakukan oleh Saiful Mujani, menujukan bahwa 74% populasi Muslim Indonesia itu menyetujui sistem demokrasi. Demokrasi telah diterima sebagai sistem yang paling rasional. 
Sementara di dalam pemikiran ekonomi ada perbedaaan yang cukup banyak. Luthfi misalnya setuju liberalisme di bidang ekonomi. Kalau anda baca misalnya tulisan-tulisan Nashr Hamid Abu Zaid yang diangap yang menjadi salah satu ikon pemikir Islam liberal saat ini. Saya kira dia mempunyai pemikiran yang lebih bernuaansa. Dia mempunyai kritik tajam terhaap kapitalisme global. Tapi, ada juga pemikir Muslim yang sangat liberal menyangkut isu-isu keagamaan tapi tidak liberal dalam pemikiran ekonomi. Kalau kita lihat tulisan-tulisan Chandra hampir semua isinya adalah kutukan terhadap Amerika. Bahkan, oleh sebagian kalangan ia diposisikan sebagai intelektual yang anti globalisasi, anti kapitalisme dunia. Farid Esack adalah pemikir yang sangat liberal (ia lebih suka disebut progresif) dalam bertafsir, tapi tidak liberal dalam ekonomi. Jadi, melihat Islam liberal tidak bisa digeneralisasi. 

M. Jadul Maula
Kalau kita melihat organisasi yang didirikan para orang tua, NU atau Muhamadiyah, mereka tidak menyebut kata Islam. Mereka bikin saja NU dan Muhammadiyah, tidak seperti sekarang; ada Islam liberal, Islam kiri, dan sebagainya. Itu kearifan mereka. Nabi Muhammad membangun identitas pun dari dalam bukan dari luar. Nah di dalam akar Indonesia yang disebut wahdatul wujud, itu sebetulnya yang dipentingnkan bukan identitas, tapi sejauh mana suatu pikiran itu mengantarkan manusia kepada Tuhan? Bisa manunggal atau tidak? Jangan lupa, ini bukan sesuatu yang mistik, tetapi sesuatu yang sangat masuk akal. Apakah manusia bisa menjadi manusia yang sempurna atau tidak. Itu ukurannya apakah dia bisa mencapai suatu dzat yang di dalamnya berkumpul semua potensi atau bagaimana. Jadi Allah itu ismul jami’. Itu luar biasa. Menurut saya, semakin ia bisa menyatu dengan Tuhan ia semakin kreatif, karena syahadat yang mengingkari adanya tuhan-tuhan lain selain Dia. Di dalam babad, ajaran Syeh Siti Jenar sama dengan ajaran Sunan Kali Jogo. Syahadatnya, “saya bersaksi di dalam dzat saya, tidak ada Tuhan selain aku, dan Muhammad itu utusanku, dst”. Ini menurut saya suatu maqom kesaksian yang sebetulnya. 
Jadi ketika Muhammad bangkit di Arab lahir suatu bangsa Arab . Ketika kita masuk ke Jawa lahir bangsa Jawa, ketika kita masuk ke Aceh lahir bangsa Aceh. Jadi ada Islam Jawa, Islam Aceh, ada Islam Bugis, Islam Makassar, dst. Jadi yang dibangun itu adalah identitas. Identitas suatu bangsa dibangun dari perciptaan pertama yang berkualitas insan kamil. 

Fachry Ali
Persoalan islami dan tidak islami adalah soal bagaimana kita memaknai. Memainkan logika. Jadi orang-orang yang ada di JIL itu jangan memandang orang lain sebagai tidak islami. Begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam mengidentifikasiakn diri sebagai Islam juga. Ini hanya soal, dimana sesungguhnya nilai-nilai itu terinternalisasikan pada diri seseorang. Ketika tahun 1999 dan 1999 hukum banyak yang tidak berjalan, maka Ja’far Umar Thalib kemudian menerapkan hukum rajam terhadap para pelaku zina, dan banyak orang yang gembira. Jadi, Islam Afaganistan pun, kalau kita mau konsisten dengan pemikiran Ulil yang liberal itu, juga jenis Islam. Kita juga harus mengatakan bahwa orang yang mau menegakan syariat Islam, dia punya hak asal secara konstitusional. Misalnya, PKS menang, maka mereka punya hak untuk mengajukan klausul hukum tertentu. 
Saya ingin kembali pada soal kekayaan budaya kaum nahdhiyyin. Mereka memiliki kecerdasan untuk menyerap banyak informasi dari mana-mana. Kemunculan LkiS, saya kira adalah bukti untuk itu. Lihatlah buku-buku terbitan LkiS. Hanya orang-orang yang berlatar budaya yang luar biasa yang yang mampu menetukan pilihan dan tema-tema semacam itu . Di Muhammadiyah pun sudah muncul JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Walaupun tetap saja agak beda, gagasan yang muncul dari Muhammadiyah lebih kering ketimbang yang muncul dari NU. Ini tidak terlepas dari penyikapan Muhammadiyah terhadap tradisi. Coba perhatikan tulisan Abdurrahman Wahid di Majalah Prisma tentang hukum Islam jauh lebih bernuansa. Tampak bahwa Gus Dur sangat menguasai pelbagai khazanah keislaman yang klasik yang kemudian diramu dengan pengetahuannya kemodernan. Belakangan kita telah melihat lahirnya generasi seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain.  

Amin Abdullah
Ia saya kira nggak ada seleseinya kita bicara ini, ekonomi saya nggak tau komentar seperti apa tapi fenomena-femonomena kapitalisme seperti MC Donaald, KFC, dan sebagainya. 
Memang menarik tentang sistem ekonomi dalam Islam. Ada orang seperti Dawam Raharjo yang menyatakan bahwa Islam itu sosialis. Ada yang berkata sebaliknya bahwa Islam itu kapitalis. Ada orang yang mengatakan bahwa Islam berada antara kapitalis dan sosialis. Menyangkut pengembangan ekonomi, dunia Islam sangat tertinggal jauh dibanding dengan dunia Barat. Karena itu, perlu ada usaha untuk mengembangkan perekonomian dalam Islam.  
Berikutnya, persoalan tari dan jilbab. Ini memang soal yang tidak kunjung selesai di dalam tubuh umat Islam sendiri. Menurut saya, tari itu natural saja. Tidak ada yang namanya tari Islam dan bukan Islam. Kalau diam saja, tidak bergerak karena khawatir menimbulkan syahwat, itu namanya bukan tari lagi. Begitu juga menyangkut jilbab. Orang Aisyiyah Muhammadiyah hanya pakai kerudung saja, tidak memakai jilbab seperti yang sekarang lagi semarak. Bahwa belakangan ada fenomena orang memakai jilbab itu lebih karena interaksi internasional umat Islam yang tidak bisa ditunda. Perkembangan-perkembangn dan interaksi Internasional ini juga turut membentuk cara berpikir kita dan kita itu anak jaman dari itu. 
Dengan itu, maka selalu dimungkinkan adanya perubahan-perubahan hukum akibat perubahan situasi dan kondisi. Bahkan, secara lebih jauh, Muhammad Syahrur mengatakan bahwa hukum juga bisa berubah karena perubahan epistemologi yang mendasarinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb


read more “Masa Depan Pemikiran Islam”

MEMBANGUN KERANGKA KEILMUAN IAIN



Dunia selalu bergerak dan berubah. “Kita”, kata Heraklitus, “tidak pernah menginjak air sungai yang sama dua kali.” Dengan nada yang sama Henri Bergson (w. 1941) memberikan realitas sebagai “kesinambungan menjadi” dan masa kini dalam kesinambungan tersebut sebagai bagian quasi-inetantaneus yang dipengaruhi oleh persepsi kita dalam masa yang mengalir. Namun, gerak kehidupan cenderung bergerak ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Rumi berkata: “Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka ia pun meronta ke atas laksana tunas.” Mullah Shadra juga mengatakan bahwa seluruh dunia fisik, bahkan psikis dan imajinal yang bergerak ke atas hingga arketip-arketip yang tidak bergerak dan bercahaya, selalu dalam gerak dan menjadi.” Semua inilah yang kita namakan dinamika kehidupan.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga itu sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan, IAIN juga tidak luput dari “hukum” tersebut; kalaupun mampu mengikuti irama perubahan itu, maka insya Allah ia akan “survive”, tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya, maka cepat atau lambat lembaga akan tertinggal dan ditinggalkan.
Oleh karena itu, agar lembaga ini tetap “survive” maka kita harus berani mengadakan perubahan-perubahan esensial secara periodik. Tetapi kalau kita ingin “maju” (berkembang) dan bukan hanya “survive”, maka kita harus mengadakan perubahan-perubahan yang lebih fundamental untuk mengadakan “antisipasi” ke masa depan sesuai dengan arah kecenderungan yang berkembang.
IAIN sangat beruntung memiliki tokoh kharismatik seperti Prof. Dr. Harun Nasution yang pada tahun 70-an dan 80-an telah mengadakan “reformasi” fundamental terhadap IAIN, dan keteguhan/ketetapan hati dan kepercayaannya terhadap kebenaran dari ide-ide dan tindakannya membuat ia “tahan banting” terhadap segala macam kecaman dan kritik yang destruktif, dan pada akhirnya semua orang mengerti dan mengakui pen-capaiannya yang agung. 
Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa mengelak dari hukum dinamika kehidupan –yang belakangan ini cenderung semakin cepat–, maka bahkan ide-ide dan gebrakan-gebrakan dinamis almarhum Harun Nasution sudah agak “tertinggal” oleh jaman, dan itu dirasakan hampir di semua bidang keilmuan Islam, terutama seperti yang kita lihat dalam bidang filsafat. Oleh karena itu, untuk tetap bisa “survive”, bahkan kalau bisa “maju dan berkembang”, maka dalam memasuki millenium ketiga ini, mau tidak mau IAIN harus mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda pemikiran dunia global maupun regional, dan terutama pemikiran keagamaan dan filosofis di negara kita sendiri. Untuk itu, barangkali kita juga harus merumuskan ulang visi dan misi dari lembaga pendidikan tinggi Islam.

Metafisika dan Epistemologi Islam
Salah satu definisi metafisika adalah “upaya untuk mengeksplorasi dunia non-indrawi, yang berada di seberang dunia pengalaman”. Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang mencoba menjelajahi dunia rohani atau alam gaib, yang menurut Islam harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, seperti Tuhan, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, neraka dan sebagainya. Agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mempercayai yang gaib tersebut dengan sepenuhnya; tentu saja kepercayaan ini tidak bisa diajarkan secara dogmatis belaka, seperti yang sudah-sudah. Namun, harus disampaikan melalui argumen-argumen rasional, yang rupanya telah menjadi tuntutan jaman, melalui analisis yang logis dan sistimatis. Oleh karena itu, IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal.
Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace (w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan. 
Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah. Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkanal itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini. 
Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund Freud (w. 1939), bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud memandang bukan saja Tuhan, bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi. Dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menganggap agama lebih sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan manusia), ketimbang mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut Freud, ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan pengalaman atau hasil akhir dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan manusia yang paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan ide-ide itu menjadi “ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari keinginan-keinginan manusia, sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam keinginan-keinginan tadi. Feud melihat ide-ide keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan manusia. Demikian juga Emile Durkheim, seorang sosiolog modern Prancis, melihat bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari Tuhan. 
Demikianlah beberapa contoh ide ilmuwan Barat yang menyerang berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis. Kita harus memberi jawaban yang rasional pula, jika kepercayaan kita terhadap alam gaib/metafisika tidak mau dianggap sebagai ilusi/angan-angan belaka, lantas dicampakkan oleh orang-orang modern yang telah cukup dalam dipengaruhi oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut di atas, yang bagi para pengikutnya yang luas dipandang sebagai nabi-nabi ilmu pengetahuan. Namun, hingga hari ini IAIN belum mempersiapkan visi metafisik tentang hal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sebab kedua yang menyebabkan IAIN perlu memiliki visi metafisik yang jelas, adalah adanya kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern, baik Barat maupun Timur, terhadap bangun metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas. Setelah masa Perang Dunia kedua, terdapat kecenderungan yang semakin jelas dari kaum intelektual Barat terhadap metafisika. Dalam dunia/bidang metafisika dan astronomi sendiri telah ada kecenderungan yang semakin kuat terhadap hal-hal yang bersifat metafisik. Fisikawan kontemporer Barat, pengarang buku God’s Wispher and Creation’s Thunder, menyebutkan pandangan-pandangan Jalal al-Din Rumi (w. 1274), seorang penyair sufi Persia, untuk melengkapi dimensi batin/esoterik dari realitas sejati yang mana fisika modern, menurut pandangan buku tersebut, hanya mampu mengungkapkannya dari dimensi lahir/eksetorik belaka dan karena itu hanya bersifat parsial. Demikian juga Robert Jastrow pengarang buku God and Astronomers, melihat perkembangan-perkembangan yang menarik pada bidang astronomi, karena implikasi-implikasi religiusnya. Menurut dia, berbagai ilmu tidak bisa bertahan untuk tetap pada tataran fisik, dan banyak diantaranya yang mencoba melakukan pendakian ke dunia metafisik, yang disebut sebagai gunung ketidaktahuan (montain of ignorance). Di akhir karyanya, ia menyatakan: “ilmuwan telah (mencoba) mendaki gunung ketidaktahuan (metafisika), dan ia hampir mencapai pucaknya yang tertinggi. Namun, kala ia mengangkat dirinya ke atas, ia disambut oleh sekelompok teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad.” Inilah kisah menarik yang diceritakan oleh Jastrow, yang menggambarkan para ilmuwan dengan para agamawan. Jadi, jelaslah betapa fisikawan kontemporer membutuhkan bimbingan metafisika dari para teolog/agamawan.  
Perkembangan metafisika, atau lebih tepatnya, kebangkitan kembali metafisika di Barat, semakin kentara dengan adanya upaya untuk bisa menghidupkan kembali Philosophia Perennis, yang dipimpin oleh Rene Goenon, seorang ahli metafisika abad dua puluh dari Perancis, yang kemudian masuk Islam dan kemudian menghabiskan bagian akhir hidupnya di Mesir. Peranan yang dimainkan oleh Goenon dalam kebangkitan metafisika dan filsafat perenial, tercermin dari munculnya beberapa ilmuwan dan metafisikawan terkenal yang mengaku sebagai murid Goenon. Misalnya, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Martin Lings, Marco Pallis dan Seyyed Hossein Nasr. Sebagian besar adalah kaum intelektual dan ilmuwan yang telah tersadarkan dari nestapa kehidupan modern, lalu mencari dan mendapatkan hikmah dari Timur, yakni tradisi-tradisi religius yang agung, seperti Taoisme, Budhisme, dan Islam, khususnya Sufisme.
Dari apa yang kita sajikan di atas, bisa kita tarik kesim-pulan bahwa dunia modern berada di persimpangan jalan antara pengetahuan sekuler masa lalu. Kondisi yang demikian ini masih dominan di kalangan ilmuwan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem metafisika religius dan arus kontemporer ke arah kebangkitan kembali tradisi keagamaan Timur yang masih berlangsung dan semakin berpengaruh di kalangan tertentu, yakni dunia intelektual Barat. Kedua fenomena ini, tentunya, perlu kita sikapi dengan membangun metafisika yang kokoh dan besar dengan dua tujuan sekaligus: (1) menjawab tantangan metafisika yang dilancarkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sekuler yang secara ilmiah mencoba mendongkel pondasi metafisika religius; (2) memberi jawaban yang memadai bagi tuntutan yang terus berkembang, terutama dalam memasuki milenium ketiga ini, terhadap visi metafisika yang seimbang, logis dan rasional yang bisa memuaskan kaum intelektual yang sedang mencari spiritualitas di dunia Timur. Saya berharap bahwa cukuplah kiranya dua fenomena yang menarik ini menjadi alasan perlunya IAIN untuk memiliki visi metafisika yang seimbang, tetapi cukup dapat diandalkan dari sudut logika dan filosofis, serta tidak bertentangan dengan semangat agama.
Kini, sampilah kita pada persoalan pokok, yaitu visi metafisika yang bagaimana yang kita butuhkan. Tentunya, sebagai lembaga yang melibatkan banyak pihak, IAIN tidak bisa menganut satu sistem metafisika tertentu saja, misalnya metafisika Ibn Sina (w. 1037). IAIN harus memiliki visi metafisika yang mengayomi berbagai aliran metafisika yang pernah dikembangkan oleh umat Islam, sejauh tidak melanggar atau menolak ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan demikian, metafisika yang dikembangkan di IAIN bisa mengambil bentuk Avicennian, Suhrawardian, Shadrian, Farabian, maupun Ibn Arabian. Tentunya, bila benar-benar dikembangkan, maka wacana metafisika di IAIN akan semakin kaya. Ini terwujud, bila sistem-sistem tersebut tidak melanggar prinsip dasar agama Islam.
Selain metafisika, IAIN juga harus merumuskan visi epistemologinya yang jelas. Selama ini, epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam merupakan bidang yang sangat diabaikan. Sebagai ilustrasi, UI Press menerbitkan sebuah buku kecil dengan judul Epistemologi Islam. Selain kecil, buku ini juga tidak cukup subtansial memuat ajaran-ajaran epistemologi Islam. Padahal, khazanah filsafat Islam sangat kaya dan potensial untuk disusun menjadi epistemologi Islam yang komprehensif.
Memasuki milenium ketiga, terutama berkaitan dengan rencana merubah IAIN menjadi universitas, arus kajian yang lintas disiplin akan semakin ramai memasuki kampus ini. Dengan dibukanya jurusan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, psikologi, dll., serta kemungkinan besar IAIN akan merekrut dosen-dosen dari beberapa universitas umum, seperti UI, ITB dan IPB. Tenaga-tenaga pengajar ini boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing. Tetapi, dari sudut epitemologi, mereka pasti mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kalau ini dibiarkan begitu saja, maka sudah bisa dibayangkan kebingungan yang akan dihadapi oleh seorang mahasiswa yang mendapat pengajaran dari pelbagai dosen dengan pandangan epistemologi yang berbeda, bahkan mungkin kontras satu sama lain. Misalnya, seorang dosen mengatakan bahwa sumber ilmu hanyalah inderawi, dan metodenya hanyalah observasi. Yang lain mengatakan bahwa sumber ilmu itu adalah inderawi, akal dan hati. Sementara yang lain mengatakan hanya inderawi dan akal.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problem besar yang mungkin terjadi, IAIN harus merumuskan visi epistemologinya, yang tentunya, cocok dengan pandangan fundamental Islam. Setidaknya, visi epistemologi ini harus meliputi dua aspek utamanya: (1) ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, (2) sumber serta metodologi ilmu. Melalui penjelasan keduanya, diharapkan setiap dosen memiliki pedoman yang jelas dalam membahas aspek-aspek teoritis ilmu pengetahuan apapun yang diajarkan.
Dua pertanyaan mendasar dalam setiap teori ilmu adalah pertama, “Apa yang dapat kita ketahui”, dan kedua, “Bagaimana kita mengetahuinya.” Pertanyaan pertama secara langsung berkaitan dengan lingkup dan obyek ilmu, sementara yang kedua terkait dengan sumber dan metode lain.
Dalam pandangan keilmuan Islam, obyek ilmu sama halnya dengan rangkaian wujud (eksistensi), baik yang gaib (metafisika) maupun yang lahir (fisik). Karena itu, ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina dan al-Biruni, mempunyai pandangan dunia yang melukiskan susunan wujud dari yang tertinggi (Tuhan) kemudian turun melalui akal atau entitas rohani (malaikat), serta jiwa dan benda angkasa, hingga yang terendah (alam dunia), atau apa yang disebut sebagai dunia di bawah Bulan. Susunan wujud seperti ini disebut kosmologi.
Berbagai wujud yang tersusun dalam kosmologi ini, lalu terpilah manjadi pelbagai obyek ilmu, lantas muncullah klasifikasi ilmu. Klasifikasi ilmu ini dipandang penting oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim, bukan sekadar untuk mengetahui lingkup pengetahuan manusia, bahkan untuk melihat hubungan antara suatu cabang ilmu dengan yang lainnya. 
Yang terpenting dalam pembicaraan tentang lingkup dan obyek-obyek ilmu ini adalah bahwa setiap cabang ilmu mempunyai korelasi ontologis positif dengan obyek-obyeknya. Artinya, setiap obyek dari cabang ilmu itu harus diakui dan diyakini keberadaannya, apakah ia bersifat gaib (metafisik) maupun nyata (fisik). Misalnya, metafisika berkorelasi secara ontologis dengan obyek-obyek yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, jiwa, alam barzah, surga dan neraka. Obyek-obyek tersebut, yang oleh para filosof Muslim disebut sebagai obyek-obyek ma‘qûlî (intelligible), sementara oleh agamawan disebut alam gaib/rohani (supranatural), diakui serta diyakini keberadaannya oleh para sarjana Muslim (seperti tuntunan agamanya). Sebagaimana obyek-obyek mahsûsî (sensible) menjadi obyek dalam ilmu fisika, astronomi, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, dll.
Pengakuan terhadap status ontologis obyek-obyek itu, baik yang ma‘qûlî maupun mahsûsî, pada gilirannya akan mengarah kepada pengakuan terhadap status keilmuan dari cabang-cabang ilmu yang masuk dalam klasifikasi/lingkup ilmu yang kita kembangkan. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat banyak cabang ilmu yang telah dikembangkan para sarjana Muslim, seperti metafisika, kosmologi, eskatologi, mistisisme, dll., telah diragukan status ilmiahnya oleh para sarjana Barat modern, hanya karena keraguan mereka sendiri terhadap status ontologis dari obyek-obyek ilmu tersebut yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara empiris melalui eksperimen.
Masalah epistemologi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber dan metode ilmu yang berkaitan langsung dengan pertanyaan kedua, yaitu “bagaimana” atau “dengan apa” kita bisa mengetahui sebuah obyek ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mengacu pada “alat” atau “sumber”, yang dengannya manusia mampu mencapai pengetahuan tentang obyek-obyek yang berbeda sifatnya. Setiap epistemologi yang dibangun para sarjana Muslim, mesti menggagas setidaknya tiga sumber atau alat ilmu yang sama-sama diakui keabsahannya, yakni inderawi, akal dan hati (intuisi).
Melalui “inderawi” atau “persepsi indrawi” (sense-perception), bisa dikembangkan metode observasi berdasarkan data-data empiris dan eksperimental. Metode observasi ini telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu alam, seperti kimia, astronomi, optik, dll. Metode observasi dan eksperimen berguna untuk menguji teori-teori lama sekaligus menemukan teori-teori baru.
Seperti telah disinggung di atas, selain panca indra, para sarjana Muslim telah mengakui akal sebagai sumber dan alat untuk menangkap realitas. Dari sini, mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasional atau diskursif (bahtsî). Sebagaimana inderawi bisa menangkap obyek-obyek rohani (mahsûsî) atau metafisika secara silogistik, yakni manarik kesimpulan tentang hal-hal yang belum/tak diketahui (the unknown) dari hal-hal yang telah diketahui (the known). Dengan cara inilah akal manusia, melalui penalaran dan penelitian terhadap alam semesta, bisa mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. 
Selain metode observasi dan rasional, para epistemolog Muslim juga mengakui metode lain untuk menangkap pelbagai realitas spiritual atau metafisika, yaitu metode intuitif atau eksperiensial (dzawqî), seperti yang dikembangkan oleh para sufi dan filosof Isyrâqî. Kendati sama-sama berfungsi untuk menangkap pelbagai realitas metafisika, tetapi terdapat perbedaan metodologis yang fundamental antara akal dan intuisi. Karena, akal menangkap obyek tersebut secara inferensial, sementara intuisi menangkapnya secara langsung (eksperiensial). Sehingga, ia mampu melintasi jurang lebar antara subyek dan obyek. Ciri utama epistemologi Islam adalah menggagas bahwa bukan hanya pengalaman indrawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi. Karenanya, masing-masing patut diperhatikan dalam visi epistemologi IAIN. Mengabaikan salah satu dari ketiganya, sama halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri. Kalau kita mengabaikan pengalaman intuisi, misalnya, maka dengan sendirinya kita akan mengabaikan pengalaman yang menjadi dasar kenabian. Demikian juga pengalaman mistik yang telah menjadi sumber kreatif spitualitas Islam.

Etika Islam
Melihat kondisi moral masyarakat akhir-akhir ini yang semakin menurun, maka sudah selayaknya IAIN memiliki visi etika yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini masih ada banyak kesalah-pahaman terhadap etika atau filsafat moral. Etika acapkali digagas sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan jarang dikaitkan dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani. Karenanya, semakin penting peran IAIN dalam perumusan visi etika yang tegas dan jelas.
Dengan demikian, cara pandang etika IAIN setidaknya dapat meliputi tiga aspek: (1) Etika yang terkait dengan pencarian kebahagiaan, (2) Etika yang terkait dengan rasionalitas dan ilmu, (3) Etika sebagai Pengobatan Rohani.
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan, seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshîl al-Sa‘âdah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.
Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlâk al-karîmah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashîr al-Dîn al-Thûsî (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan; dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal. 
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbîr). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Râzî (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Rûhanî (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.” 
Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseim-bangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.26 Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia. 
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nûr) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah. Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.
Etika juga telah dipandang oleh para filosof Muslim sebagai pengobatan atau “kedokteran” rohani, sebagaimana tercermin dalam judul buku Thibb al-Rûhanî (Kedokteran Rohani), buah karya al-Râzî, seorang ahli kedokteran abad kesepuluh. 
Peran etika sebagai kedokteran rohani sangat sifnifikan. Para filosof Muslim mensejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari kepentingannya, maupun dari metodenya. Jika kita menganggap penting ilmu kedokteran untuk memelihara kesehatan tubuh kita, maka demikian juga kita sangat membutuhkan etika untuk memelihara kesehatan mental kita. Kalau pada saat ini lebih banyak orang yang datang ke dokter medis untuk memeriksakan kesehatan atau mengobati tubuhnya dibanding dengan yang datang ke ahli etika untuk mengkonsultasikan kesehatan mentalnya, dengan sendirinya, bukan berarti bahwa etika tidak penting. Mungkin, hal ini terjadi lantaran mereka tidak/belum mengetahui apa makna dan manfaat etika yang sebenarnya bagi dirinya. Atau, ia merupakan refleksi manusia modern yang lebih menekankan aspek jasmani ketimbang rohani. Keduanya bermuara pada kecenderungan materialistik, bukan pada fakta bahwa di jaman moderen ini etika dianggap tidak perlu. Dibanding manusia masa silam, manusia moderen jauh lebih memerlukanetika, karena krisis moral yang parah sedang melandanya, misalnya pembunuhan sadis, pemerkosaan masal, penjarahan dan lain-lain.
Perbandingan kepentingan antara etika dan kedokteran sebagai disiplin ilmu yang terurai di atas, bisa kita terapkan terhadap metode perawatan dan pengobatan dalam kedua disiplin itu. Metode pengobatan etika sama halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan kuratif. Miskawaih, dalam bukunya Tahdzîb al-Akhlâk, mengatakan bahwa perawatan tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu memelihara dan mengobati. Demikian juga dalam perawatan mental, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan berusaha memulihkannya bila telah hilang dengan cara mengobatinya. Karenanya, dalam rangka memelihara kesehatan jiwa, Miskawaih menyuguhkan lima kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-pandai mencari teman yang baik, agar tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk tabiatnya. Karena, sekali bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar kita akan mencuri tabiat buruk mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia menodai jiwa kita; (2) Berolah fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya dengan berolah raga bagi kesehatan badan. Karenanya, berolah pikir -dalam bentuk kontemplasi, refleksi, dll.- sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian kehormatan dengan tidak merangsang nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik dengan perbuatan, agar kita tidak terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan; dan (5) Berusaha memperbaiki diri yang diawali dengan mencari dan mengenali kelemahan diri sendiri. 
Selain memelihara kesehatan jiwa, etika juga berupaya mengobati penyakit yang menimpa mental, sehingga kesehatan mental dapat dipulihkan. Upaya ini dilakukan dengan mendiagnosis penyakit, mencari sebab musabab, lantas mengobatinya seefektif mungkin. Metode demikian disuguhkan al-Kindi (w. 866) dalam karyanya yang berjudul al-Hilâh li Daf’ al-Ahzân (seni menepis kesedihan). Di sini al-Kindi berupaya menganalisis sebuah penyakit jiwa yang disebut “kesedihan” (al-huzn). Pada mula pertama ia menyebutkan sebab terjadinya, seraya berkata bahwa “kesedihan adalah penyakit jiwa lantaran hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba.” Lalu, al-Kindi menawarkan solusi pengobatannya, pertama, perihal hilangnya yang dicinta, al-Kindi menganjurkan untuk bisa memahami sifat dasar makhluk dunia yang fana. Apapun yang kita cintai di dunia ini akan musnah, maka janganlah mengharapkan mereka kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu luputnya yang didamna bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup yang sederhana, suka menerima (qanâ‘ah), menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan kemungkinan yang kita miliki, agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya

Menjadikan IAIN Sebagai Pusat Pemikiran dan Filsafat Islam
Visi seluas dan setajam apapun tidak akan punya pengaruh seperti yang diharapkan, jika tidak diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit, atau dikembangkan dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan yang relevan dan menunjang visi tersebut. Karena itu, visi yang telah ditawarkan pada bagian terdahulu perlu diwujudkan dalam bentuk Pusat Kajian Filsafat (pemikiran) Islam yang handal dan komprehensif dengan tujuan ganda: (1) memberi jawaban komprehensif dan rasional bagi tantangan dan kritik tajam dari para ilmuwan dan filosof Barat sekuler terhadap bangun metafisika yang berimplikasi terhadap sistem epistemologi dan etika Islam. (2) Mengantisipasi kebutuhan informasi perihal filsafat dan pemikiran Islam di masa datang. Ini terkait dengan bangkitnya kembali metafisika di Barat, dan pencarian hikmah dari tradisi keagamaan Timur (termasuk Islam, terutama aspek pemikiran dan spiritual) oleh para ilmuwan serta cendekiawan Barat. 
Setiap lembaga pendidikan tinggi yang baik harus memiliki “Center of Exellence”. Sangat memungkinkan bagi IAIN untuk membuat dirinya sebagai pusat pemikiran dan kajian filsafat Islam, yang kelak akan menjadi kebanggaannya, lantaran: (1) betapa pun besarnya minat IAIN dan mahasiswanya terhadap filsafat dan pemikiran Barat, tak kan mampu mengejar ketinggalan di bidang ini, misalnya, dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Sebagai lembaga pendidikan Islam, terasa janggal bila IAIN menjadikan filsafat “Barat” sebagai center atau point of exellence-nya. (2) Sebenarnya, IAIN memiliki SDM yang handal, yang telah banyak dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga lain, formal maupun non-formal, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh IAIN sendiri. Kehandalan ini bukan hanya pada keluasan cakrawala berpikir, bahkan penguasaan bahasa asing yang sangat dibutuhkan, baik untuk menimba maupun mentransfer ilmu dan menerjemah, dalam upaya menghimpun data dan informasi yang akan dibutuhkan oleh IAIN sebagi pusat studi fFilsafat dan pemikiran Islam. (3) Hal lain yang menunjang atau memungkinkan untuk membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Pemikiran Islam adalah semakin tersedianya bahan-bahan mental (material) yang sangat potensial untuk digali baik dari khasanah klasik Islam, maupun dari hasil-hasil pengkajian sarjana moderen terhadap pemikiran dan spiritualitas Islam. 
Membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Filsafat dan Pemikiran Islam, sebagai mana STF Driyarkara sebagai Pusat Kajian Filsafat Barat dan Kristen, menunjuk kepada perlunya gebrakan-gebrakan baru yang signifikan dan mesti diperkuat pelbagai kebijakan, baik dari IAIN sendiri maupun instansi terkait. Kendati memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini mesti direalisasikan. Sebab informasi dan data yang tersedia, terutama di bidang filsafat Islam, telah sangat tidak memadai. Karenanya, perlu dilakukan pelbagai pengembangan besar, demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Upaya di atas sekaligus menunjuk kepada upaya membuka (melalui penelitian dan pengembangan) pelbagai lahan filsafat yang sangat potensial untuk digali. Misalnya, pengenalan tokoh-tokoh filsafat yang belum begitu dikenal (the Minor Philosophers), penerjemahan karya-karya utama, pengembangan bidang-bidang tertentu dalam filsafat ––metafisika, epistemologi, etika dan politik–– dan pelbagai hal yang terkait dengan literatur filsafat Islam.
Pengenalan terhadap segelintir filosof utama Muslim (enam orang) oleh Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam, kendati sangat berguna, namun sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan IAIN sebagai pusat informasi pemikiran Islam. Penyajian ulang secara terus menerus sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan dan penambahan selama lebih dari seperempat abad. Ini mengesankan seolah-olah dunia Islam hanya memiliki sedikit filosof. Padahal, dunia Islam abad ketiga belas, sebagaimana dilaporkan Ibn Abî Ushaybi’ah dalam ‘Uyûn al-’anbâ’ fî Thabaqât al-Athibbâ’, telah memiliki lebih dari 350 filosof besar dan kecil. Tentunya, itu belum termasuk beberapa filosof lain yang diungkapkan biografer lainnya, seperti Syams al-Dîn Sahrarûzî dalam Nuzhat al-Arwâh wa Raudlat al-Afrâh, yang memuat biografi “Shaikh Isyrâqî” Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191), dan Dzâhir al-Dîn Bayhaqî dalam Târîkh Hukamâ’ al-Islâm. 
Berarti, lahan garap filsafat di bidang tokoh (biografis) masih sangat luas dan dalam, lantaran masih ada ratusan tokoh filsafat, dengan corak pemikiran yang kaya dan berbeda-beda, yang belum diperkenalkan. Penggalian data dan informasinya bisa ditempuh melalui upaya: (1) kajian intensif (bahkan penerjemahan) beberapa karya biografis filosofis dan ilmiah yang pernah ditulis oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti tiga karya yang tersebut di atas, ditambah karya-karya biografis lain seperti al-Fihrist oleh Ibn al-Nadîm, Ikhbâr al-‘Ulamâ’ bi Akhbâr al-Hukamâ’ oleh Ibn Qifthî, dan Thabaqât al-Athibbâ’ wa al-Hukamâ’ oleh Ibn Juljul;41 (2) mencermati perkembangan kesarjanaan filsafat Islam komtemporer, baik oleh para sarjana Barat maupun Muslim, dalam monografi mereka berkenaan dengan para filosof Muslim tertentu yang belum begitu dikenal. Misalnya, perihal Abu Sulayman al-Sijistani oleh Joel L. Kraemer dalam The Philosophy in The Renaissance of Islam; perihal Abu al-Hasan al-Amiri oleh Everett K. owson dalam A Muslim Philosoher on the Soul and its Fate: al-Âmiri’s Kitâb al-Amâd ‘alâ al-Abad; atau Subhan Khalifat dalam Rasâ’il Abî al-Hasan al-Âmirî wa Syadzâtatuhu al-Falsafiyah yang membahas seluruh karya al-Âmirî yang ada. Juga perihal biografi dan pandangan Qutb al-Dîn Syîrâzî, seorang ahli kedokteran dan astronomi Muslim abad ke tigabelas Masehi, dikedepankan oleh John Walbridge dalam The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi and the Illuninationist Tradition in Islamic Philosophy; perihal Abû Ya‘qûb al-Sijistanî disajikan dalam karya terjemahannya The Wellsprings of Wisdom oleh Paul E. Walker; dan masih banyak monografi lain yang patut mendapatkan perhatian kita.
Cara lain yang lebih efektif dalam pengembangan lahan-lahan potensial Filsafat Islam adalah dengan menghimpun (mengoleksi) karya-karya filosofis Muslim untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Pengkajian dan penerjemahan ini akan sangat berguna bagi pemahaman dan pengembangan wawasan filosofis Islam, yang selama ini hanya dinikmati melalui karya-karya sekunder, bertujuan menghidari kesalahpahaman akibat ketidakmampuan mengakses secara langsung karya-karya utama (materpiece) para filosof kita. Ratusan karya filosofis, ilmiah, dan mistis masih menunggu upaya-upaya yang serius. Misalnya, dalam bidang filsafat terdapat karya-karya agung seperti Fî al-Falsafah al-Ulâ buah karya al-Kindi, Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadhîlah buah karya al-Farabî, al-Syifâ’ dan al-Isyârât wa al-Tanbîhât buah karya Ibn Sinâ, Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât buah karya Suhrawardi, The Nashirean Ethics buah karya Nashîr al-Dîn Thûsî, serta Kitâb al-Asfâr al-Arba’ah dan Hikmat al-‘Arsy buah karya Mullah Shadra, dll. Demikian juga karya-karya ilmiah di pelbagai bidang, seperti Kitâb al-Manâzhir membahas optika buah karya Ibn Haytsam (w. 1039), al-Hawi fi al-Thibb dan al-Thibb al-Rûhanî buah karya Abu Bakr al-Razi, al-Qanûn fî al-Thibb buah karya Ibn Sina dan al-Syamil fî al-Thibb buah karya Ibn Nafis (w. 1288), serta karya-karya di bidang medis. Di bidang astronomi, kita juga punya kitab-kitab agung seperti Zij-I Ilkhânî karya Nashîr al-Dîn Thûsî (w. 1274), dan Durrat al-Tâj li Ghurrat al-Dubaj karya Quthb al-Dîn Syîrazî. Sementara bidang tasawuf, yang tidak bisa dipisahkan dari wacana filsafat, terdapat karya-karya agung yang patut dikaji dan diterjemahkan. Misalnya, Matsnawi dan Diwân-I Syams-I Tabrîz karya seorang penyair sufi terbesar Persia, Jalal al-din Rumi (w. 1273), Fushûsh al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi (w. 1240), Lama’at karya Fakhr al-Dîn ‘Iraqî (w. 1289), dan Munâjâtkarya Khwaja Abdullah Anshari (w. 1089).
Filsafat Islam, yang baru dasarnya saja diperkenalkan oleh almarhum Nasution, patut sekali dikembangkan secara lebih rinci menurut bidang-bidang utamanya: metafisika, epistemologi, etika dan politik. Di bidang metafisika, pengembangan bukan hanya pada masalah ketuhanan dalam pelbagai konsep para filosof Muslim, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Abu Sulaiman al-Sijistani, al-Kirmani, al-’Amiri dll., sebagaimana yang dipaparkan Ian Netton dalam Allah Transcendent: Studies in The Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology. Perihal bukti-bukti filosofis keberadaan-Nya, misalnya dalil al-hudûts yang dikembangkan al-Kindi, dalil al-jawâz oleh Ibn Sina maupun dalil al-inâyah61 oleh Ibn Rusyd. Bahkan bidang-bidang kosmologis, konsep akal (intelek), konsep eskatologis, termasuk alam barzakh dan alam mitsal yang menjadi perhatian utama Henry Corbin dalam Spiritual Body and Celestial Earth juga Fazlur Rahman dalam The Philosohy of Mulla Shadra. Hal penting yang sering dilewatkan dalam kajian metafisika di IAIN adalah kajian yang berkaitan dengan wujud (eksistensialisme), yang telah menjadi topik utama dalam karya-karya monumental para filosof Muslim. Di bidang epistemologi, pengembangan bisa dalam bentuk kajian intensif perihal pandangan epistemologis para filosof dan ilmuwan Muslim yang selama ini jarang sekali disentuh, kendati hal ini dirasa mendesak. Misalnya, pancarian pandangan keilmuan yang harmonis, sebagai alternatif bagi pandangan keilmuan Barat yang dirasakan semakin timpang.
Karya-karya utama para filosof Muslim yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan, seperti Ihshâ’ al-‘Ulûm karya al-Farabi, al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Ghazali, Durrat al-Taj li-Gurrat al-Dubaj karya Quthb al-Din Syirazi (w. 1311), dan al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun (w.1406), merupakan rujukan utama dalam wacana epistemologi Islam. Di dalamnya dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta metode-metodenya. Kita pun patut memperhatikan karya-karay besar di bidang filsafat Islam kontemporer yang membahas pelbagai aspek epistemologi Islam secara panjang lebar dan mendalam, sebagaimana karya Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. 
Etika filosofis yang dikembangkan para filosof Muslim pun perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat langkanya kajian filsafat Islam di bidang ini. Hingga kini masih terdapat pandangan yang kabur perihal obyek, tujuan dan pembahasan pokok dalam etika filosofis, lantaran acapkali terjadi kesalahpahaman. Selain itu, kondisi psikologis dan mental masyarakat akhir-akhir ini menunjukan dekadensi yang mencolok. Pelbagai persoalan moral muncul dengan sangat memalukan, karenanya pengkajian di bidang ini dirasakan semakin urgen. Mengingat etika, menurut para pemikir Muslim, tiada lain adalah ilmu pengobatan rohani yang sangat dibutuhkan manusia, di mana saja dan kapan saja, lebih-lebih dalam keadaan yang serba tidak menentu seperti sekarang ini. Sebenarnya, kita amat beruntung telah memperoleh karya-karya agung perihal etika yang isu-isu moralnya cukup menarik untuk diperbincangkan, misalnya perihal kebahagiaan, pembinaan karakter, pelbagai keutamaan dan penyakit moral, serta pelbagai solusi bagi pelbagai masalah yang timbul. Seperti Tahdzîb al-Ahklâq karya Ibn Miskawaih, Nashirian Ethics karya Nashîr al-Dîn Thûsî, al-Akhlâq wa al-Siyâr karya Ibn Hazm, Akhlâq-I Jalâlî karya Jalâl al-Dîn al-Dawwânî, serta karya-karya filosof Muslim kontemporer seperti Falsafe Akhlâq karya Murtadla Muthahhari.
Terakhir, bagian filsafat Islam yang paling diabaikan adalah bidang politik. Kendati perlu diakui bahwa teori politik yang dikembangkan para filosof Muslim tidak begitu berpengaruh dalam praktek politik yang nyata dalam masyarakat, ketimbang, misalnya, konsep politik kaum “jurist”, seperti al-Mawardi, al-Juwayni, al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.
Namun, setidaknya sumbangan para filosof dalam hal ini patut diperhatikan. Para filosof yang merumuskan teori-teori politik adalah mereka yang langsung terjun dalam bidang politik, seperti Ibn Sina yang menjadi perdana menteri bagi ‘Ala’ al-Dawlah, Nashir al-Din al-Thusi sebagai wazir dan kepercayaan Hulagu Khan, Miskawayh sebagai wazir bagi ‘Adlul al-Dawlah, dan Ibn Rusyd yang menjadi wazir bagi Ibn Ya’kub. Karenanya, untuk melengkapi bidang garap filsafat di IAIN, sebagai pusat pemikiran dan filsafat Islam, harus disertai perhatian khusus terhadap bidang yang lagi aktual, yakni politik. Semestinya kita patut bersyukur lantaran telah ada, paling tidak dua, karya yang secara khusus membahas pelbagai topik dan bias politik dari filsafat Islam. Pertama, Political Thought in Medieval Islam karya Erwin Rosenthal. Karya ini membahas teori-teori kekhalifahan menurut al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Ibn Taymiyah. Bahkan juga filsafat politik dalam Islam, dengan menampilkan pandangan politik Ibn Sina, Ibn Bajja, Thusi dan al-Dawwani. Kedua, karya yang secara eksklusif menyuguhkan pandangan politik para filosof, yakni The Political Aspect of Islamic Philosophy. Di dalamnya dikemukakan berbagai konsep politik ––banyak di antaranya untuk pertama kali–– berasal dari hampir semua filosof besar Muslim, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah. Ibn Thufayl, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan Quthb al-Din Syirazi. Karya yang dengan apik diedit oleh Charles E. Butterworth ini memuat sumbangan para penulis filsafat Islam yang terkenal, seperti ia sendiri, Paul E. Walker, Miriam Galston, Stephen Harvey, Hossein Ziai dan John Walbridge. Semua karya ini sangat mendesak untuk diteliti dan dikembangkan oleh civitas akademika IAIN.
Ada beberapa hal lagi yang juga patut menjadi perhatian kita dan bisa menjadi lahan subur bagi pengembangan bidang filsafat Islam, seperti literatur hikmah, kebangkitan metafisika di Barat, dan perkembangan filsafat Islam kontemporer. Literatur hikmah merupakan bidang yang barangkali belum disentuh secara serius, padahal khazanah Islam sangat kaya dengan karya-karya hikmah yang agung. Literatur hikmah yang saya maksud adalah kumpulan karya para filosof Muslim maupun non-Muslim, berisi nasehat moral, religius, politik, juga anekdot-anekdot yang sarat dengan kandungan moral. Diantaranya, Nawâdir al-Falâsifah karya Hunain b. Ishaq, al-Hikmah al-Khalîdah karya Ibn Miskawayh, al-Kalâm al-Rûhâniyyah karya Ibn Hindu, Shiwan al-Hikmah karya Abu Sulayman al-Sijistani, dan Mukhtâr al-Hikam wa Mahâsin al-Hikam, karya Mubasysyir b. Fatik. 
Selain literatur hikmah, perkembangan metafisika dalam bentuk filsafat perenial di bawah pimpinan Rene Guenon, juga merupakan lahan yang kaya, sangat berguna dan menarik untuk dikaji secara intensif. Rene Gueson dan murid-muridnya seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Titus Burckhardt, dll., merupakan generasi baru intelektual Barat yang tersadarkan dari kematian spiritualitas dunia Barat. Lalu, berupaya merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai pandangan alternatif bagi filsafat materialistik Barat. Yang terpenting adalah bahwa mereka telah mengambil tradisi-tradisi besar Timur termasuk Islam (dalam bentuk sufismenya) sebagai sumber inspirasi mereka, dan lebih penting lagi fakta bahwa banyak di antara mereka yang menjadi Muslim. Karena itu, kita punya kepentingan yang besar terhadap karya-karya mereka, bila memiliki rasa ingin tahu bagaimana kontak yang terjadi pada tataran metafisika antara Barat dan Timur. Mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya kreatif, seperti What is Sufism? karya Martin Lings, An Introduction to Sufi Doctrines dan The Mirror of Intellect karya Titus Burckhardt, The Reign of Quantity karya Guenon, dan beberapa karya cemerlang dari Frithjof Schuon seperti The Transcendent Unity of Religions, Sufism, Sufism: Veil and Quintessence, Light on the Ancient Worlds, dll.
Lahan lain yang mesti dikembangkan adalah perkembangan filsafat Islam kontemporer dan modern, atau yang lebih dikenal sebagai filsafat pasca-Ibn Rusd. Banyak sekali filosof Muslim yang telah menyumbangkan karya-karya orisinil mereka di bidang filsafat pasca-Ibn Rusyd, namun sayang perhatian kita masih sangat minim. Seperti Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Syam al-Din Lahiji, Mulla Shadra, ‘Abd al-Razzaq Lahiji, Muhsin Faydl Kasyani, dll. adalah para tokoh baru yang namanya terdengar samar-samar. Beberapa tokoh yang hidup pada abad kedua puluh seperti Astiyani, Tabataba’i, Murtadla Muthahhari, dan tentu saja Mehdi Ha’iri Yazdi, adalah para tokoh yang mesti dikaji secara intensif dan serius. Karena, dalam karya mereka tercermin bagaimana reaksi para fiolsof Muslim terhadap perkembangan filsafat Barat. Ini mesti digagas, bila IAIN ingin menjadi Pusat pemikiran dan Filsafat Islam. Sebenarnya telah tersedia dua karya penting Henry Cobin, pertama, History of Islamic Philosophy yang membahas sejarah filsafat Islam, sejak munculnya hingga banyak filosof pasca-Ibn Rusyd; kedua, Spiritual Body and Celestial Earth, yang melacak secara khusus pemikiran para filosof dan Sufi pasca-Ibn Rusyd, khususnya konsep mereka tentang alam mitsal. Suatu bidang kajian yang belum tersentuh dalam kurikulum kita.

Penutup

Demikianlah yang dapat saya sajikan berkenaan dengan upaya membangun kerangka keilmuan di IAIN dalam memasuki milenium ketiga, khususnya dari perspektif filosofis. Tentu saja, semua ini akan sangat efektif bila diimplementasikan bukan saja dalam lembaga-lembaga kajian, bahkan dalam kurikulum filsafat di IAIN, baik tingkat S1 maupun S2. Jadi, kalau kita lihat dari apa yang telah disajikan, nampak khazanah filsafat Islam sangat kaya, dalam dan menarik. Tiada lain harapan saya, semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini akan menjadi masukan yang esensial teruatama dalam menyusun kurikulum filsafat islam, yang saat ini masih terlalu sederhana dan perlu terus dikembangkan. Terutama memasuki era baru milenium ketiga yang penuh tantangan, sekaligus kesempatan yang tidak boleh begitu saja kita lewatkan. Semoga bermanfaat.


read more “MEMBANGUN KERANGKA KEILMUAN IAIN”

Mengapa Enggan Mengubah Diri



Kekuatan seseorang mengubah dirinya akan menjadi salah satu kunci kesuksesan memburu pertolongan Allah Azzawa Jalla. Kita banyak keinginan dan dengan begitu lantas kitapun jadi banyak berharap dan berdoa kepada Allah. Namun sibuknya meminta kadang-kadang membuatkita tidak sempat menilai diri sendiri. Padahal justru kalau kita berdoa dan berakibat kita mengubah diri,maka Allah pun akan memberi apa yang diminta. Ini dikarenakan doa itu adalah pengiring agar kita bisa mengubah diri.
Jadi, kalau kita banyak berharap, banyak minta sesuatukepada Allah dan begitu besarnya keinginan agar Allah mengijabah doa kita, tetapi kita sendiri tidak pernahmau membuat diri sendiri berubah menjadi lebih baik, berarti ada yang salah dari permintaan kita."Bagaimana engkau menginginkan sesuatu yang luarbiasa, padahal engkau sendiri tidak mengubah dirimu dari kebiasaannya?" tanya Imam Ibnu Athoilah.
Kita berharap padi yang kita tanam dapat tumbuh subur dan bernas bulirnya tetapi kita sendiri tidak bergairah mencangkul, memberi pupuk dan memeliharanya dengan baik. Manakah mungkin keinginan itu dapat tercapai? Kita berdoa kepada Allah karena ingin dimudahkan dalam mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Tetapi, kita tidak meningkatkan kegigihan belajar, enggan memperluas wawasan, malas berkonsultasi, tidak mau menggali informasi sebanyak-banyaknya; pendek kata tidak maubersungguh-sungguh, ini berarti doa yang kita panjatkan tak lebih dari doa hampa belaka.
Betapa tidak? Sebetulnya kekuatan doa itu akan jauh lebih efektif ketika kita sanggup mengubah diri dengandoa tersebut. Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri demikian sabda Rasul SAW. Umar bin Khattab sendiri pernah mengusir seseorang dari masjid lantaran beberapa kali dijumpai sedang sibuk berdoa tanpa kelihatan keluar untuk berikhtiar.
Pernah suatu ketika ada seorang istri yang begitu mendambakan memiliki anak-anak yang shalih dan suami yang lebih bertanggung jawab, dapat menjadi teladan yang baik bagi keluarga serta taat dalam beribadah. Ia telah banyak memanjatkan doa kepada Allah. Tak jarang pula mendatangi ulama untuk meminta nasihat dan didoakan.
Akan tetapi, wanita tersebut ibadahnya tidak pernah ditingkatkan. halatnya masih biasa-biasa saja. Dinasihatkan agar mulai belajar mengenakan busana muslimah kalau memang ingin semakin dekat kepada Allah, sehingga doanya membuahkan ijabah. Mudah-mudahan dengan demikian Allah melihat ia lebih sungguh-sungguh lagi dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Lihat pula kedalam diri sendiri, selidikilah apa saja yang kurang dari kebiasaan ibadah selama ini. Tidak cukup hanya dengan doa saja.
Namun,bila semua ikhtiar mengubah diri tersebut enggan dilakukan, bagaimana mungkin segala sesuatu yang diharapkan itu bisa kesampaian?Kita harus mulai berani mengubah kebiasaan yang kurang baik, sejauh yang sanggup kita ubah. Bila kita selama ini terbiasa merokok cobalah mulai dikurangi. Daripada uang dibelikan rokok lebih baik disedekahkan karena bersedekah itu jelas-jelas merupakan perbuatan muliayang mengandung nilai pahala yang amat tinggi, sedangkan "membakar" uang melalui rokok, adalah perbuatan mubadzir yang mengundang bala.
Malam hari yang biasanya tidur pulas, kali ini bangunlah untuk tahajud. Siang hari, yang biasanyasegala makanan disantap, cobalah kali ini belajarmenahan diri dengan melaksanakan shaum sunnah. Selama ini sudah terbiasa tidak bisa menahan lisan, gemar berbicara banyak, berkomentar tentang hal-hal yang tidak perlu dan menahan diri. Bukankah Rasulullah SAW sendiri pernah menegaskan,"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah ia mengucapkan kata-kata yang baik atau hendaklah ia diam" (HR.Bukhari Muslim)
Kita banyak didera oleh berbagai persoalan hidup, lantas sangat berharap segera terbebas dan beroleh kenyamanan dan kebahagiaan, tetapi selama hidup tidak pernah masuk ke mesjid. Bukankah kesanggupan pergi ke mesjid untuk bersujud kehadapan-Nya itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada kita? Tidak ada yang bisa datang kerumah Allah, kecuali orang yang diundang oleh-Nya.
Demikian juga ketika hendak makan, hendaknya terlebih dahulu curigai makanan dihadapan ktia. Halal, haram atau syubhatkah? lalu tengok pakaian yang sedang kita kenakan, adakah memang milik sendiri, tidakkah dibeli dengan uang haram? Mulut mungkin selama ini terlalu banyak dipergunakan untuk menyakiti perasaan orang lain. Mulailah direm sekarang juga.
Pendek kata semakin banyak permintaan yang kita panjatkan kepada Allah, semakin kita harus pandai-pandai mencermati diri, apalagi yang harus kita ubah dari diri kita. Insya Allah semua ini akan membuat lebih cepat diijabahnya suatu doa. Berdoa adalah suatu amalan yang baik, tetapi perubahan suatu amalan yang tidak baik menjadi baik itu juga harus lebih bagus lagi dari yang sudah-sudah.
Kalau kita rajin berdoa tetapi selama ini tidak ada perubahan akhlak, mutu ibadah ataupun pengendalian diri, maka tidak usah menyalahkan siapa-siapa kalaudoa kita sepertinya hampa dan tak terkabulkan. Padahal mustahil Allah tidak mengabulkan doa seorang hamba. Begitu banyak ayat Al Qur'an dan hadist yang menegaskan jaminan Allah ini,"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku menjawab doa seseorang yang berdoa manakala ia berdoa" (QS.AlBaqarah:186)
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah itu hidup lagi Maha Mulia dan Maha Pemurah. Dia malu apabila seseorang menengadahkan kedua tanggannya, untuk menolaknya dalam keadaan hampa dan sia-sia (HR. Timidzi)
Dengan demikian, lebih memikirkan upaya untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan kurang baik, ternyata faktor yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin doanya lebih cepat diijabah. Betapa tidak? Karena pada umumnya orang itu suka lebih sibuk dan merasa pusing dengan apa yang diinginkannya ketimbang mengubah dirinya sendiri.


read more “Mengapa Enggan Mengubah Diri”

MENGEMBANGKAN PERILAKU MENGAJAR YANG HUMANIS



A. Pengantar
Anak tidak saja membutuhkan perlakuan yang sesuai dengan perkembangan psikologisnya, namun juga mempunyai hak untuk dihormati, dilindungi, dimajukan dan dipenuhi hak-haknya. Pengertian “kebutuhan” menunjukan bahwa anak secara alamiah sebagai makhluk Tuhan membutuhkan perlakuan dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensinya, sehingga tercerabutnya anak dari keadaan demikian berpotensi menghambat pencapaian kesejahteraan jiwa dan perkembangan yang optimal. Pengertian “hak” menunjukkan bahwa ada jaminan pemenuhan yang bersifat perlindungan, adanya pihak yang berperan dan terlibat sebagai aktor yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi perlindungan tersebut, dan ketika tidak dipenuhi berarti telah terjadi pelanggaran hak.
Di sisi lain, berita di media massa menunjukkan bahwa lingkungan yang seharusnya kondusif untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan dan hak anak tersebut ternyata belum steril dari perlakuan yang mengabaikan atau melanggar kebutuhan dan hak anak. Beberapa kasus kekerasan terhadap siswa oleh guru, kasus terpasungnya kebebasan anak, dan pemberian hukuman fisik dengan alasan pendidikan (kadang dianggap sebagai satu-satunya jalan padahal cara yang lain tidak ditempuh) masih menghiasi media massa.  
Menurut Rogers (dalam Palmer 2003), pendidikan menuntut perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, dan membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Proses pembelajaran yang baik menurut Purkey & Novak (dalam Eggen & Kauchak, 1997) adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu dan bernilai, mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut. 
Uraian tersebut menunjukkan pentingnya menilai dan menerima anak secara positif, membangun hubungan dan kepercayaan siswa, dan mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi dirinya. Di sisi lain, keadaan yang sering kita jumpai justru seringkali menempatkan siswa dalam posisi tidak berarti, selalu salah, dan hubungan “guru benar dan siswa salah”.
Melihat keadaan tersebut maka diperlukan kemauan dan kemampuan guru dalam menggunakan pendekatan dan cara-cara yang humanis dalam pendidikan anak. Tulisan ini dikembangkan dari penelitian penulis tentang efektivitas pelatihan berpikir positif terhadap perilaku mengajar yang humanis pada guru SD di Yogyakarta, yang didanai oleh pemerintah kota Yogyakarta tahun 2004.  

B. Pendidikan Humanistik
Salah satu cara untuk mendeskripsikan pendidikan humanistik adalah dengan melihat apa yang terjadi di kelas. Kirchenbaum dalam (Roberts, 1975) melihat ada 5 dimensi yang dapat dijadikan jalan untuk menjadi kelas yang humanis.
a. Pilihan dan kendali diri 
Dalam hidupnya siswa dihadapkan dengan proses menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Pendidikan humanistik memfasilitasi kemampuan tersebut dengan memberikan latihan mengambil keputusan terkait dengan tujuan sekolah maupun aktivitas harian. Siswa dapat dilatih melalui aktivitas kegiatan siswa dan belajar yang memungkinkannya memiliki pilihan dan kendali dalam merancang, menetapkan tujuan, memutuskan, dan mempertanggung jawabkan keputusan yang telah dibuatnya.
b. Memperhatikan minat dan perasaan siswa
Kelas menjadi humanis ketika kurikulum dan pembelajaran menunjukan perhatian pada minat dan perasaan siswa. Mengkaitkan materi pelajaran dengan minat, pengetahuan, dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dan meminta tanggapan siswa merupakan contoh aktivitas yang dinilai siswa memperhatikan minat mereka.
c. Manusia seutuhnya
Perlu perubahan orientasi pembelajaran dan penilaian dari orientasi aspek kognitif menuju ke arah perhatian, penghormatan, dan penghargaan terhadap siswa sebagai manusia seutuhnya. Integrasi ketrampilan berpikir dengan kecakapan hidup yang lain sangat penting agar lebih efektif menjadi individu.
d. Evaluasi diri
Pendidikan humanistik bergerak dari evaluasi yang dikontrol guru menuju evaluasi yang dilakukan oleh siswa. Siswa perlu difalitasi untuk memantau kemajuan belajarnya sendiri baik melalui tes atau umpan balik dari orang lain.
e. Guru sebagai fasilitator 
Guru perlu mengubah peran, yaitu berubah dari sebagai direktur belajar menjadi fasilitator atau penolong. Guru hendaknya lebih suportif daripada mengkritisi, lebih memahami daripada menilai, lebih real dan asli daripada berpura-pura. Jika keadaan tersebut dapat dilakukan maka akan berkembang hubungan menjadi resiprokal, yaitu guru sering menjadi pembelajar, dan siswa sering menolong dan mengajar juga. 
Konsepsi diatas menunjukkan bahwa sebuah ruang kelas dapat menjadi humanistik atau bukan adalah bukan karena pernyataan. Melainkan dapat dinilai dari tingkat peran siswa dalam membuat pilihan, tingkat siswa merasa pendidikannya sesuai dengan perhatian mereka, keseimbangan antara kognitif dan aspek kecakapan hidup lainnya, tingkat evaluasi hasil belajar oleh diri sendiri, dan tingkat berfungsinya guru sebagai fasilitator. 
Borton (dalam Roberts, 1975) lebih lanjut menjelaskan beberapa karakteristik peran pendidik humanistik disamping perhatian terhadap perasaan siswa “disini dan kini”, yaitu :
1. Guru memfasilitasi siswa mempelajari dirinya sendiri, memahami perasaan dan tindakan yang dilakukannya
2. Guru mengenali harapan dan imajinasi siswa sebagai bagian penting dari kehidupan siswa dan memfasilitas proses saling bertukar perasaan 
3. Guru memperhatikan bahasa ekspresi non verbal, seperti gesture dan suara. Melalui ekspresi non verbal ini beberapa keadaan perasaan dan sikap dikomunikasikan oleh siswa.
4. Guru menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai cara untuk menstimulasi perilaku yang dapat dipelajari dan diubah.
5. Guru memfasilitas belajar dengan menunjukkan secara eksplisit tentang bagaimana prinsip-prinsip dasar dinamika kelompok sehingga siswa dapat lebih bertanggung jawab untuk mendukung belajar mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan pendidikan yang humanis maka diperlukan:
1. Pendidikan yang menghargai dan mengembangkan segenap potensi manusia; tidak saja dimensi kognitif, namun juga kemampuan afektif, psikomotorik dan potensi unik lainnya. Siswa dihargai bukan karena ia seorang juara kelas melainkan karena ia mengandung potensi yang positif.
2. Interaksi antara siswa dan guru yang resiprokal dan tulus
Tanpa hubungan yang saling percaya dan saling memahami maka pendidikan yang mengeksporasi segenap perasaan dan pengalaman siswa sulit untuk dilaksanakan. 
3. Proses pembelajaran yang mendorong terjadinya proses interaksi dalam kelompok dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi pengalaman, kebutuhan, perasaannya sendiri sekaligus belajar memahami orang
4. Pengembangan metode pembelajaran yang mampu menggerakkan setiap siswa untuk menyadari diri, mengubah perilaku, dan belajar dalam aktivitas kelompok melalui permainan, bermain peran dan metode belajar aktif lainnya.
5. Guru yang peduli, penuh perhatian, dan menerima siswa sesuai dengan tertinggi setiap insan.
6. Mengembangkan sistem penilaian yang memungkinkan keterlibatan siswa misalnya dengan penilaian teman sebaya, dan siswa menilai kemajuan yang telah dicapai sendiri melalui evaluasi diri.

C. Perilaku mengajar yang humanis
Sebaik apapun konsep pendidikan, yang paling menentukan adalah bagaimana implementasi di lapangan. Sikap dan tindakan guru sebagai pelaksana pendidikan adalah tema yang perlu diperhatikan secara serius.
Perilaku mengajar yang humanis terkait dengan aliran Humanism, yaitu sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia (Kartono & Gulo, 2000)
Berdasarkan uraian Prof. Dr. Djohar (dalam Alimi dan Zaidie, 1996), penulis menyimpulkan bahwa Perilaku yang humanis adalah perilaku yang memanusiakan siswa dengan menghargai martabat dan memperlakukan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. 
Menurut Rogers (dalam Palmer, 2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang positif, empati, dan suasana yang harmonis/tulus, untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri 
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka perilaku mengajar yang humanis, adalah tindakan guru baik bahasa verbal dan non verbal yang menghargai kapasitas siswa dan memperlakukan siswa dengan rasa hormat dan empati sesuai karakteristik masing-masing.
Carl Rogers menyatakan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan dan hubungan yang nyaman antara terapis dan klien, hubungan dialogis yang memberdayakan klien untuk mencapai aktualisasi diri siswa (dalam Palmer, 2003). Implikasi ajaran tersebut dalam bidang pendidikan adalah perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Pengajaran yang baik adalah “proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu, bernilai, dan mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut” (Purkey & Novak, dalam Eggen & Kauchak, 1997). 
Beberapa aktivitas mengajar yang berkaitan dengan pendekatan mengajar yang humanis adalah mengakui, menghargai dan menerima siswa apa adanya, tidak membodoh-bodohkan siswa, terbuka menerima pendapat dan pandangan siswa tanpa menilai atau mencela, terbuka untuk komunikasi dengan siswa, dan tidak hanya menghargai potensi akademik, memberi keamanan psikologis, memberi pengalaman sukses kepada siswa; untuk aktivitas-aktivitas kreatif guru tidak banyak memberikan aturan, menceritakan pengalaman, menulis cerita, menghargai usaha, imaginasi, fantasi dan inovasi siswa, stimulasi banyak buku bacaan, dan memberikan aktivitas brainstorming.

D. Cara mengembangkan perilaku mengajar yang humanis
Perilaku yang humanis adalah tindakan yang dapat teramati, dilakukan guru di dalam kelas ketika berhadapan dengan siswanya. Perilaku adalah hasil interaksi antara komponen pikiran, emosi, dan lingkungan. 
Burns (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emosi, pikiran dan perilaku. Emosi yang terbentuk oleh suatu peristiwa disebabkan oleh penilaian/pikiran terhadap peristiwa. Sebelum seseorang bertindak tehadap suatu peristiwa apapun maka individu harus memprosesnya dengan pikiran serta memberikan arti. Individu harus memahami apa yang sedang terjadi, sebelum dapat merasakan dan menentukan tindakan. Dengan demikian, kunci pertama dari emosi dan perilaku adalah bagaimana pikiran individu terhadap situasi.

Berdasarkan model di atas penulis menemukan empat hal yang dapat dilakukan guru untuk mampu mengembangkan perilaku yang humanis ketika menghadapi siswa di ruang kelas.
1. Mengenali penyebab perilaku
Perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara komponen fisik, pikiran, emosi dan keadaan lingkungan. Namun, untuk memperkuat kontrol manusia terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik, pikiran dan emosi yang dialaminya. Seringkali seorang guru gagal bertindak yang terbaik baik karena fisik sedang lelah atau kurang sehat sehingga menggunakan cara yang keras atau hukuman untuk mengendalikan siswa. Tindakan yang kurang tepat juga dapat dihasilkan karena pandangan yang negatif tentang siswa, misalnya x adalah anak nakal maka tindakan netral pun dapat menjadi negatif karena pandangan kita tersebut. Penyebab lain adalah keadaan emosi yang tidak kondusif, misalnya sedang marah atau cemas karena ada tugas yang menumpuk atau kejadian di tempat lain yang belum tuntas. Secara kognitif, Burns (1988) mengemukakan banyak hal dapat terjadi yang disebutnya distorsi kognitif, yaitu kecenderungan pikiran kita untuk mengalami kesalahan dan penyimpangan dalam menilai sesuatu. Penulis menggarisbawahi empat jenis distorsi yang cukup relevan dalam dunia pendidikan, yaitu:  
a. Memberi cap : melukiskan siswa sebagai orang yang nakal atau dungu, kemudian mendaftar di dalam pikiran semua hal yang tidak disukai tentang orang tersebut (filter pikiran) dan mengabaikan semua kelebihan atau sisi positif atau sifat-sifat yang baik (mendiskualifikasikan yang positif). Contohnya: “Dia anak pemalas” (faktanya saat itu ia tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah).
b. Membaca pikiran : mereka-reka motif yang melatarbelakangi perilaku siswa, dan demi kepuasan sendiri menjelaskan mengapa siswa bertindak demikian. Justru yang terjadi adalah menyalahkannya saja. Contohnya: “Dia pasti tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah sehingga tidak masuk kelas”.
c. Pembesaran : membesar-besarkan pentingnya peristiwa negatif, sehingga intensitas reaksi emosional dapat meledak. Contohnya, “Gara-gara ia bertanya penjelasan ku menjadi kacau...” (yang terjadi adalah guru terpaksa berhenti sebentar untuk mengingat-ingat apa yang akan dikatakannya)
d. Pernyataan “harus” dan “tidak seharusnya” : berpikir bahwa seharusnya siswa “tidak seperti itu”, atau berpikir siswa seharusnya “seperti itu” Menuntut siswa atau situasi berjalan seperti keinginan sendiri dan ketika tidak terjadi maka sebenarnya individu telah mencipatakan frustrasi bagi diri sendiri. Contohnya: “ia kan anak dosen... seharusnya kan.....”
Guru yang sering mengalami penilaian yang kurang tepat tersebut akan semakin sulit untuk menerima anak apa adanya, apalagi harus mengormati dan menghargai mereka. Perlakuan yang tidak semestinya mudah muncul antara lain berupa kata-kata yang kurang tepat, membedakan dari teman-temanya karena dianggap kurang pandai atau nakal dan akhirnya menyebabkan guru kehilangan harapan positif terhadap siswa atau memvonis bahwa siswa tersebut nakal atau kurang pandai. 
Sebuah penelitian (dalam De Potter dkk., 2000) menunjukkan bahwa sikap dan perlakuan guru terhadap siswa cenderung dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap siswa. Sebagai contoh ketika siswa memandang siswa bodoh maka siswa kurang diberi pengalaman yang menantang, kurang dihargai jawabannya, dan cenderung kurang diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sulit. 
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau Caine & Caine (dalam DePorter, Reardon, & Singer-Nourie, 2000) menyatakan bahwa keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. 
2. Mengatasi distorsi dalam penilaian 
Ketika seorang guru menyadari dirinya telah mengalami distorsi atau kesalahan dalam menilai siswa maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa ia mampu mengendalikan hal tersebut. Kemampuan menilai secara tepat dapat dikembangkan dengan latihan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mencari bukti
Teknik ini bertujuan memberikan pandangan lain tentang kejadian atau siswa dengan cara mencari bukti bahwa penilaian kita yang negatif adalah tidak benar. Misalnya, ketika kita memberikan label pada siswa sebagai pemalas maka dengan cepat kita perlu mengembangkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa ia bukan pemalas. 
b. Pernyataan yang direvisi
Teknik ini bertujuan untuk meminimalisir kecenderungan kita mengharuskan sesuatu terjadi pada siswa kita. Caranya adalah dengan memberikan argumen lain yang dapat menurunkan derajat keharusannya. Misalnya: “saya sudah mengajarnya dengan baik, seharusnya ia paham. 
Ketika banyak siswa yang belum paham maka kita perlu merevisi menjadi “saya memang sudah mengajar dengan baik namun mungkin ia perlu waktu untuk memahaminya”
c. Pernyatan tidak menilai
Teknik ini dilakukan dengan cara meembuat pernyataan yang bersifat deskriptif, apa adanya, dan menghindari kata sifat seperti malas dan nakal. Contoh: ketika ada siswa yang kita cap atau kita pikiran sebagai anak yang tidak tahu aturan. Pikiran atau pernyataan tidak tahu aturan adalah cap yang negatif tentang siswa. Hal ini akan menimbulkan asosiasi dengan sifat negatif lainnya, dan menimbulkan emosi negatif kita kepada siswa. Pernyataan yang lebih netral perlu dikembangkan, misalnya yang kita sebut “tidak tahu aturan” ternyata lewat di depan guru sambil lari. Lebih baik kita menyebutkan perilakunya yaitu “kok di depan guru lari”. Sebutan ini lebih netral daripada menyebutnya tidak tahu aturan. 
d. Mencari sisi positif
Manusia bersifat kompleks. Tidak ada manusia yang 100% buruk atau 100% baik. Oleh karena itu ketika terjadi penilaian yang negatif misalnya anak ini telat mikir maka kita dapat mencari sisi positif yang lain misalnya usaha kerasnya untuk memahami, kerapiannya, atau sisi positif yang lain.
3. Mengembangkan cara pandang yang positif terhadap siswa
Setiap siswa mempunyai potensi yang kadang tidak dapat terungkap, tidak diterima dan tidak dihargai dalam proses pendidikan. Cara pandang yang positif dapat dikembangkan jika guru 1) tetap mempertahankan harapan positif terhadap siswa, yaitu seperti apapun keadaan siswa hari ini tidak berarti selamanya akan seperti itu dan tugas kita adalah berusaha untuk membantunya, 2) melihat potensi siswa dari berbagai sisi misalnya dapat menggunakan pandangan kecerdasan majemuk (Gardner dalam Amstrong, 2005), 3 meyakini prinsip perkembangan bahwa setiap siswa dapat berbeda dan bersifat unik sehingga mungkin belum optimal saat ini, dan 3) berusaha mencari sisi positif siswa.
4. Membangun hubungan yang apresiatif
Hubungan guru dan siswa adalah penting dalam proses pembelajaran humanistik. Hubungan guru dan siswa bukanlah hubungan yang kering dari aspek emosi. Namun, kadang hubungan tersebut sebatas “Anda belajar dan Saya mengajar”, atau jika ada hubungan personal maka terbatas pada beberapa siswa tertentu. Mungkinkah hubungan personal yang mendalam tersebut dapat terjalin dalam kelas? 
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan komunikasi apresiatif. Komunikasi apresiatif dapat dilakukan dalam setiap interaksi antar guru siswa, dan antar siswa. Komunikasi apresiatif merujuk pada istilah appreciative inquiry yang dikembangkan oleh Psikologi Positif. Percakapan apresiatif dilakukan untuk memahami sesuatu yang terbaik dari individu, memberikan dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan, dan potensi masa lalu dan masa kini. Selama ini, komunikasi yang terjadi kadang cenderung tidak apresiatif. Contoh: kita lebih peka terhadap kesalahan orang daripada kebaikan orang, kita lebih cepat menunjuk kesalahan orang daripada kebaikan orang dst. Oleh karena itu, komunikasi yang terjalin perlu dikembangkan adalah komunikasi yang mengandung pesan dan gaya yang apresiatif. 
Komunikasi yang memfasilitasi siswa berpikir tentang keadaan dirinya yang sekarang, berusaha mencari sisi positif dirinya, menyadarkan tentang tujuan siswa, dan menyadarkan siswa tentang tindakan apa saja yang akan dilakukannya untuk mencapai cita-cita akan membangun hubungan yang saling menguatkan antar siswa dan guru.

5. Mengembangkan model pembelajaran yang tepat 
Begitu banyak metode pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk mencapai kelas yang lebih humanis. Mulkan (2002) telah menyadur buku “Humanizing The Class Room; Models of Teching in Affective Education yang ditulis oleh John P. Miller. Dalam buku saduran tersebut, Mulkan menjelaskan tentang 17 model pembelajaran pengembangan kepribadian dalam pendidikan berbasis kelas. Tujuah belas model tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu 1) model pembelajaran pengembangan diri, 2) model pembelajaran konsep diri, 3) model pembelajaran kepekaan sosial, dan 4) model perluasan kesadaran.
Semua model yang dibahas dalam buku tersebut berusaha mengembangkan manusia seutuhnya yaitu dari dimensi kognitif, afektif dan kepribadian, dan psikomotorik (tertentu). Guru dapat memilih model yang tepat untuk dapat diterapkan di kelasnya masing-masing.

D. Penutup
Di akhir tulisan ini, penulis kembali menekankan bahwa: ruang kelas dapat menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pemerintah atau siapa saja, melainkan dapat dilihat dari proses yang terjadi di kelas sebagai hasil dari interaksi antara guru siswa dan antar siswa. Penulis telah memaparkan tentang konsep pendidikan humanistik dan cara mengembangkan diri menjadi guru yang humanis. Guru menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pihak luar, melainkan dilihat dari: 1) usaha yang dilakukan guru untuk mengarahkan dirinya memenuhi karakteristik guru yang humanis, 2) kemampuan guru mengembangkan kelas yang humanis melalui hubungan yang apresiatif, tindakan guru yang humanis, dan proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran yang tepat.


read more “MENGEMBANGKAN PERILAKU MENGAJAR YANG HUMANIS”