Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

KATA “ALLAH” DALAM ALQUR’AN: RELASI MAKNA TAUHID DAN TUHAN



Prolog
Tulisan ini pada dasarnya memberikan pemahaman analisis yang berlandaskan sumber utama dari bahasan yang akan dikaji. Dalam tema di atas, sebagaimana diketahui, “Allah” adalah satu-satunya sumber inspirasi dari seluruh system Al-quran yang telah menjadi kitab suci umat Islam. Tentunya secara makna “Allah” memiliki keutamaan struktur yang tidak dapat dipisahkan dari Al-quran. Keadaan yang demikian ini memberikan ruang terhadap penguatan artikulasi dan pemikiran konsep ketuhanan yang dimisikan dalam al-Quran. 
Melihat dari potensi ini, ada keyakinan yang harus terarah dalam kerangka ideologis untuk menguatkan eksistensi tuhan dalam pemikiran yang lebih bisa diterima, baik dengan landasan teologis maupun akses kemanusiaan. Sementara itu, semantic adalah salah satu peran analisis makna untuk dapat memberikan kerangka berpikir terhadap al-quran yang nota bene tersimbolkan dengan hadirnya teks.
Dalam pandangan ini, ada maksud yang tidak sekedar mencari titik temu dari keragaman pemikiran. Tetapi lebih jauh ingin mencurahkan rasionalitas ideologis dalam beberapa tinjauan semantic yang secara spesifik sebagai ilmu makna dengan sekian problematika teks, termasuk al-quran.
Dalam teks al-quran yang biasa disebut ayat, memiliki landasan teologis yang berasumsikan tiga simpul yang tidak bisa dianalisis begitu saja oleh semantic. Tiga simpul itu adalah tuhan sebagai konsep teks, kemudian nabi Muhammad sebagai artikulasi teks, dan manusia sebagai objek teks. Ketiganya ini saling ada keterkaitan yang tidak bisa dilepaskan dalam memahami teks al-quran. Dan makalah ini mencoba memberikan alternative analisis terhadap konsepsi ketuhanan yang diambil dari lafadz “Allah” dengan pendekatan semantic. 

Tentang Semantik
Semantik sebagai ilmu analisis makna, memiliki banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistic terhadap konsep makna dalam studi semantic. Pada dasarnya para filsuf dan linguist melandaskan konsep makna dalam bentuk hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran dan realitas yang sedang berkembang. Pemikiran ini melahirkan teori tentang makna yang berkisar pada hubungan antar ujaran, pikiran dan realitas di dunia nyata. Konsep ini secara umum dapat dibedakan dalam teori makna atas: 1). Teori referensial (rujukan) atau korespondensi, 2). Teori kontekstual, 3). Teori mentalisme atau konseptual dan 4). Teori formalisme. Masing-masing teori ini memiliki karakterisktik analisis makna dari setiap bentuk teks yang beragam latar belakangnya. Dan makalah ini akan memaparkan ragam teori semantic tersebut dengan disertai beberapa contoh yang bersesuaian untuk menjelaskan dasar dalam analisis makalah ini. 
Pertama, teori regerensial (rujukan) atau korespondensi. Teori ini berdasarkan konsep segitiga makna seperti yang dikemukakan oleh Odegeen dan Richards dalam bukunya “ The meaning of meaning”. Menurut Odegeen dan Richards, makna adalah hubungan antara reference dan referent yang dinyatakan dalam symbol bunyi bahasa yang berupa kata maupun frase atau kalimat. Symbol bahasa dan rujukan atau reference tidak mempunyai hubungan langsung antara refence dengan referent yang ada di alam nyata. 
Dalam teori rujukan atau korespondensi “pikiran atau reference” (dalam terminology lain sama dengan makna, “sense” atau “content” ) ditempatkan dalam hubungan causal (sebab) dengan symbol (bentuk bahasa atau penamaan) dan referen, sedangkan antara simbol dan referen terdapat hubungan yang tidak langsung. Beberapa kata seperti; KLCC, Ka’bah, Jakarta, Mahatir Muhammad, orang pertama berjalan di bulan, maka sudah pasti makna ujaran itu merujuk kepada benda atau hal yang sama. Inilah yang disebut teori referensial (rujukan) atau korespondensi dalam teori semantic.
Kedua, teori mentalisme. Ferdinand de saussure, seorang tokoh lingusitik structural yang pertama kali mengajukan studi bahasa secara sinkronis, dan juga membedakan analisis dan lengage, secara tidak langsung telah memulai teori makna yang bersifat mentalistik. Ia menghubungkan bentuk bahasa lahiriah “La Parole” dengan konsep atau citra mental penuturnya “falangue”. Teori mentalisme ini tentu saja bertentangan dengan teori referensial (rujukan). Seperti kata: “kuda terbang dan kambing berenang” adalah satu citra mental penuturnya walaupun secara nyata tidak ada. Sementara itu, dalam teori mentalisme tidak semua perkataan bisa dikaitkan dengan gambaran mental, hal ini disebabkan masing-masing perkataan mempunyai makna yang tidak mesti berasal dari abstraksi mental. 
Ketiga, teori kontekstual adalah memahami makna dari kata yang terikat terhadap lingkungan cultural dan ekologi pemakai bahasa tertentu. Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantic perbandingan antara bahasa. Teori kontekstual atau konteks situasi ini sesuai dengan pendapatnya seorang antropologi B. Malinowski dari Inggris dan apa yang di Amerika Serikat dikenal dengan hipotesis saphire-whorf. Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai nama apabila ia terlepas dari konteks, walaupun demikian ada pakar semantic yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidaka akan terlepas dari konteks pemakaiaannya. Oleh karena itu, pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan makna sekunder atau makna kontekstual secara tidak langsung mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna. 
Keempat, teori pemakaian dari makna atau formalism, teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman L. Wittgenstein (1890 dan 1858). Wittgenstein berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Di sini makna tidak dapat digariskan di luar kerangka pemakainya. Bagi Wittgenstein bahasa merupakan suatu bentuk permainan yang diadakan dalam beberapa konteks dengan beberapa tujuan. Bahasa pun mempunyai kaidah yang membolehkan beberapa gerakan tetapi melarang gerakan yang lain. Wittgenstein memberi nasehat, “jangan menanyakan makna sebuah kata; tanyakanlah pemakainya”, maka lahirlah suatu dalil tentang makna: makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakainya dalam masyarakat bahasa.
 
Al-Quran dalam Peran Tauhid
Sebagai sebuah teks ideologi (baca: kitab suci), al-Quran terlahir dengan beban sejarah yang teridentifikasi dalam misi dari beberapa kitab suci sebelumnya. Beban ini secara naluri memberikan kesan positif terhadap re-ideologi al-Quran. Naluriahnya tercermin semenjak pergulatan ideology it uterus menghembus dengan pedoman yang telah mengukur dalam kultur masyarakat Arab. Kulturisasi ideology ini tertanam dari sebuah nilai kepercayaan dengan segala bentuk interaksi kemanusiaan hingga membentuk sikap dan emosionalitasnya. Pada tahapan ini secara sadar segala bentuk kitab suci yang terlahir mudah mendapatkan tempat dalam komunitas yang secara kultur dan sosial terlegitimasi, termsuk al-Quran.
Pendapat ini teriyakan dengan tersejarahkannya kehadiran kitab suci dari proses lingkaran ideology yang sama. Kalau diruntut dari misi ideologis itu, sejak Taurat, Zabur dan Injil akan menampakkan struktur pengembangan ideology yang berbasis kultur sama hingga kepada pembentukan al-Quran. Kekuatan inilah yang membentuk sandaran penerimaan kultur teks ideology al-quran dari pedoman yang telah terbangun sebelumnya.
Karakter ini menjadi hal penting dalam analisis structural dari nilai-nilai ideologis al-Quran. Kepentingan yang wujud terlihat dalam tekstualitas ideologis yang saling menguatkan antara satu kitab dengan kitab berikutnya, yang selanjutnya menjadi pedoman dari kehendak yang terus terbarui dengan pesan-pesan yang sama. Salah satu dalam pesan ini adalah pesan kunci terhadap symbol dan konsep tauhid. Keadaan ini dibenarkan dalam al-Quran yang berikutnya menjadi “kesimpulan” dari persoalan ketuhanan yang sebelumnya penuh dengan pertentangan.
 Kesan selanjutnya adalah penegasan ideology al-Quran. Seiring dengan beban sejarah tadi, ada perbedaan konsepsi teks dengan kitab suci sebelumnya dimana al-Quran berposisi sinergis dengan kehendak tuhan untuk menjelaskan problem manusia. Maka turunlah al-Quran secara berangsur-angsur sebagai bentuk sinergitas dengan Tuhan. Al-Quran turun dengan berangsur-angsur itu, satu sisi sebagai legitimasi kultur dari dinamika sosial yang terus berlaku dengan segala problemnya. Dari sinilah al-Quran hadir dengan berlandskan masyarakat local untuk menjadi bhan universalitas teks dengan membentuk pedoman-pedoman Tuhan. Namun demikian, terdapat hal-hal tertentu dimana al-Quran juga memainkan peran pada nostalgia sejarah dengan menghadirkan pesan-pesan ideology masa lain untuk dapat diterjemahkan dalam lingkaran universalitas al-Quran. Maka, muncullah cerita-cerita pembentukan maupun benturan sosial ideologis dari nabi-nabi terdahulu sebagai penguatan akses teologis yang di pesankan al-Quran.
 Dari beberapa landasan sosiologis dan ideologis tersebut, al-Quran diturunkan dengan dua fase yang biasa disebut dengan fase makkiyyah dan madaniyyah. Dua fase ini masing-masing memiliki karakter semantic yang berbeda. Makkiyyah yang teridentifikasi sebagai pembentukan teologis memberikan kesan semantic terhadap teks dalam pengenalan dari setiap unsure nilai ketuhanan yang harus diperankan oleh manusia. Sementara madaniyyah memiliki teks yang lebih mengutamakan terhadap hubungan sosiologis dari sekian problematika masyarakat yang plural. Dari sini nampak bhwa al-Quran memberikan pedoman teks yang interaktif dari segla dimensi untuk membentuk mental manusia, baik mental ketuhanan maupun mental kemanusiaan.
 Akses berikutnya, al-Quran secara definitive tersempurnakan dengan berbagai pedoman teks yang dapat digeneralisasikan dari sekian problem kehidupan manusia, yang dalam bahasa teologis menjadi pedoman agama (baca: Islam). Sisi ini dalam analisis yang sederhana merupakan bentuk penggabungan terhadap pengakuan Tuhan dan berproses untuk menjadi pengakuan manusia terhadap al-Qur’an sebagai kitab suci. Oleh sebab itu, konsep lil alamin (untuk seluruh alam) atau hudan li an-nas (petunjuk bagi manusia. Sebagaimana proses di atas, merupakan tanggungjawab yang lebih bisa diterima sebagai landasan kesucian al-Quran, di mana dalam karakteristik sosiologis telah mengakar pada emosionalitas manusia yang bisa diterima dengan aspek rasio kultur.
Pada tataran ini teks al-Quran melegitimasikan kebenaran nalar manusia dengan teks yang selalu diakhiri dengan kata ta’qilun (kamu berakal) yang sebelumnya sering diawali dengan a fala (maka, apakah tidak), jadi a fala ta’qilun (maka, apakah kamu tidak berakal). Dari kata ini, nampak memberikan penguatan teks yang diterima oleh manusia sebagai wahyu yang dapat berdialog dengan akal manusia. Dalam analisis linguistic, ta’qilun merupakan kata untuk dibahasakan terhadap orang kedua, yang dalam kaidah linguistic bahasa Arab dikatakan mukhatab. Dimensi teks dari kata ini menunjukkan ada kehendak Tuhan untuk membawa manusia pada dimensi dialogis dalam merespon konsep tauhid. Sementara itu karakteristik teks tauhid yang berkembang dalam al-Quran, menunjukkan bahwa Allah merupakan manifestasi puncak tauhid yang menginspirasikan rasionalitas dari celah-celah keterbatasan yang ada dalam diri manusia, seperti berbicara tentang alam kubur, sebelum dan sesudah kehidupan, balasan kebaikan dan keburukkan, norma dan nilai kehidupan, yang kesemua persoalan ini terkaitkan dengan proses keimanan. Jadi, kerangka kesimpulan dasarnya adalah bahwa peran tauhid yang diemban oleh al-Quran sebagai reaksi untuk meminimalisir dogma.
Dalam analisis tauhid yang lebih spesifik, beberapa ayat nampak ada kesinambungan teks antara yang dibangun berlandaskan kultur dengan penerimaan akal manusia terhadap kebenaran teks yang hadir. Ayat-ayat tauhid ini, sebagian memberikan kebenaran lama yang telah terkontaminasi kultur dan sosial dengan memformulasikan konsepsi yang lebih benar. Konsepsi ini secara semantic mengandung ayat-ayat yang mempunyai kecenderungan makna lugas dan tegas. Karena memang sebagian besar ayat-ayat tauhid turun pada fase makkiyyah yang memiliki ciri-ciri ayat-ayat yang pendek.
Dalam analisis sejarah teks, beberapa teks yang berbasis teologis tersebut nampak memberikan penguatan terhadap symbol-simbol ideology yang sebelumnya telah ada. Sehingga penggapaian tauhid memiliki karakter teks yang multi problem ketuhanan yang hadir dalam masyarakat waktu itu. Beberapa persoalan ketuhanan tersebut dibangun secara intens oleh al-Quran yang secara naluriah rasio ikut dalam arus rasionalitas budaya masyarakat Arab waktu itu.
Pada pembahasan semantic, struktur konsep tauhid berada pada tingkat sejajar dari teks yang m,enaungi seluruh konsep ketuhanan yang berkembang saat itu. Analisis ini melihat dari sudut teks al-Quran yang menjadi rujukan utama dalam konsepsi Tauhid untuk dapat diterima oleh manusia. Beda dengan beberapa teks suci yang lain, al-Quran selalu menjadi inspirasi terhadap persoalan-persoalan baik sosiologis maupun teologis yang sedang dihadapi masyarakat sebagai bentuk argumentasi nalar.

Struktur Semantic “Allah”  
Pada bagian ini, merupakan pembahasan inti dari analisis kata “Allah” yang sebelumnya telah dianalisis dalam konsep tauhid dan wahyu. Sebagai gambaran awal, dialektika tauhid dan wahyu merupakan landasan analisis dalam menggambarkan “Allah” dalam kerangka kata dan beberapa kaitan yang berhubungan dengan problematika bahasa. Kaitan dengan analisis tauhid dan wahyu. Kata “Allah” merupakan rujukan dari garis struktur konsep tauhid ataupun wahyu. Karena memang keduanya hasil dari inspirasi pedoman-pedoman ketuhanan yang tersimbolkan dengan kata “Allah” yang mendominasi kata dan makna dalam al-Quran.
Baik tauhid dan wahyu memiliki argumentasi struktur semantic yang legitimasi akhirnya sama, yaitu Allah. Keberadaan ini, menjadi akses struktur makna yang akan memberikan gambaran bahwa “Allah” melingkari dari aspek system ideology yang menyeluruh terhadap alam semesta.
Landasan awal dari analisis ini adalah bahwa Allah sumber wujud satu-satunya yang legitimit untuk memposisikan manusia sebagai eksistensi penghambaan, atau dengan bahasa lain pencipta dan yang diciptakan. Dalam proses ini, ada otoritas Allah yang menentukan keberlangsungan system doktrin manusia dengan apa yang disebut takdir. Pada pendapat ini, ada pengakuan yang diperoleh manusia dalam merespon identitas penghambaan dengan segala bentuk permasalahan yang akan dihadapi oleh manusia, termasuk kelahiran, kehidupan dan kematian.
Perjalanan al-Quran yang secara sinergis membentuk sikap dan identitas ideology ini, berlangsung dari “simbolitas” Allah yang secara medan semantic menguasai seluruh makna dalam al-Quran. Penguasaan makna ini berlangsung pada generalisasi teks yang dikaitkan dengan norma-norma dari konsep identitas Tuhan. Penyerapan dari generalisasi teks tersebut secara ideologis memang dikehendaki dengan adanya konsep pahala dan dosa ataupun surga dan neraka, yang kesemuanya mempunyai landasan sebagai bentuk manifestasi nilai-nilai ketuhanan. Sehingga ada karakter yang harus dipilih oeh manusia dalam memaknakan kehidupan ini dengan pilihan yang telah terdapat garis norma-Nya. Konsep inilah yang dalam analisis semantic dapat disebut sebgai core teks (teks inti). Artinya, Allah menjadi kekuatan dari seluruh struktur dan makna serta seluruh system yang ada pada teks al-Quran, dan ini yang menjadi legitimasi terhadap seluruh makna dari universalitas makna al-Quran. Kalau diruntut dalam lingkaran hubungan yang berlaku, maka Allah berada di tengah-tengah dalam dunia yang wujud dan objek-objek lainnya, baik manusia maupun mahluk lainnya, termasuk di sini al-Quran. 
Secara sinonim ada tiga nama yang secara mandiri bermakna Tuhan, yaitu Allah, Rabb dan ilah. Ketiga kata ini memiliki akses kata yang – secara semantic berhubungan dengan persoalan ketuhanan. Makalah ini akan memberikan analisis sifat kedekatan antar kata yang saling berhubungan. Di mana Allah sebagai kunci utama dalam pemhaman Rabb dan ilah. Pada tataran makna ketiga kata ini (Allah, Rabb, Ilah) memiliki makna kata yang dalam penggunaan bahasa baik dialek maupun teks memberikan makna sama, yaitu tuhan. Prinsip dasarnya hanya dibedakan dalam persambungan kata yang menyertai di antara ketiga kata tersebut.
Dalam teori mentalisme, kata Allah telah tersimbolkan sebagai penguasaan makna yang telah terikat dengan penutur yang secara ideologis membentuk pengakuan bahwa Tuhan itu adalah Allah. Pemaknaan disini menyambung dari analisis referensial bahwa kata “Allah” adalah symbol yang tertulis dan terbahasakan dari konsep ilah (Tuhan). Pada proses ini ada kesenjangan makna dalam kata “Allah” itu sendiri dengan emosionalitas beberapa konsep ketuhanan yang lain. Apalagi dengan kata dan bahasa yang sama. Karena memang kata “Allah” berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, secara mentalisme dan referensial kata “Allah” masih melihat pada siapa penutur kata “Allah” untuk dapat secara tepat sesuai dengan maknanya. Dan pemahaman ini menolak generalisasi kata “Allah” dalam pengertian umum sebagai Tuhan, tetapi kata “Allah” masih harus berkomunikasi dengan mentalitas dan pengakuan penutur terhadap konsep Tuhan yang teridentitaskan dalam kata “Allah”.
Pada konsep selanjutnya, kata “Allah” telah terdefinisi dalam berbagai logika yang memerankan umat Islam pada penghambaan yang telah menjadi system antara teks al-Quran dengan budaya dan lingkungan. Sejak proses ini Allah tidak lagi menjadi kata, tetapi telah menjadi bagian dari system kehidupan yang berada dalam lingkaran kehidupan yang harus ada. Namun demikian, proses ini tidak dapat dipisahkan dari pengakuan budaya tersebut terhadap legalitas kata “Allah” untuk menjadi identitas bahasa dalam interaksi kulturnya. Dan disinilah bentuk komunikasi Tuhan dan manusia itu berjalan.
Ala kulli hal, pengakuan ketuhanan adalah manifestasi dari perimbangan fakir dan emosional untuk betul-betul berani mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan. 


0 Opni Bebas:

Posting Komentar