Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

KEBANGKITAN KAUM MUDA TUNTASKAN TRANSISI



"Ketika engkau menangis di saat kelahiranmu, orang-orang disekelilingmu justru tertawa gembira.
Maka pastikan dirimu tertawa gembira ketika mereka menangis disaat kematianmu."
(Syair Arab)

Tahun pertama digulirkannya reformasi, sejak tumbangnya rezim otoriterian Soeharto 21 Mei 1998 yang selanjutnya diserahkan kepada Habibie untuk mengantarkan reformasi sampai pada pemilu’99, saat itulah kita harapkan istilah transisi menuju demokrasi itu berlaku. Lebih dari itu, besar sekali resikonya kalau kita menganggap kondisi itu masih bagian dari proses transisi. Karena indikator transisi sangat sederhana, bahwa ketika tumbangnya suatu rezim otoritarian, saat itu ada semangat di hati rakyat dan bangsa ini untuk mengantarkan transisi menuju alam yang demokratis. 
Namun, ketika semangat itu meluntur, stagnan, membusuk dan mati, maka saat itu pulalah transisi tidak boleh lagi kita biarkan berlangsung. Usaha yang dilakukan dalam membangun institusi demokrasi yang kuat telah kalah cepat dengan matinya semangat di hati rakyat. 
Dari kasus-kasus transisi demokrasi yang pernah dialami oleh negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan, bahwa transisi demokrasi tersebut lebih memperkenalkan kepada kita suatu pemindahan kekuasaan rezim otoriter tertentu menuju ‚“sesuatu yang lain“ yang itu tidak pasti. ”Sesuatu” itu lebih mengarah kepada ketidakpastian yang luar biasa, beserta kejutan-kejutan besarnya, liar, mengandung dilema pelik, banyak peristiwa-peristiwa yang menuntut pilihan-pilihan dan tanggung jawab besar serta mengandung konsekuensi berat secara etis, ideologis dan politis.
Dalam mengarahkan dan memprediksi masa depan, transisi masih melibatkan unsur-unsur kebetulan dan tidak dapat diramalkan, serta keputusan-keputusan krusial yang diambil secara tergesa-gesa berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan dalam kondisi yang tidak tenang. Kondisi seperti ini seringkali menjadi kisah romantisme masa lalu rezim terdahulu, sembari menyesali dan menyalahkan kebangkitan yang terjadi hari ini, seolah-olah lebih mengarah pada gerakan yang menjauhi ”ketenangan”(sebagai nilai lebih rezim terdahulu) dengan memberi kesan ‘kacau’. 
Menurut Guillermo O’Donnel, ada tiga kemungkinan yang dialami oleh suatu negara dalam proses transisi; ”pertama, ‘sesuatu’ yang tidak pasti itu bisa jadi adalah sebuah pemulihan suatu demokrasi politik kearah yang lebih baik”. Kemungkinan ini bagi Indonesia tentunya sudah gagal selama 5 tahun proses transisi berjalan, wajah demokrasi itu belum juga memperlihatkan wajah demokrasi yang sebenarnya, yang bisa kita dapatkan dalam proses transisi demokrasi ini hanyalah sebuah ‘kebebasan’ semata tanpa menyentuh substansi demokrasi yakni ‘keberdayaan’ rakyat. 
Atau ”yang kedua, ‘sesuatu’ itu adalah sebuah restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk dari pada rezim pemerintahan otoriter terdahulu”. Mungkin ini yang lebih tepat untuk wajah transisi demokrasi kita, hasilnya hanya kekisruhan, yakni sekedar penggiliran kekuasaan diantara serangkaian pemerintahan yang telah gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan, justru dapat diramalkan transisi ini hanya sebagai bentuk pelembagaan kekuatan politik baru. 
Atau kemungkinan ”yang ketiga, bahwa transisi berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi kelompok-kelompok ‘revolusioner’ yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dan radix dari kenyataan politik yang ada”. Gearakan-gerakan semacam inipun hari ini sudah mulai kita saksikan. Berbagai macam tawaran-tawaran alternatif perubahan yang sangat mendasar sudah mulai digagas, melihat arah reformasi yang selama ini menjadi amanah penguasa baru selalu di khianati.
Selama 5 tahun ini, kita sudah tiga kali terjadi pergantian Presiden, dan semuanya kita lakukan dalam kondisi emergency dan insiden. Dan hari ini, tepatnya 23 bulan kepemimpinan Megawati, desakan-desakan ’turun’ (walaupun terasa ’berat’ untuk menurunkannya) mulai marak lagi demonstrsi di seluruh Indonesia. Permasalahan sebenarnya adalah bukan bagaimana kampus gemuruh lagi, aksi-aksi turun kejalan mulai heroik lagi dan semua forum-forum diskusi mulai ramai membicarakan kejatuhan Megawati lagi, tetapi Pemerintahan Megawati dinilai lebih buruk daripada tiga rezim sebelumnya. 
Konsolidasi rezim yang jauh lebih berbaya daripada rezim status-quo sebelumnya (dengan perangkat UU yang telah disiapkan), kran demokrasi akan disumbat kembali, ’wong cilik’ semakin sengsara dengan jumlah rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 60% (bagaimana dengan jumlah rakyat yang berada pada garis kemiskinan?), pengangguran sudah mencapai 40 juta jiwa, aset-aset potensial dijual secara membabi buta, KKN semakin merajalela (kalau Soeharto yang KKN keluarga dan orang-orang dekatnya, tetapi Megawati sampai tetangga-tetangganya ikut KKN), masuk dalam lubang yang sama dengan Buloggate III-nya dan agenda reformasi tidak berjalan secara signifikan. Inilah gambaran akhir transisi demokrasi yang kita alami saat ini.
Akhir dari perjalanan transisi sebuah negara, sejarah membuktikan bahwa hampir semua perjalanan transisi selalu diwarnai oleh kebangkitan kaum mudanya. Munculnya gelombang revolusi di Eurasia pada pertengahan abad XVII dan “era revolusi demokratis“ akhir abad XVIII seiring dengan meningkatnya jumlah angkatan muda yang begitu besar di negara-negara Eropa saat itu. Kenaikan angkatan muda Iran tahun 1970 mencapai 20%, mendorong terjadinya revolusi Iran tahun 1979. 
Konon, Reformasi Protestan merupakan salah satu contoh sejarah gerakan yang dilakukan oleh kaum muda, sebagai reaksi terhadap stagnasi transisi dan korupsi yang melanda berbagai institusi, mendorong kearah sesuatu yang lebih murni dan lebih sesuai dengan ajaran agama mereka. 
Bahkan dalam sebuah penelitian salah seorang kelompok militan Islam Mesir tentang posisi strategis kaum muda, bahwa ciri gerakan Islam yang ambil bagian dalam proses perubahan, hampir sama dengan ciri gerakan agama-agama lain. Merka memiliki lima ciri khas; mereka adalah kalangan muda, berusia sekitar 20-30 tahun, 80% dari mereka adalah mahasiswa atau lulusan universitas, lebih dari setengahnya berasal dari elite perguruan tinggi atau berasal dari kalangan intelektual yang memiliki spesifikasi bidang teknik dan kedokteran dan lebih dari 70% berasal dari kelas menengah yang lebih rendah, sederhana tetapi tidak berasal dari kalangan miskin, mereka angkatan pertama yang memperoleh pendidikan di keluarganya. Merekalah dalam sejarah yang berhasil memberikan manifestasi-manifestasi politik kebangkitan masyarakat pada akhir abad XX. Kejayaan sebuah negeri dicapai saat “kekuasaan politik“ berada di tangan mereka.
Realitas sejarah inilah yang menjadi kekeliruan terbesar bangsa kita hari ini, ketika Kaoem Toea masih diberi kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan ‘Politik’ negeri ini. Tanpa bermaksud mendikotomi dan menghilangkan peran dan jasa yang sudah mereka sumbangkan untuk perubahan negeri ini, secara subyektif dan obyektif layaklah kiranya kita harus berani menempatkan keduanya (Kaum Muda dan Kaoem Toea) pada posisi dan peran yang semestinya. 
Suatu yang riil kita saksikan sepanjang sejarah, bagaimana Kaoem Toea dalam pengambilan keputusan politik negeri ini tampak sekali keragu-raguannya, masih tampak malu-malu, enggan mengambil resiko, koorporatif dan lamban. Semua ini kita pahami sebagai suatu yang lumrah dan manusiawi bagi mereka yang punya masa lalu. Masa lalu ini menjadi faktor penghambat terbesar bagi seseorang pemimpin yang akan mengambil keputusan saat ini. Apalagi masa lalu yang pernah dilewatinya itu adalah masa lalu yang buruk. Selama memimpin dia akan selalu dihantui oleh trauma-trauma masa lalunya yang buruk itu. 
Sangat bijaklah kiranya kita memberikan Kaoem Toea ini kesempatan bagi mereka untuk lebih menyiapkan masa toeanya itu dengan baik dan tenang tanpa lagi dibabankan amanah-amanah yang akan melalaikan mereka dalam mempersiapkan masa Toeanya itu. Sebagai bagian dari kelapangan dada, kita doakan sekaligus agar mereka kelak menemui ajalnya secara khusnul khaatimah.
Memang sangat menyolok dan beralasan perbedaan peran Kaum Muda dan Kaoem Toea. Kaoem Toea adalah mereka-mereka yang hanya tersisa masa lalunya dan sudah tidak punya lagi masa depan, sedangkan Kaum Muda adalah mereka yang belum punya masa lalu dan yang hanya punya masa depan. 
Jadi, sangat arif dan bijaklah kalau hari ini Kaum Mudalah yang mengambil peran Kepemimpinan ‚’Politik’ itu. Artinya Kekuasaan ‚’Politik’ sepenuhnya di tangan Kaum Muda, seperti adili Soeharto, tangkap para koruptor, pemberantasan KKN, pemutusan hubungan dengan IMF, cabut dwi fungsi TNI, Kebijakan Operasi Militer, Rekomendasi amandemen UUD, pengawasan penegakkan wibawa hukum dll., sedangkan untuk peran-peran lainya tentunya tetap melibatkan Kaum Profesional, termasuk itu Koem Toea yang punya kompeten di dalamnya.
Suatu hal yang penting dari pernyataan Samuel P.Hantington, bahwa ‚“pada akhir perempat abad XX pengaruh dan kiprah politik gerakan-gerakan Kebangkitan yang dipelopori generasi muda yang berorientasi medern saling berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Namun, terdapat kecenderungan yang hampir sama. 
Secara umum, gerakan-gerakan tersebut tidak memperoleh dukungan dari para elite dan golongan Toea” (SPH, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order). Pernyataan ini jauh sebelumnya, 15 abad lalu Muhammad S.A.W., pernah mengingatkan bahwa:” Risalah yang aku bawa ini pertama-tama datang mendapat sambutan dari Kaum Muda dan ditentang oleh Kaoem Toea”. Dan tercatatlah barisan Kaum Muda saat itu diantaranya; Ali bin Abi Thalib (15 tahun), Zubair bin Awwam (20 tahun), Utsman bin Affan (22 tahun), Ummar bin Khatab (27 tahun), Abu Bakar as Siddiq (37 tahun) dan shahabat-shahabat lainya yang juga masih muda di bawah 40 tahun usia Rasul saat itu. Dan Kaoem Toea Makkah saat itu menenatang dan bahkan memeranginya. 
Kenyataan ini membuat Montgomori Watt (seorang Muhammadien asal Prancis/pencinta rasul tapi tidak mau masuk agama Islam) memberikan kesimpulan bahwa ISLAM adalah Gerakan Kaum Muda. Karena tambahnya, kelemahan terbesar Kaoem Toea adalah terletak pada lemahnya sisi berfikirnya dan sisi pengorbanannya. Jadi, hari ini gagasan Kepemimpinan ’Politik’ Kaum Muda sudah harus dimulai. Artinya kekuasaan ’politik’ sudah harus ditangan kaum muda. Agar keputusan-keputusan politik yang selama ini sudah kehilangan wibawa dan kredibilitasnya, mulai menemukan kembali kewibawaan dan kelugasanya. Ini sangat berarti sebagai awal bagi kita yang ingin menuntaskan perubahan, mendambakan kemenangan dan merindukan kejayaan bagi Indonesia Baru.


0 Opni Bebas:

Posting Komentar