A. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah, sifat-sifat Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya).
Ahmad Hanafi (1996 : 5), berpendapat bahwa ilmu kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu Ushulludin. Hal ini dapat dimengerti, karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya.
Ilmu kalam berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Ilmu ini dinamakan ilmu kalam, karena :
1. Persoalan yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijrah ialah “firman Tuhan” (kalam Allah) dan non azalinya Qur’an. Karena itu keseluruhan isi ilmu kalam dinamai dengan salah sau bagiannya yang terpenting.
2. Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalamin. Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil-dalil naqli (qur’an dan hadits), keculai sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
3. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.
B. Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi dalam Islam
Suatu kenyataan sejarah, bahwa persoalan yang mula-mula timbul dalam Islam adalah persoalan dalam bidang politik, bukan dalam bidang aqidah atau teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas kita perlu menengok kembali sejarah Islam pada awal perkembangannya.
Masyarakat kota Mekkah pada waktu itu adalah masyarakat pedagang. Yang berkuasa dalam masyarakat adalah bangsawan Quraisy, pedagang-pedagang kaya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW di Mekkah hanyalah sebagai kepala Agama, bukan kepada pemerintahan.
Berbeda dengan keadaan Nabi di Madinah, masyarakat Madinah adalah masyarakat petani yang terjadi dari bangsa Arab dan Yahudi, bangsa Arab terdiri dari suku Aus dan Khazraj; kedua suku tersebut tidak pernah bersatu dan selalu bermusuhan satu sama lain. Hal ini menyebabkan keadaan menjadi tidak aman. Maka mereka memerlukan seseorang pengantara yang netral tidak memihak kepada salah satu suku yang ada.
Tatkala kepala-kepala suku pergi ziarah ke Mekkah, mereka mendengar tentang pribadi Nabi yang menurut pandangan mereka, beliau sangat tepat diangkat sebagai pengantara bagi suku Aus dan Khazraj. Pada saat keadaan di Mekkah sangat gawat, dan posisi Nabi di Mekkah makin terjepit, Nabi pindah dari kota Mekkah ke kota Yatsrib yang kemudian diganti nama Madinah. Di tempat yang baru ini Nabi mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Di sana Nabi diangkat sebagai pengantara kedua suku tersebut. Setelah Nabi berhasil mendamaikan kedua suku tersebut, akhirnya diangkat menjadi kepala pemerintahan. Bertambahlah tugas Nabi, yaitu di samping beliau bertindak sebagai Kepala Agama, beliau juga menduduki jabatan Kepala Pemerintahan. Dan sejak itu kota Madinah mempunyai kekuasan politik yang sebelumnya tidak pernah ada.
Pada saat Nabi wafat di tahun 632 M, daerah kekuasan Madinah telah meliputi seluruh semenanjung Arabia. Tentang keberhasilan pemerintahan Nabi ini W.M.Watt melukiskan, negeri Islam waktu itu telah merupakan kupulan suku-suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya. Memang sebagai kata R. Strothman, Islam disamping merupakan sistem Agama, juga telah merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad di samping menjadi Rasul, juga menjadi seorang ahli negara.
Wajaralah jika pada saat Nabi wafat tahun 632 M, masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau sebagai kepala negara untuk memimpin negara yang baru lahir itu, sehingga urusan pemakaman beliau merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah persoalan khilafah, soal pengganti Nabi dalam jabatannya sebagai Kepala Negara, bukan dalam jabatannya sebagai Nabi atau Rasul.
Sejarah mencatat bahwa kepala negara di Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad, dijabat oleh Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, kemudian Ali ibn Abi Thalib. Pengangkatan keempat kepala negara ini melalui cara yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, timbullah persoalan-persoalan siapakah yang berhak menggantikan Nabi dalam jabatannya sebagai kepala negara. Timbullah perbedaan pendapat antara Kaum Mujahirin dengan Anshar, serta keluarga Ali ibn Abi Thalib. Pada awalnya hal ini dapat diatasi dengan dibai’atnya Abu Bakar menjadi pengganti (khalifah) Nabi, setelah itu digantikan oleh Umar. Untuk mencarai pengganti Umar, karena tidak ada pribadi yang menonjol sebagaimana halnya pribadi Abu Bakar dan Umar, oleh Umar pengganti beliay diserahkan kepada panitia tujuh, salah seorang diantaranya putera Umar sendiri, yang diberi hak memilih tetapi tidak hak dipilih. Oleh panitia tujuh Usman ibn Affan terpililah sebagai pengganti Umar. Situasi politik dalam negeri menjadi panasa lagi pada masa setelah enam tahun masa pemerintahan Usman. Hal mana disebabkan politik nepotisme yang dilakukan oleh pemerintahan Umar. Ini dikenal sebagai seorang yang lemah, yang tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang sangat berpengaruh. Gubernur-gubernur daerah yangtunduk kepada kekuasaan Islam yang telah diangkat oleh Umar digantikannya dengan mengangkat keluarganya.
Tindakan politik yang dijalankan oleh usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong usman, mulai meninggalkannya ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau mereka yang ingin calonnya menjadi khalifah muali memanfaatkan situasi ini. Dari Mesir beberapa orang memberontak datang ke Madinah yang berkesudahan terbunuhnya Usman.
Setelah Usman wafat, Ali merupakan calon terkuat dan menjadi khalifah keempat. Tetapi ia segera mendapatkan tantangan dari orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zuber dari Mekkah yang mendapatkan dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan dari Thalhah, Zuber dan ‘Aisyah ini segera dapat dipatahkan oleh Ali. Thalhah dan Zuber mati terbunuh, dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah gubernur Damaskus. Is juga tidak mau mengikuti Ali sebagai khalifah, ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan itu.
Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir, terdapat Muhammad ibn Abu Bakar anak angkat Ali. Ali tidak mengambil tindakan terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abu Bakar diangkat menjadi gubernur Mesir.
Selanjutnya terjadilah pertempuran antara pihak Ali dan Mu’awiyah, yang dalam sejarah dikenal dengan “perang Siffin”. Pada saat-saat tentara Mu’awiyah hampir kalah, tiba-tiba salah seorang pendukung Mu’awiyah “Amr ibn al-Ash” mengangkat Al-Qur’an diatas ujung tombak, sebagai tanda ajakan untuk berdamai dengan mengadakan arbitrase atau tahkim.
Dari pihak Ali sebagian menyambut ajakan itu, tetapi sebagian yang lain menolak, karena kemenangan hampir dicapai oleh pihak Ali, dan mereka berpendapat putusan hanya dari Allah, dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Laa hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), atau laa hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah).
Ternyata Ali menerima tahkim atau arbitrase ajakan Amr ibn al-‘Ash tersebut. Maka orang-orang yang tidak sependapat dengan sikap Ali menerima tipu daya Amr tersebut memisahkan diri atau keluar dari barisan Ali. Mereka itu disebut golongan khawarij. Mereka melawan dan memusuhi Ali, karena mereka menganggap bahwa Ali salah dan berbuat dosa. Bahkan juga Mu’awiyah, Amr ibn al-‘Ash, Abu Musa al-Asy-‘ari dan mereka yang menerima tahkim telah berbuat dosa dan menjadi kafir, karena firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 44 :
Artinya : “Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah adalah kafir” (QS. Al-Ma’idah : 44)
Jelaslah, persoalan-persoalan politik sebagai tersebut diatas segera menjalar dan berubah menjadi persoalan teologi, persoalan aqidah atau keyakinan, yaitu persoalan dosa, kafir dan mukmin. Siapa yang sudah menjadi kafir dan siapa yang masih tetap mukmin.Lambat laun persoalannya menjadi berkembang, yaitu yang menjadi kafir bukan orang yang tidak menetapkan hukum dengan al-Qur’an saja, tetapi juga orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir pula.
Persoalan berbuat dosa besar inilah yang akhirnya berkembang luas dan berpengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalannya ialah orang yang berbuat dosa besar (tujuh macam sebagai yang tersebut dalam hadis), masihkah ia mukmin atau telah menjadi kafir dalam arti keluar dari agama Islam, jika ia mati dan belum bertobat. Golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha berpendapat bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar, ia mati sebelum bertobat, maka ia berada pada posisi diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Sebelumnya Hasan al-Basri guru Washil bin Atha berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, sebagaimana juga pendapat golongan Murjiah.
Selanjutnya persoalannya berkembang kepada siapa sumber perbuatan manusia itu. Golongan Qodariyah berpendapat bahwa sumber perbuatan manusia adalah manusia sendiri, sedang golongan Jabariyah berpendapat bahwa sumbernya adalah Tuhan, sehingga terbentuklah aliran atau faham free will atau free act yang bersifat liberal, dan aliran atau faham fatalisme yang bersifat tradisional. Akhirnya lahirlah faham atau aliran khawarij, Qodariyah dan Jabariyah.
Persoalan berkembang pula kepada sampai dimana kemampuan akal manusia dan apa fungsi wahyu? Apakah al-Qur’an itu bersifat Qadim atau baharum timbul pula masalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, keadilah Tuhan dan sebagainya. Demikian kiranya sejarah timbulnya persoalan teologi dalam Islam, yang mula-mula timbul dari persoalan politik, selanjutnya berkembang menjadi persoalan teologi.
C. Aliran-aliran Ilmu Kalam
1. Kaum Khawarij
Khawrij timbul dari kalangan pasukan Sayyinda Ali tatkala terjadi hebat-hebatnya perang antara Ali dengan Muawiyah di Shiffin. Muawiyah merasa kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim. Pasukannya mengangkat Al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima tahkim dengan rasa terpaksa.
Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali sendiri bermaksud memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan turunnya Sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti kemenangan baginya.
Melihat kejadian ini, orang-orang khawarij yang semula menyetujui adanya tahkim, mereka beralih pendirian, merasa dikecewakan sekali. Tahkim dianggap sebagai dosa besar, bukan mencari penyelesaian ummat. Karena itu mereka meminta kepada Sayyidina Ali agar segera bertaubat dari dosa besar ini. Dia menjadi kafir karena menerima tahkim, sebagaimana orang-orang khawarij sendiri juga menjadi kafir, hanya saja mereka segera bertaubat.
Sampai sekarang, Khawarij masih terdapat di Tropoli Barat, Al-Jazair, Pulau Zanzibar Oman di Jazirah Arab, dengan jumlah seluruhnya hanya sekitar 25.000 orang saja.
Harun Nasution (1986 : 22) berpendapat bahwa pada mulanya kaum khawarij merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketia itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah khilafah, dosa dan iman. Apabila firqah Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu bersifat waratsah, yaitu warisan turun-temurun, dan demikian pula yang terjadi kemudian khilafah-khilafah bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, maka berbeda sama sekali pendirian Khawarij ini tentang khilafah. Mereka menghendaki kedudukan khalifah dipilih secara demokratis melalui pemilihan bebas.
2. Kaum Murjiah
Murji’ah berasal dari bahasa Arab أرجى يرجى ارجا yang berarti menunda ; atau dari kata رجا يرجو رجاء yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti dikelak kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua, dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat).
Golongan Murjiah, sebagaimana halnya golongan Khawarij, juga lahir karena didahului oleh persoalan politik, yaitu persoalan imamah yang berakibat terjadinya pertumpahan darah, sehingga timbul persoalan bagaimana hukum yang berbuat dosa besar karena membunuh orang tanpa sebab yang dibenarkan. Apakah ia masih tetap mukmin atau sudah menjadi kafir sebagaimana pendapat golongan Khawarij, jika ia mati belum berbuat tobat.
Golongan Murjiah tidak ingin menetapkan hukumnya menjadi kafir, tetapi menangguhkan putusannya di akhirat nanti disisi Tuhan, dan mengharapkan rahmat dan ampunannya.
Persoalannya semula adalah orang-orang Khawarij menganggap Ali telah berdosa besar dan menjadi kafir, demikian pula Usman, tidak demikian halnya dengan Abu Bakar dan Umar.
Sebaliknya, pengikut-pengikut yang setia kepada Ali, mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah merampas jabatan Khalifah yang menurut pandanfan mereka seharusnya jabatan itu diduduki oleh Ali.
Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir mengkafirkan ini, melainkan menyerahkan saja urusan itu kepada Allah. Dengan demikian, maka lahirlah golongan Murjiah.
3. Golongan Qodariyah dan Jabariyah
Golongan Qodariyah adalah golongan yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ; manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya ; manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pengertian Qodariyah disini bukan berasal dari pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada qadar Allah. Didalam bahasa Inggris faham Qodariyah dikenal dengan nama free will atau free act.
Sebaliknya golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.
Jadi Qadariyah berasal dari qadar yang berarti kemampuan atau kekuatan manusia, bukan diambil dari arti qadar atau kepastian Tuhan. Dan Jabariyah diambil dari jabara yang berarti memaksa ; bukan manusia memaksakan kehendak-Nya, tetapi Tuhan mamaksakan kehendak-Nya, sebaliknya manusia berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
Kapan timbulnya faham Qadariyah ini tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi menurut keterangan ahli teologi Islam bahwa Qadariyah ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani, menurut pendapat lain bersama dengan temannya yang bernama Ghailan al-Damsyiqi, yang mengambil dari orang kristen yang masuk Islam di Irak. Menurut al-Dzahabi Ma’bad adalah orang Tabi’i yang baik. Ma’bad mati terbunuh dalam pertampuran melawan al-Hallaj tahun 80 H. dan Ghailan menyiarkan faham Qadariyah ini di Damaskus pada masa pemerintahan Umar ibn Abd al-Aziz. Selain ia menyiarkan faham Qadariyah ia juga merupakan salah seorang tokoh Murjiah al-Shalihiyyah.
4. Kaum Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu‘ah al-muyassarah fi’ladyan wa‘lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awalnya sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi ), yaitu:
1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan - mu’min dan kafir—(manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrian di kota Basrah pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama (Hanafi, Ahmad, 1996 : 39).
Dalam bukunya, “al-farqu baina ‘lfiroq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah ; al-Khabithiyah dan al-Himariyyah.
Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dan duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali, dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “Diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “Diri”-Nya.
Pemikiran tentang ke-baru-an (hadis) kalamu’llah dan ke-baru-an perintah, larangan dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamu’llah adalah makhluk.
Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta perilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh perilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut Qodariyah oleh sebagian kaum muslimin.
Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah – mu’min dan kafir – (manzilah baina’lmanzinlatain). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran, seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah, sifat-sifat Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya).
Ahmad Hanafi (1996 : 5), berpendapat bahwa ilmu kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu Ushulludin. Hal ini dapat dimengerti, karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya.
Ilmu kalam berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Ilmu ini dinamakan ilmu kalam, karena :
1. Persoalan yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijrah ialah “firman Tuhan” (kalam Allah) dan non azalinya Qur’an. Karena itu keseluruhan isi ilmu kalam dinamai dengan salah sau bagiannya yang terpenting.
2. Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalamin. Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil-dalil naqli (qur’an dan hadits), keculai sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
3. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.
B. Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi dalam Islam
Suatu kenyataan sejarah, bahwa persoalan yang mula-mula timbul dalam Islam adalah persoalan dalam bidang politik, bukan dalam bidang aqidah atau teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas kita perlu menengok kembali sejarah Islam pada awal perkembangannya.
Masyarakat kota Mekkah pada waktu itu adalah masyarakat pedagang. Yang berkuasa dalam masyarakat adalah bangsawan Quraisy, pedagang-pedagang kaya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW di Mekkah hanyalah sebagai kepala Agama, bukan kepada pemerintahan.
Berbeda dengan keadaan Nabi di Madinah, masyarakat Madinah adalah masyarakat petani yang terjadi dari bangsa Arab dan Yahudi, bangsa Arab terdiri dari suku Aus dan Khazraj; kedua suku tersebut tidak pernah bersatu dan selalu bermusuhan satu sama lain. Hal ini menyebabkan keadaan menjadi tidak aman. Maka mereka memerlukan seseorang pengantara yang netral tidak memihak kepada salah satu suku yang ada.
Tatkala kepala-kepala suku pergi ziarah ke Mekkah, mereka mendengar tentang pribadi Nabi yang menurut pandangan mereka, beliau sangat tepat diangkat sebagai pengantara bagi suku Aus dan Khazraj. Pada saat keadaan di Mekkah sangat gawat, dan posisi Nabi di Mekkah makin terjepit, Nabi pindah dari kota Mekkah ke kota Yatsrib yang kemudian diganti nama Madinah. Di tempat yang baru ini Nabi mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Di sana Nabi diangkat sebagai pengantara kedua suku tersebut. Setelah Nabi berhasil mendamaikan kedua suku tersebut, akhirnya diangkat menjadi kepala pemerintahan. Bertambahlah tugas Nabi, yaitu di samping beliau bertindak sebagai Kepala Agama, beliau juga menduduki jabatan Kepala Pemerintahan. Dan sejak itu kota Madinah mempunyai kekuasan politik yang sebelumnya tidak pernah ada.
Pada saat Nabi wafat di tahun 632 M, daerah kekuasan Madinah telah meliputi seluruh semenanjung Arabia. Tentang keberhasilan pemerintahan Nabi ini W.M.Watt melukiskan, negeri Islam waktu itu telah merupakan kupulan suku-suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya. Memang sebagai kata R. Strothman, Islam disamping merupakan sistem Agama, juga telah merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad di samping menjadi Rasul, juga menjadi seorang ahli negara.
Wajaralah jika pada saat Nabi wafat tahun 632 M, masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau sebagai kepala negara untuk memimpin negara yang baru lahir itu, sehingga urusan pemakaman beliau merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah persoalan khilafah, soal pengganti Nabi dalam jabatannya sebagai Kepala Negara, bukan dalam jabatannya sebagai Nabi atau Rasul.
Sejarah mencatat bahwa kepala negara di Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad, dijabat oleh Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, kemudian Ali ibn Abi Thalib. Pengangkatan keempat kepala negara ini melalui cara yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, timbullah persoalan-persoalan siapakah yang berhak menggantikan Nabi dalam jabatannya sebagai kepala negara. Timbullah perbedaan pendapat antara Kaum Mujahirin dengan Anshar, serta keluarga Ali ibn Abi Thalib. Pada awalnya hal ini dapat diatasi dengan dibai’atnya Abu Bakar menjadi pengganti (khalifah) Nabi, setelah itu digantikan oleh Umar. Untuk mencarai pengganti Umar, karena tidak ada pribadi yang menonjol sebagaimana halnya pribadi Abu Bakar dan Umar, oleh Umar pengganti beliay diserahkan kepada panitia tujuh, salah seorang diantaranya putera Umar sendiri, yang diberi hak memilih tetapi tidak hak dipilih. Oleh panitia tujuh Usman ibn Affan terpililah sebagai pengganti Umar. Situasi politik dalam negeri menjadi panasa lagi pada masa setelah enam tahun masa pemerintahan Usman. Hal mana disebabkan politik nepotisme yang dilakukan oleh pemerintahan Umar. Ini dikenal sebagai seorang yang lemah, yang tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang sangat berpengaruh. Gubernur-gubernur daerah yangtunduk kepada kekuasaan Islam yang telah diangkat oleh Umar digantikannya dengan mengangkat keluarganya.
Tindakan politik yang dijalankan oleh usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong usman, mulai meninggalkannya ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau mereka yang ingin calonnya menjadi khalifah muali memanfaatkan situasi ini. Dari Mesir beberapa orang memberontak datang ke Madinah yang berkesudahan terbunuhnya Usman.
Setelah Usman wafat, Ali merupakan calon terkuat dan menjadi khalifah keempat. Tetapi ia segera mendapatkan tantangan dari orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zuber dari Mekkah yang mendapatkan dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan dari Thalhah, Zuber dan ‘Aisyah ini segera dapat dipatahkan oleh Ali. Thalhah dan Zuber mati terbunuh, dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah gubernur Damaskus. Is juga tidak mau mengikuti Ali sebagai khalifah, ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan itu.
Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir, terdapat Muhammad ibn Abu Bakar anak angkat Ali. Ali tidak mengambil tindakan terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abu Bakar diangkat menjadi gubernur Mesir.
Selanjutnya terjadilah pertempuran antara pihak Ali dan Mu’awiyah, yang dalam sejarah dikenal dengan “perang Siffin”. Pada saat-saat tentara Mu’awiyah hampir kalah, tiba-tiba salah seorang pendukung Mu’awiyah “Amr ibn al-Ash” mengangkat Al-Qur’an diatas ujung tombak, sebagai tanda ajakan untuk berdamai dengan mengadakan arbitrase atau tahkim.
Dari pihak Ali sebagian menyambut ajakan itu, tetapi sebagian yang lain menolak, karena kemenangan hampir dicapai oleh pihak Ali, dan mereka berpendapat putusan hanya dari Allah, dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Laa hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), atau laa hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah).
Ternyata Ali menerima tahkim atau arbitrase ajakan Amr ibn al-‘Ash tersebut. Maka orang-orang yang tidak sependapat dengan sikap Ali menerima tipu daya Amr tersebut memisahkan diri atau keluar dari barisan Ali. Mereka itu disebut golongan khawarij. Mereka melawan dan memusuhi Ali, karena mereka menganggap bahwa Ali salah dan berbuat dosa. Bahkan juga Mu’awiyah, Amr ibn al-‘Ash, Abu Musa al-Asy-‘ari dan mereka yang menerima tahkim telah berbuat dosa dan menjadi kafir, karena firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 44 :
Artinya : “Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah adalah kafir” (QS. Al-Ma’idah : 44)
Jelaslah, persoalan-persoalan politik sebagai tersebut diatas segera menjalar dan berubah menjadi persoalan teologi, persoalan aqidah atau keyakinan, yaitu persoalan dosa, kafir dan mukmin. Siapa yang sudah menjadi kafir dan siapa yang masih tetap mukmin.Lambat laun persoalannya menjadi berkembang, yaitu yang menjadi kafir bukan orang yang tidak menetapkan hukum dengan al-Qur’an saja, tetapi juga orang yang berbuat dosa besar menjadi kafir pula.
Persoalan berbuat dosa besar inilah yang akhirnya berkembang luas dan berpengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalannya ialah orang yang berbuat dosa besar (tujuh macam sebagai yang tersebut dalam hadis), masihkah ia mukmin atau telah menjadi kafir dalam arti keluar dari agama Islam, jika ia mati dan belum bertobat. Golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha berpendapat bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar, ia mati sebelum bertobat, maka ia berada pada posisi diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Sebelumnya Hasan al-Basri guru Washil bin Atha berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, sebagaimana juga pendapat golongan Murjiah.
Selanjutnya persoalannya berkembang kepada siapa sumber perbuatan manusia itu. Golongan Qodariyah berpendapat bahwa sumber perbuatan manusia adalah manusia sendiri, sedang golongan Jabariyah berpendapat bahwa sumbernya adalah Tuhan, sehingga terbentuklah aliran atau faham free will atau free act yang bersifat liberal, dan aliran atau faham fatalisme yang bersifat tradisional. Akhirnya lahirlah faham atau aliran khawarij, Qodariyah dan Jabariyah.
Persoalan berkembang pula kepada sampai dimana kemampuan akal manusia dan apa fungsi wahyu? Apakah al-Qur’an itu bersifat Qadim atau baharum timbul pula masalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, keadilah Tuhan dan sebagainya. Demikian kiranya sejarah timbulnya persoalan teologi dalam Islam, yang mula-mula timbul dari persoalan politik, selanjutnya berkembang menjadi persoalan teologi.
C. Aliran-aliran Ilmu Kalam
1. Kaum Khawarij
Khawrij timbul dari kalangan pasukan Sayyinda Ali tatkala terjadi hebat-hebatnya perang antara Ali dengan Muawiyah di Shiffin. Muawiyah merasa kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim. Pasukannya mengangkat Al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima tahkim dengan rasa terpaksa.
Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali sendiri bermaksud memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan turunnya Sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti kemenangan baginya.
Melihat kejadian ini, orang-orang khawarij yang semula menyetujui adanya tahkim, mereka beralih pendirian, merasa dikecewakan sekali. Tahkim dianggap sebagai dosa besar, bukan mencari penyelesaian ummat. Karena itu mereka meminta kepada Sayyidina Ali agar segera bertaubat dari dosa besar ini. Dia menjadi kafir karena menerima tahkim, sebagaimana orang-orang khawarij sendiri juga menjadi kafir, hanya saja mereka segera bertaubat.
Sampai sekarang, Khawarij masih terdapat di Tropoli Barat, Al-Jazair, Pulau Zanzibar Oman di Jazirah Arab, dengan jumlah seluruhnya hanya sekitar 25.000 orang saja.
Harun Nasution (1986 : 22) berpendapat bahwa pada mulanya kaum khawarij merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketia itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah khilafah, dosa dan iman. Apabila firqah Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu bersifat waratsah, yaitu warisan turun-temurun, dan demikian pula yang terjadi kemudian khilafah-khilafah bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, maka berbeda sama sekali pendirian Khawarij ini tentang khilafah. Mereka menghendaki kedudukan khalifah dipilih secara demokratis melalui pemilihan bebas.
2. Kaum Murjiah
Murji’ah berasal dari bahasa Arab أرجى يرجى ارجا yang berarti menunda ; atau dari kata رجا يرجو رجاء yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti dikelak kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua, dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat).
Golongan Murjiah, sebagaimana halnya golongan Khawarij, juga lahir karena didahului oleh persoalan politik, yaitu persoalan imamah yang berakibat terjadinya pertumpahan darah, sehingga timbul persoalan bagaimana hukum yang berbuat dosa besar karena membunuh orang tanpa sebab yang dibenarkan. Apakah ia masih tetap mukmin atau sudah menjadi kafir sebagaimana pendapat golongan Khawarij, jika ia mati belum berbuat tobat.
Golongan Murjiah tidak ingin menetapkan hukumnya menjadi kafir, tetapi menangguhkan putusannya di akhirat nanti disisi Tuhan, dan mengharapkan rahmat dan ampunannya.
Persoalannya semula adalah orang-orang Khawarij menganggap Ali telah berdosa besar dan menjadi kafir, demikian pula Usman, tidak demikian halnya dengan Abu Bakar dan Umar.
Sebaliknya, pengikut-pengikut yang setia kepada Ali, mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah merampas jabatan Khalifah yang menurut pandanfan mereka seharusnya jabatan itu diduduki oleh Ali.
Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir mengkafirkan ini, melainkan menyerahkan saja urusan itu kepada Allah. Dengan demikian, maka lahirlah golongan Murjiah.
3. Golongan Qodariyah dan Jabariyah
Golongan Qodariyah adalah golongan yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ; manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya ; manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pengertian Qodariyah disini bukan berasal dari pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada qadar Allah. Didalam bahasa Inggris faham Qodariyah dikenal dengan nama free will atau free act.
Sebaliknya golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.
Jadi Qadariyah berasal dari qadar yang berarti kemampuan atau kekuatan manusia, bukan diambil dari arti qadar atau kepastian Tuhan. Dan Jabariyah diambil dari jabara yang berarti memaksa ; bukan manusia memaksakan kehendak-Nya, tetapi Tuhan mamaksakan kehendak-Nya, sebaliknya manusia berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
Kapan timbulnya faham Qadariyah ini tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi menurut keterangan ahli teologi Islam bahwa Qadariyah ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani, menurut pendapat lain bersama dengan temannya yang bernama Ghailan al-Damsyiqi, yang mengambil dari orang kristen yang masuk Islam di Irak. Menurut al-Dzahabi Ma’bad adalah orang Tabi’i yang baik. Ma’bad mati terbunuh dalam pertampuran melawan al-Hallaj tahun 80 H. dan Ghailan menyiarkan faham Qadariyah ini di Damaskus pada masa pemerintahan Umar ibn Abd al-Aziz. Selain ia menyiarkan faham Qadariyah ia juga merupakan salah seorang tokoh Murjiah al-Shalihiyyah.
4. Kaum Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu‘ah al-muyassarah fi’ladyan wa‘lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awalnya sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi ), yaitu:
1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan - mu’min dan kafir—(manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrian di kota Basrah pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama (Hanafi, Ahmad, 1996 : 39).
Dalam bukunya, “al-farqu baina ‘lfiroq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah ; al-Khabithiyah dan al-Himariyyah.
Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dan duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali, dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “Diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “Diri”-Nya.
Pemikiran tentang ke-baru-an (hadis) kalamu’llah dan ke-baru-an perintah, larangan dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamu’llah adalah makhluk.
Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta perilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh perilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut Qodariyah oleh sebagian kaum muslimin.
Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah – mu’min dan kafir – (manzilah baina’lmanzinlatain). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran, seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
1 Opni Bebas:
THANGS
Posting Komentar