Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

PEREMPUAN DALAM ARUS FORMALISASI SYARIAT ISLAM



Semenjak Orde Baru runtuh dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti oleh munculnya kembali politik aliran (yang setelah sekian lama digilas oleh rezim Order Baru tersebut), isu formalisasi syariat Islam muncul kembali dan menjadi wacana penting, baik dalam ranah intelaktual maupun politik. Isu ini dipicu oleh usulan FPPP dan FBB di MPR serta dukungan dari sejumlah massa Islam untuk mencantumkan "tujuh kata" dari Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 45. Meskipun pembahasan tentang pencaantuman tujuh kata sendiri mentok di siding tahunan MPR, karena muncul penolakan dari sejumlah tokoh dan ormas Islam, namun di beberapa daerah, arusnya tetap deras mengalir.
Aceh umpamanya, merupakan wilayah Indonesia yang paling awal memulai pemberlakuan syariat Islam di era reformasi sekarang ini. Dengan mendasarkan pada UU NAD, daerah ini telah secara resmi menerapkan sebagian syariat Islam khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan pemberantasan kemaksiatan, sejak tgl 1 Muharram 1423 H atau bertepatan dengan 15 Maret 2002. Demi stabilitas pemberlakuan syariat Islam itu, pemerintah daerah Aceh telah merekrut 2500 polisi syariat yang bertugas mengawasi jalannya syariat Islam.
Bila dicermati dalam konteks sosio-politis, isu penerapan syariat Islam ini merupakan fenomena yang mendapat pengaruhnya dari gaung "kebangkitan Islam" di seantero dunia Islam pada umumnya. Sedangkan kebangkitan Islam di Negara-negara Muslim pada umumnya merupakan respon yang wajar atas krisis politik, ekonomi dan militer yang berlarut-larut. Dengan menawarkan formula legitimasi keagamaan untuk melawan sekularisme Barat dan prinsip keadilan social sebagai perlawanan atas ketidakadilan ekonomi, maka Islam dianggap benar-benar menawarkan alternative politik yang praktis sealigus menjadi peluang penyelamat spiritual dan hambatan psikologis yang kukuh dalam dunia yang bergolak saat ini. 
Menurut para penulis Muslim kontemporer, fenomena yang demikian itu sebagai respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan dominasi atas dunia Islam, di samping respons terhadap krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam sendiri. Berkaitan dengan ini, gelombang kebangkitan dewasa ini mencerminkan tradisi yang berkelanjutan dalam sejarah Islam. Tidak hanya untuk menentang Barat, melainkan lebih merupakan perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap sebagai penyebab frustrasi dan penindasan, baik internal maupun eksternal. 
Senada dengan itu, menurut pengamatan W.C. Smith, seperti dikutip oleh Abdullah Al-Na'im bahwa tema semua gerakan Islam di hampir belahan dunia berkisar pada dua hal: pertama, protes melawan kemerosotan internal , dan kedua, serangan eksternal. 
Dalam konteks Indonesia, multi krisis yang melahirkan frustrasi dan rasa ketertindasan menampakkan wujudnya dalam bentuk sejumlah besar penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit yang menyebabkan maraknya korupsi, kejahatan politik, lemahnya penegakan hukum dan ketidakberdayaan ekonomi, yang nyaris membawa negeri ini kepada kehancuran. Di tingkat masyarakat, krisis tersebut berbentuk munculnya konflik dan isu disintegrasi di berbagai daerah, meningkatnya kriminalitas, memudarnya solidaritas social, dan merajalelanya tindak kemaksiatan dan kekerasan. Hal yang demikian berdampak pada merosotnya legitimasi system politik dan hukum yang ada yang berbasis sekuler. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pada pemerintahan sekuler tersebut sangat menurun. Maka muncullah keinginan untuk kembali pada nilai-nilai dan sistem yang berbasis Islam. Mereka mempercayai bahwa kembali kepada sistem Islam merupakan alternatif terbaik dalam menghadapi multikrisis di negeri ini.
Secara umum, pandangan yang khas dari mereka yang menuntut pemberlakuan syariat Islam adalah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang lengkap dan sempurna (kaffah) yang datang dari Allah untuk kemaslahatan alam semesta. Islam dipandang tahan terhadap gesekan sejarah, sebab Islam bukan merupakan produk sejarah dan bukan pula idiologii uji coba yang sifatnya sementara. 
Mereka melihat, politik umat Islam sebagai kekuatan yang terbesar di negeri ini. Oleh karena itu tidak semestinya menempati posisi komplementer (pelengkap) yang hanya berfungsi memberi aroma penyedap pada subsstansinya, tapi harus menjadi inti kekuatan (substansi) itu sendiri.


0 Opni Bebas:

Posting Komentar