Sampai awal abad ke-21 ini pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing tampak masih didominasi oleh pendekatan komunikatif. Ini disebabkan oleh beberapa ciri pendekatan komunikatif, seperti penggunaan materi pembelajaran yang autentik, penekanan pada makna (meaning) lebih daripada bentuk (form) bahasa, dan penggunaan interaksi dalam proses belajar siswa, yang masih relevan dengan tujuan penguasaan bahasa Inggris sebagai alat untuk berkomunikasi. Namun, dalam dunia pengajaran secara umum telah berkembang beberapa pendekatan alternatif, yang salah satu di antaranya adalah pendekatan konstruktivis, yang telah dikenal banyak diterapkan dalam pengajaran ilmu pengetahuan alam (science). Dalam artikel ini, penulis akan memperkenalkan sebuah model untuk penerapan pendekatan konstruktivis dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia, khususnya untuk pengajaran reading (membaca).
Pengajaran reading dipilih karena sesuai dengan tekanan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang mengutamakan pada kemampuan reading. Berikut ini akan dibahas beberapa ciri pendekatan konstruktivis, prosedur pengajaran reading yang digunakan sekarang, dan usulan model pengajaran reading yang sesuai dengan pendekatan konstruktivis.
PENGERTIAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Menurut Jonassen (1991) dan Marra & Jonassen (1993), sebagaimana dikutip oleh Carr dkk. (1998: 8), pendekatan konstruktivis muncul sebagai alternatif terhadap pendekatan objektivis. Dasar dari pandangan konstruktivis adalah anggapan bahwa dalam proses belajar (a) murid-murid tidak menerima begitu saja pengetahuan yang didapatkan mereka dan menyimpannya di kepala, melainkan mereka menerima informasi dari dunia sekelilingnya, kemudian membangun pandangan mereka sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan, dan (b) semua pengetahuan disimpan dan digunakan oleh setiap orang melalui pengalaman yang berhubungan dengan ranah pengetahuan tertentu. Pendekatan konstruktivis dalam praktik pengajaran (Brooks & Brooks, 1999: 15) membantu murid-murid menginternalisasi, membentuk, atau mentransformasi pengetahuan yang baru. Transformasi terjadi melalui adanya pemahaman baru sebagai hasil dari munculnya struktur kognitif yang baru.
CIRI DAN PRINSIP-PRINSIP PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Proses belajar dan mengajar yang menggunakan pendekatan konstruktivis memiliki ciri-ciri (Carr dkk., 1998: 8-9) sebagai berikut: (1) murid-murid lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman pengetahuan mereka yang lama; (2) setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan sekaligus diperlukan; murid-murid didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi, (3) proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan murid untuk mengingat pelajaran lebih lama; (4) control kecepatan dan fokus pelajaran ada pada murid; cara ini akan lebih memberdayakan murid; (5) pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas
dari konteks dunia nyata.
PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS DAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara pendekatan konstruktivis dan pendekatan komunikatif. Persamaannya adalah bahwa kedua pendekatan ini menekankan keaktifan murid dalam proses belajar dan mengajar. Kemudian, interaksi antar murid merupakan fokus utama dari kedua pendekatan ini; dan pendekatan konstruktivis maupun pendekatan komunikatif sama-sama menggunakan konteks dunia nyata dalam memberikan pengalaman belajar kepada murid. Perbedaannya adalah bahwa pada pendekatan konstruktivis ada usaha untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki murid dengan pengetahuan yang akan diajarkan oleh guru. Di samping itu, pengajaran konstruktivis menyarankan agar pelajaran dimulai dari di mana (pengetahuan) murid berada atau apa yang menjadi masalah bagi murid. Kemudian, pendekatan konstruktivis juga menyarankan penyajian kurikulum dari keseluruhan ke bagian (whole to part), dengan penekanan pada konsep besar lebih dahulu.
Perbedaan-perbedaan seperti tersebut di atas tidak harus memunculkan anggapan bahwa kedua pendekatan tersebut tidak bisa dikombinasikan. Hal-hal yang disebutkan sebagai perbedaan seperti tersebut di atas tampaknya merupakan prinsip-prinsip dari pendekatan konstruktivis yang kurang mendapat perhatian dalam pendekatan komunikatif. Oleh karena itu, pendekatan komunikatif dapat dilengkapi dengan prinsip-prinsip pendekatan konstruktivis.
Ada lima prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh seorang guru dalam penerapan pendekatan konstruktivis, sebagaimana dikemukakan oleh Brooks & Brooks (1999: ix-x), yaitu sebagai berikut: (1) guru berusaha mencari pandangan/pendapat murid dan membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai suatu pelajaran, (2) kegiatan belajar diarahkan untuk menantang apa yang menjadi keyakinan murid (3) dalam menyajikan pelajaran, guru memunculkan masalah-masalah yang baru dan relevan bagi murid, (4) guru merancang pelajaran mulai dari konsep dasar dan ide besar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain, (5) penilaian hasil belajar murid dilakukan melalui konteks proses belajar.
PENGAJARAN READING BAHASA INGGRIS DI INDONESIA
Pengajaran reading bahasa Inggris di Indonesia ditekankan untuk pemahaman (comprehension). Prosedur pengajaran reading yang disarankan untuk dilaksanakan oleh seorang guru bahasa Inggris adalah yang disebut three-phase activity, yaitu kegiatan pre-reading, kegiatan whilst reading, dan kegiatan post reading (Fachrurrazy,1993). Kegiatan prereading dimaksudkan untuk memperkenalkan topik yang akan diajarkan dan memberi motivasi kepada murid untuk mempelajarinya. Kegiatan ini dapat diisi dengan memberikan pertanyaan yang mengarah kepada topik yang akan dibahas, menunjukkan gambar dan meminta murid untuk menerka topik yang akan dipelajari, atau memperkenalkan judul bacaan dan mengajak murid untuk mendiskusikannya.
Kegiatan whilst reading merupakan kegiatan inti untuk mendapatkan pemahaman terhadap isi bacaan. Kegiatan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu surface problem dan deep problem. Kegiatan untuk surface problem dapat diisi dengan pertanyaan-pertanyaan faktual tentang isi bacaan; melatih mencari informasi tertentu dalam teks bacaan (scanning) atau mendapatkan gambaran umum tentang isi bacaan (skimming), atau melengkapi tabel, kalimat, atau daftar berdasarkan isi bacaan. Kegiatan untuk deep problem dapat diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit, yaitu pertanyaan yang dimulai dengan kata why atau how, atau pertanyaan yang jawabannya tersirat (implied) dalam teks bacaan; atau memberikan pertanyaan salah-benar (true-false) dan meminta murid-murid untuk memberikan alasan terhadap pilihan jawaban mereka.
Kegiatan post reading dimaksudkan sebagai kegiatan akhir dari pengajaran reading. Bagian ini dapat diisi dengan kegiatan lain yang berkaitan dengan isi bacaan, misalnya kegiatan berbicara (speaking) atau menulis (writing) sesuatu yang ada hubungannya dengan isi bacaan.
Prosedur lain yang juga digunakan untuk pengajaran reading adalah yang disebut SQ3R (survey, question, read, recite, review). Untuk kegiatan survey, murid dapat ditugasi untuk membaca dalam hati. Untuk question, murid diminta untuk membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai isi bacaan. Kemudian murid membaca (read) untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang mereka buat. Kegiatan recite dimaksudkan untuk mendemonstrasikan pemahaman murid terhadap isi bacaan, sedangkan review dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menyimpulkan hasil pemahaman murid terhadap kegiatan membaca yang telah mereka pelajari.
Prosedur SQ3R seperti diuraikan di atas mirip dengan prosedur pengajaran yang reciprocal (timbal balik) antara guru dan murid (Flood dan Lapp, 1989: 736-737). Prosedur reciprocal berisi langkah-langkah berikut: (1) membuat ringkasan (summary) dari sebuah paragraf yang dipelajari, (2) membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai isi bacaan, untuk diajukan kepada teman sekelas, (3) meminta penjelasan atau menanyakan kepada guru hal-hal yang masih kurang jelas, dan (4) membuat prediksi tentang isi paragraf berikutnya.
PENGAJARAN READING BERDASARKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Beberapa prosedur pengajaran reading seperti tersebut di atas pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu bertujuan mengecek pemahaman murid dengan cara diagnosis dan prescription. Pendekatan konstruktivis beranggapan bahwa pengajaran reading harus ditekankan pada proses dimana murid dianggap sebagai penafsir makna (meaning-maker).
Oleh karena itu, prosedur pengajaran harus berbentuk pengajaran dengan model perancah-tangga (instructional scaffolding) di mana murid dibimbing untuk menafsirkan isi bacaan. Proses belajarnya dikendalikan oleh murid, sedangkan fungsi guru hanya memberikan arahan dan dukungan. Dalam proses pembimbingan ini, guru diharapkan pula berperan untuk menggali pengetahuan awal (prior knowledge) murid, kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari oleh murid. Dengan kata lain, proses pembelajaran membaca dengan pendekatan konstruktivis merupakan proses interaksi antara bottom-up dan top-down. Proses bottom-up menganggap bahwa meaning (arti) ada pada kata-kata yang tertulis, dan pembaca berusaha untuk menangkap meaning yang dimaksud dalam tulisan tersebut. Sebaliknya, proses top-down menganggap bahwa meaning tidak hanya ada pada kata-kata yang tertulis, tetapi juga ada dalam pikiran pembaca dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman mereka (Nunan, 1991: 18). Dalam proses pembelajaran membaca, proses interaksi antara bottom-up dan top-down dapat terjadi jika guru membimbing murid untuk memadukan pemahaman meaning dari bahan yang tertulis dengan apa yang ada dalam pikiran murid.
Dengan pola pembelajaran membaca yang interaktif dan konstruktivis seperti disebutkan di atas, prosedur pembelajaran reading yang dikembangkan oleh Flood dan Lapp (1989: 737-740) dapat dipakai sebagai model yang cocok untuk pembelajaran reading. Model ini terdiri atas 8 langkah, yaitu: (1) persiapan, (2) pengembangan kosakata (vocabulary), (3) pemahaman dan penggunaan struktur wacana, (4) membuat pertanyaan, (5) pemerosesan informasi, (6) membuat ringkasan, (7) membuat catatan, dan (8) membaca bebas/santai.
Pada langkah persiapan, ada tiga hal yang harus dilakukan guru, yaitu prereading, previewing, dan anticipation. Kegiatan pre-reading dimaksudkan untuk mengaktifkan pengetahuan awal murid yang relevan dengan bahan yang akan dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan melalui tiga tahap. Pertama, tahap asosiasi awal (initial association), dimana guru memilih kata, frase, atau gambar yang menjadi konsep kunci, kemudian mendiskusikannya dengan murid. Misalnya, jika guru mengajarkan bacaan tentang Pollution, maka guru dapat menanyakan: What comes to your mind when you hear the word "pollution"? Pada tahap kedua, yaitu refleksi, guru menanyakan: Why do those ideas come to your mind? Pada tahap ketiga, yaitu tahap reformulasi pengetahuan (reformulation of knowledge), guru menanyakan: Have you gained any new ideas about pollution? Previewing bertujuan untuk memotivasi murid, yaitu selain dengan cara mengaktifkan pengetahuan awal murid, juga dengan memberikan latar belakang pengetahuan yang relevan dengan topik yang diajarkan, dan memantapkan kerangka organisasi teks bacaan.
Pada bagian anticipation, guru mengajak murid untuk memprediksi tentang isi bacaan. Prediksi ini nantinya akan membantu murid mempercepat pemahaman, karena sewaktu membaca teks bacaan murid akan mengecek prediksinya dengan informasi yang didapat dari bacaan.
Langkah kedua adalah pengembangan kosakata. Telah diketahui bahwa penguasaan kosakata sangat erat hubungannya dengan comprehension (pemahaman). Oleh karena itu, guru dapat mengembangkan kosakata murid yang relevan dengan teks bacaan yang akan diajarkan.
Langkah ketiga adalah memahami dan menggunakan pengetahuan tentang struktur bacaan. Penelitian terhadap teks bacaan yang berbentuk narasi dan informasi, menunjukkan bahwa untuk yang pertama struktur bacaan tidak perlu diajarkan karena struktur narasi akan secara otomatis difahami oleh murid saat membaca. Sedangkan bacaan yang berbentuk informasi, struktur organisasi bacaan perlu diajarkan kepada murid untuk mempercepat pemahaman.
Langkah keempat adalah membuat pertanyaan. Melalui pertanyaan, dapat dipercepat pemahaman murid terhadap isi bacaan. Pada langkah ini guru hendaknya menyiapkan pertanyaan pertanyaan, baik yang literal (jawabannya tersurat pada teks bacaan), yang inferential (dengan jawaban yang tersirat), yang environmental (yang berhubungan dengan lingkungan), maupun yang evaluational (yang bersifat evaluasi).
Langkah kelima adalah pemerosesan informasi. Dalam pendekatan konstruktivis dianggap muridlah yang pada akhirnya menciptakan meaning. Murid menentukan apa yang mereka ketahui dan informasi apa yang mereka butuhkan. Temuan murid perlu ditindaklanjuti oleh guru dengan pertanyaan How do you know that? Pertanyaan ini akan menyadarkan murid, apakah temuan tersebut berasal dari teks bacaan atau dari pengetahuan mereka. Untuk mempercepat pemahaman, dapat pula digunakan teknik analogi dalam pemerosesan informasi. Murid yang dibimbing dengan menggunakan analogi, lebih cepat pemahamannya daripada yang tidak menggunakan analogi.
Langkah keenam adalah membuat ringkasan. Pemahaman terhadap teks bacaan terjadi melalui tiga tahap: (1) memfokuskan perhatian pada teks, (2) mencatat informasi dari teks dengan kata-kata sendiri, dan (3) menghubungkan informasi yang didapat dari teks dengan pengetahuan yang dimiliki murid. Ketika murid memproses pemahaman melalui tiga tahapan ini, otomatis kegiatan mereka sama dengan membuat ringkasan (summary).
Langkah ketujuh adalah membuat catatan. Pembuatan catatan ini diketahui dapat meningkatkan pemahaman, terutama apabila catatan tersebut dalam bentuk pemetaan konsep.
Langkah terakhir adalah membaca santai atau membaca bebas. Kegiatan ini sangat membantu pemahaman murid karena murid sendiri yang memilih bahan yang mereka baca, dan mereka sendiri pula yang menentukan pemahaman yang mereka inginkan. Kegiatan ini sesuai dengan pandangan konstruktivis yang memfokuskan pada aktivitas murid. Kedelapan langkah seperti diuraikan di atas sangat menunjang prinsip pendekatan konstruktivis yang menganggap murid sebagai meaning-maker. Murid dapat dimotivasi untuk membangun pemahaman berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka.
Sebagai tambahan, manajemen kelas yang sesuai dengan pandangan konstruktivis (Jonassen & Rohrer-Murphy, 1999: 61) adalah yang berupa aktivitas yang terfokus pada interaksi antar-murid yang relevan dengan konteks lingkungan mereka.
PENUTUP
Sebagai penutup, di sini dikutipkan pengalaman Carr dkk. (1998: 9) yang menyatakan bahwa proses belajar dan mengajar dengan pendekatan konstruktivis akan lebih menjanjikan karena: (1) lebih memotivasi murid dalam belajar, karena lebih terfokus pada murid dan prosesnya autentik, (2) mendorong berfikir kritis, sintesis, kreatif, dan bermakna, (3) memungkinkan penggunaan style belajar yang berbeda sebagai akibat dari fokus perhatian kepada murid secara individu (individualized instruction), dan (4) mendorong pencarian (inquiry) yang lebih alami. Penggunaan pendekatan konstruktivis tidak mengubah tuntutan kurikulum. Pendekatan ini hanya mengubah strategi guru dalam membimbing murid untuk menafsirkan isi bacaan. Oleh karena itu, penerapannya di sekolah tidak perlu ada pertentangan.
Pengajaran reading dipilih karena sesuai dengan tekanan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang mengutamakan pada kemampuan reading. Berikut ini akan dibahas beberapa ciri pendekatan konstruktivis, prosedur pengajaran reading yang digunakan sekarang, dan usulan model pengajaran reading yang sesuai dengan pendekatan konstruktivis.
PENGERTIAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Menurut Jonassen (1991) dan Marra & Jonassen (1993), sebagaimana dikutip oleh Carr dkk. (1998: 8), pendekatan konstruktivis muncul sebagai alternatif terhadap pendekatan objektivis. Dasar dari pandangan konstruktivis adalah anggapan bahwa dalam proses belajar (a) murid-murid tidak menerima begitu saja pengetahuan yang didapatkan mereka dan menyimpannya di kepala, melainkan mereka menerima informasi dari dunia sekelilingnya, kemudian membangun pandangan mereka sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan, dan (b) semua pengetahuan disimpan dan digunakan oleh setiap orang melalui pengalaman yang berhubungan dengan ranah pengetahuan tertentu. Pendekatan konstruktivis dalam praktik pengajaran (Brooks & Brooks, 1999: 15) membantu murid-murid menginternalisasi, membentuk, atau mentransformasi pengetahuan yang baru. Transformasi terjadi melalui adanya pemahaman baru sebagai hasil dari munculnya struktur kognitif yang baru.
CIRI DAN PRINSIP-PRINSIP PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Proses belajar dan mengajar yang menggunakan pendekatan konstruktivis memiliki ciri-ciri (Carr dkk., 1998: 8-9) sebagai berikut: (1) murid-murid lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman pengetahuan mereka yang lama; (2) setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan sekaligus diperlukan; murid-murid didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi, (3) proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan murid untuk mengingat pelajaran lebih lama; (4) control kecepatan dan fokus pelajaran ada pada murid; cara ini akan lebih memberdayakan murid; (5) pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas
dari konteks dunia nyata.
PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS DAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara pendekatan konstruktivis dan pendekatan komunikatif. Persamaannya adalah bahwa kedua pendekatan ini menekankan keaktifan murid dalam proses belajar dan mengajar. Kemudian, interaksi antar murid merupakan fokus utama dari kedua pendekatan ini; dan pendekatan konstruktivis maupun pendekatan komunikatif sama-sama menggunakan konteks dunia nyata dalam memberikan pengalaman belajar kepada murid. Perbedaannya adalah bahwa pada pendekatan konstruktivis ada usaha untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki murid dengan pengetahuan yang akan diajarkan oleh guru. Di samping itu, pengajaran konstruktivis menyarankan agar pelajaran dimulai dari di mana (pengetahuan) murid berada atau apa yang menjadi masalah bagi murid. Kemudian, pendekatan konstruktivis juga menyarankan penyajian kurikulum dari keseluruhan ke bagian (whole to part), dengan penekanan pada konsep besar lebih dahulu.
Perbedaan-perbedaan seperti tersebut di atas tidak harus memunculkan anggapan bahwa kedua pendekatan tersebut tidak bisa dikombinasikan. Hal-hal yang disebutkan sebagai perbedaan seperti tersebut di atas tampaknya merupakan prinsip-prinsip dari pendekatan konstruktivis yang kurang mendapat perhatian dalam pendekatan komunikatif. Oleh karena itu, pendekatan komunikatif dapat dilengkapi dengan prinsip-prinsip pendekatan konstruktivis.
Ada lima prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh seorang guru dalam penerapan pendekatan konstruktivis, sebagaimana dikemukakan oleh Brooks & Brooks (1999: ix-x), yaitu sebagai berikut: (1) guru berusaha mencari pandangan/pendapat murid dan membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai suatu pelajaran, (2) kegiatan belajar diarahkan untuk menantang apa yang menjadi keyakinan murid (3) dalam menyajikan pelajaran, guru memunculkan masalah-masalah yang baru dan relevan bagi murid, (4) guru merancang pelajaran mulai dari konsep dasar dan ide besar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain, (5) penilaian hasil belajar murid dilakukan melalui konteks proses belajar.
PENGAJARAN READING BAHASA INGGRIS DI INDONESIA
Pengajaran reading bahasa Inggris di Indonesia ditekankan untuk pemahaman (comprehension). Prosedur pengajaran reading yang disarankan untuk dilaksanakan oleh seorang guru bahasa Inggris adalah yang disebut three-phase activity, yaitu kegiatan pre-reading, kegiatan whilst reading, dan kegiatan post reading (Fachrurrazy,1993). Kegiatan prereading dimaksudkan untuk memperkenalkan topik yang akan diajarkan dan memberi motivasi kepada murid untuk mempelajarinya. Kegiatan ini dapat diisi dengan memberikan pertanyaan yang mengarah kepada topik yang akan dibahas, menunjukkan gambar dan meminta murid untuk menerka topik yang akan dipelajari, atau memperkenalkan judul bacaan dan mengajak murid untuk mendiskusikannya.
Kegiatan whilst reading merupakan kegiatan inti untuk mendapatkan pemahaman terhadap isi bacaan. Kegiatan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu surface problem dan deep problem. Kegiatan untuk surface problem dapat diisi dengan pertanyaan-pertanyaan faktual tentang isi bacaan; melatih mencari informasi tertentu dalam teks bacaan (scanning) atau mendapatkan gambaran umum tentang isi bacaan (skimming), atau melengkapi tabel, kalimat, atau daftar berdasarkan isi bacaan. Kegiatan untuk deep problem dapat diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit, yaitu pertanyaan yang dimulai dengan kata why atau how, atau pertanyaan yang jawabannya tersirat (implied) dalam teks bacaan; atau memberikan pertanyaan salah-benar (true-false) dan meminta murid-murid untuk memberikan alasan terhadap pilihan jawaban mereka.
Kegiatan post reading dimaksudkan sebagai kegiatan akhir dari pengajaran reading. Bagian ini dapat diisi dengan kegiatan lain yang berkaitan dengan isi bacaan, misalnya kegiatan berbicara (speaking) atau menulis (writing) sesuatu yang ada hubungannya dengan isi bacaan.
Prosedur lain yang juga digunakan untuk pengajaran reading adalah yang disebut SQ3R (survey, question, read, recite, review). Untuk kegiatan survey, murid dapat ditugasi untuk membaca dalam hati. Untuk question, murid diminta untuk membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai isi bacaan. Kemudian murid membaca (read) untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang mereka buat. Kegiatan recite dimaksudkan untuk mendemonstrasikan pemahaman murid terhadap isi bacaan, sedangkan review dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menyimpulkan hasil pemahaman murid terhadap kegiatan membaca yang telah mereka pelajari.
Prosedur SQ3R seperti diuraikan di atas mirip dengan prosedur pengajaran yang reciprocal (timbal balik) antara guru dan murid (Flood dan Lapp, 1989: 736-737). Prosedur reciprocal berisi langkah-langkah berikut: (1) membuat ringkasan (summary) dari sebuah paragraf yang dipelajari, (2) membuat pertanyaan-pertanyaan mengenai isi bacaan, untuk diajukan kepada teman sekelas, (3) meminta penjelasan atau menanyakan kepada guru hal-hal yang masih kurang jelas, dan (4) membuat prediksi tentang isi paragraf berikutnya.
PENGAJARAN READING BERDASARKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS
Beberapa prosedur pengajaran reading seperti tersebut di atas pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu bertujuan mengecek pemahaman murid dengan cara diagnosis dan prescription. Pendekatan konstruktivis beranggapan bahwa pengajaran reading harus ditekankan pada proses dimana murid dianggap sebagai penafsir makna (meaning-maker).
Oleh karena itu, prosedur pengajaran harus berbentuk pengajaran dengan model perancah-tangga (instructional scaffolding) di mana murid dibimbing untuk menafsirkan isi bacaan. Proses belajarnya dikendalikan oleh murid, sedangkan fungsi guru hanya memberikan arahan dan dukungan. Dalam proses pembimbingan ini, guru diharapkan pula berperan untuk menggali pengetahuan awal (prior knowledge) murid, kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari oleh murid. Dengan kata lain, proses pembelajaran membaca dengan pendekatan konstruktivis merupakan proses interaksi antara bottom-up dan top-down. Proses bottom-up menganggap bahwa meaning (arti) ada pada kata-kata yang tertulis, dan pembaca berusaha untuk menangkap meaning yang dimaksud dalam tulisan tersebut. Sebaliknya, proses top-down menganggap bahwa meaning tidak hanya ada pada kata-kata yang tertulis, tetapi juga ada dalam pikiran pembaca dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman mereka (Nunan, 1991: 18). Dalam proses pembelajaran membaca, proses interaksi antara bottom-up dan top-down dapat terjadi jika guru membimbing murid untuk memadukan pemahaman meaning dari bahan yang tertulis dengan apa yang ada dalam pikiran murid.
Dengan pola pembelajaran membaca yang interaktif dan konstruktivis seperti disebutkan di atas, prosedur pembelajaran reading yang dikembangkan oleh Flood dan Lapp (1989: 737-740) dapat dipakai sebagai model yang cocok untuk pembelajaran reading. Model ini terdiri atas 8 langkah, yaitu: (1) persiapan, (2) pengembangan kosakata (vocabulary), (3) pemahaman dan penggunaan struktur wacana, (4) membuat pertanyaan, (5) pemerosesan informasi, (6) membuat ringkasan, (7) membuat catatan, dan (8) membaca bebas/santai.
Pada langkah persiapan, ada tiga hal yang harus dilakukan guru, yaitu prereading, previewing, dan anticipation. Kegiatan pre-reading dimaksudkan untuk mengaktifkan pengetahuan awal murid yang relevan dengan bahan yang akan dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan melalui tiga tahap. Pertama, tahap asosiasi awal (initial association), dimana guru memilih kata, frase, atau gambar yang menjadi konsep kunci, kemudian mendiskusikannya dengan murid. Misalnya, jika guru mengajarkan bacaan tentang Pollution, maka guru dapat menanyakan: What comes to your mind when you hear the word "pollution"? Pada tahap kedua, yaitu refleksi, guru menanyakan: Why do those ideas come to your mind? Pada tahap ketiga, yaitu tahap reformulasi pengetahuan (reformulation of knowledge), guru menanyakan: Have you gained any new ideas about pollution? Previewing bertujuan untuk memotivasi murid, yaitu selain dengan cara mengaktifkan pengetahuan awal murid, juga dengan memberikan latar belakang pengetahuan yang relevan dengan topik yang diajarkan, dan memantapkan kerangka organisasi teks bacaan.
Pada bagian anticipation, guru mengajak murid untuk memprediksi tentang isi bacaan. Prediksi ini nantinya akan membantu murid mempercepat pemahaman, karena sewaktu membaca teks bacaan murid akan mengecek prediksinya dengan informasi yang didapat dari bacaan.
Langkah kedua adalah pengembangan kosakata. Telah diketahui bahwa penguasaan kosakata sangat erat hubungannya dengan comprehension (pemahaman). Oleh karena itu, guru dapat mengembangkan kosakata murid yang relevan dengan teks bacaan yang akan diajarkan.
Langkah ketiga adalah memahami dan menggunakan pengetahuan tentang struktur bacaan. Penelitian terhadap teks bacaan yang berbentuk narasi dan informasi, menunjukkan bahwa untuk yang pertama struktur bacaan tidak perlu diajarkan karena struktur narasi akan secara otomatis difahami oleh murid saat membaca. Sedangkan bacaan yang berbentuk informasi, struktur organisasi bacaan perlu diajarkan kepada murid untuk mempercepat pemahaman.
Langkah keempat adalah membuat pertanyaan. Melalui pertanyaan, dapat dipercepat pemahaman murid terhadap isi bacaan. Pada langkah ini guru hendaknya menyiapkan pertanyaan pertanyaan, baik yang literal (jawabannya tersurat pada teks bacaan), yang inferential (dengan jawaban yang tersirat), yang environmental (yang berhubungan dengan lingkungan), maupun yang evaluational (yang bersifat evaluasi).
Langkah kelima adalah pemerosesan informasi. Dalam pendekatan konstruktivis dianggap muridlah yang pada akhirnya menciptakan meaning. Murid menentukan apa yang mereka ketahui dan informasi apa yang mereka butuhkan. Temuan murid perlu ditindaklanjuti oleh guru dengan pertanyaan How do you know that? Pertanyaan ini akan menyadarkan murid, apakah temuan tersebut berasal dari teks bacaan atau dari pengetahuan mereka. Untuk mempercepat pemahaman, dapat pula digunakan teknik analogi dalam pemerosesan informasi. Murid yang dibimbing dengan menggunakan analogi, lebih cepat pemahamannya daripada yang tidak menggunakan analogi.
Langkah keenam adalah membuat ringkasan. Pemahaman terhadap teks bacaan terjadi melalui tiga tahap: (1) memfokuskan perhatian pada teks, (2) mencatat informasi dari teks dengan kata-kata sendiri, dan (3) menghubungkan informasi yang didapat dari teks dengan pengetahuan yang dimiliki murid. Ketika murid memproses pemahaman melalui tiga tahapan ini, otomatis kegiatan mereka sama dengan membuat ringkasan (summary).
Langkah ketujuh adalah membuat catatan. Pembuatan catatan ini diketahui dapat meningkatkan pemahaman, terutama apabila catatan tersebut dalam bentuk pemetaan konsep.
Langkah terakhir adalah membaca santai atau membaca bebas. Kegiatan ini sangat membantu pemahaman murid karena murid sendiri yang memilih bahan yang mereka baca, dan mereka sendiri pula yang menentukan pemahaman yang mereka inginkan. Kegiatan ini sesuai dengan pandangan konstruktivis yang memfokuskan pada aktivitas murid. Kedelapan langkah seperti diuraikan di atas sangat menunjang prinsip pendekatan konstruktivis yang menganggap murid sebagai meaning-maker. Murid dapat dimotivasi untuk membangun pemahaman berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka.
Sebagai tambahan, manajemen kelas yang sesuai dengan pandangan konstruktivis (Jonassen & Rohrer-Murphy, 1999: 61) adalah yang berupa aktivitas yang terfokus pada interaksi antar-murid yang relevan dengan konteks lingkungan mereka.
PENUTUP
Sebagai penutup, di sini dikutipkan pengalaman Carr dkk. (1998: 9) yang menyatakan bahwa proses belajar dan mengajar dengan pendekatan konstruktivis akan lebih menjanjikan karena: (1) lebih memotivasi murid dalam belajar, karena lebih terfokus pada murid dan prosesnya autentik, (2) mendorong berfikir kritis, sintesis, kreatif, dan bermakna, (3) memungkinkan penggunaan style belajar yang berbeda sebagai akibat dari fokus perhatian kepada murid secara individu (individualized instruction), dan (4) mendorong pencarian (inquiry) yang lebih alami. Penggunaan pendekatan konstruktivis tidak mengubah tuntutan kurikulum. Pendekatan ini hanya mengubah strategi guru dalam membimbing murid untuk menafsirkan isi bacaan. Oleh karena itu, penerapannya di sekolah tidak perlu ada pertentangan.
0 Opni Bebas:
Posting Komentar