Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

Liberalisasi Pendidikan Bertentangan dengan UUD 1945



Selama Desember 2007 anggota Komisi X DPR menyelenggarakan uji publik tahap kedua tentang RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) versi 5 Desember 2007 di beberapa kota, antara lain, Jakarta, Bandung, Denpasar, Banjarmasin, Batam, Manado, dan Gorontalo, untuk mendapat masukan dari masyarakat. Namun, catatan-catatan kritis dan pemikiran-pemikiran baru sampai pada suasana penolakan terhadap keberadaan RUU BHP tersebut tetap saja berlangsung sampai saat ini. Misalnya, penolakan terhadap RUU BHP terjadi di Makassar melalui unjuk rasa sekitar 800 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Mereka menolak RUU BHP karena dinilai sebagai bagian dari komersialisasi pendidikan. Padahal, dari segi substansi sudah terjadi perbaikan berdasarkan masukan dari uji publik tahap pertama, April sampai Agustus 2007. Perbaikan itu terjadi melalui kesepakatan terhadap substansi RUU BHP inisiatif pemerintah setelah diselenggarakan lokakarya antara Pemerintah dan DPR pada Agustus dan Novemver 2007.
Isi kesepakatan itulah yang diharapkan bisa menjadi titik tolak perbaikan pada pembahasan selanjutnya. Pertama, RUU tentang BHP mengatur badan hukum pendidikan yang menjamin adanya keanekaragaman, antara lain, berbentuk badan hukum pendidikan pemerintah, badan hukum pendidikan masyarakat, dan badan hukum pendidikan pemerintah daerah. Yayasan, badan wakaf, perkumpulan, dan badan hukum lain yang didirikan masyarakat, diakui sebagai badan hukum pendidikan, dengan mengikuti ketentuan dalam undang-undang "BHP".
Kedua, RUU BHP hanya mengatur fungsi organ-ogan "BHP". Organ-Organ tersebut adalah
1) organ yang merepresentasikan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi,
2) satuan pendidikan,
3) lembaga audit,
4) embaga pendidik. Nama wadah/ lembaga-lembaga itu diatur dalam AD/ART masing-masing badan hukum pendidikan.
Ketiga, prinsip yang harus diatur dengan jelas adalah otonomi pada satuan pendidikan (otonomi perguruan tinggi dan manajemen berbasis sekolah), akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas akademik sebagai bentuk pertanggungjawaban layanan kepada pemangku kepentingan pendidikan. Keempat, menambahkan satu bagian/bab tentang pendanaan yang menjelaskan bahwa pendidikan tanggung jawab negara dengan membuka partisipasi masyarakat. Kelima, pemisahan aset pemerintah dalam badan hukum pendidikan pemerintah dan kaitannya dengan APBN dan pengawasan keuangan negara akan dibicarakan tersendiri dengan melibatkan Menteri Keuangan.
Kelima butir kesepakatan ini diharapkan bisa meredakan penolakan oleh masyarakat. Memang ada kekhawatiran beberapa kalangan, khususnya mahasiswa dan beberapa yayasan bahwa dengan diterapkannya BHP akan terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Kekhawatiran ini sebetulnya bisa diatasi dengan memasukkan prinsip-prinsip pendidikan seperti nirlaba, adil, akuntabilitas, transparansi, serta diakuinya eksistensi yayasan. Bahwa masih ada yang berkeberatan terhadap isi RUU BHP, seperti, pada naskah RUU awal terasa wajar. Memang, pada naskah awal seperti yang diusulkan pemerintah terdapat indikasi: terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan karena mengurangi peran negara dalam pendanaan, menghilangkan hak sejarah yayasan, melanggar hak asasi yayasan, tidak sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, sangat etatis, antikebinekaan, memuat prinsip nirlaba yang kontradiktif, terdapat kekacauan hukum, berpotensi menurunkan mutu pendidikan, berpotensi menimbulkan kekacauan dan kemandegan pendidikan, membahayakan proses mencerdaskan bangsa, dan lain-lain.


Dilawan Sejak Konsep
Secara historis, sebulan setelah permohonan judicial review (uji materi) terhadap Pasal 53 ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) maka keluar Surat Presiden No: R-14/Pres/03/2007 tgl 21 Maret 2007. Surat ini menugaskan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU BHP bersama DPR.
Menurut MK, belum terdapat kerugian hak konstitusional para pemohon yang disebabkan oleh berlakunya pasal tersebut. Dalam putusannya pada 21 Februari 2007, MK menyatakan permohonan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) dan 15 yayasan tidak dapat diterima. Mahkamah berpendapat, kerugian konstitusional para pemohon belum terbukti berhubung undang-undang yang dimaksudkan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas belum ada.
Masih belum tuntas penyelesaian RUU BHP yang kontroversial itu di luar dugaan masyarakat luas secara mendadak muncul Peraturan Presiden (Perpres) No 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, juga menyangkut bidang pendidikan formal dan nonformal. Lebih khusus terkait kepemilikan saham asing di sektor pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal. Pasal ini swastanisasi dan liberalisasi pendidikan. Perpres ini menimbulkan reaksi keras masyarakat, terutama mahasiswa.
Kesan masyarakat, RUU BHP dan Perpres No 77/2007 merupakan satu skenario pemerintah yang saling mengait untuk menerapkan paham neoliberalisme juga dalam bidang pendidikan. Hal ini membahayakan masyarakat Indonesia yang sebagian besar rakyatnya terdiri dari orang miskin. Kedua landasan hukum yang menjadi aturan main di bidang pendidikan tersebut harus dikaji ulang secara cermat dan komprehensif, karena melanggar UUD 1945.
Kita mengharapkan pemerintah dan DPR tidak gegabah mengesahkan RUU BHP menjadi UU dan meninjau ulang Perpers 77/2007. Mengapa? Pada prinsipnya, baik perpres yang terkait kepemilikan saham asing di sektor pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas maupun RUU BHP, sama sekali tidak sesuai dengan ideologi negara kita atau bertentangan dengan jiwa UUD 1945.
Kita harus berpijak pada dasar negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Makna pendidikan yang tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal itu merupakan tugas negara. Artinya, pendidikan harus menjadi salah satu tugas pokok negara, sehingga harus dijauhkan dari upaya liberalisasi pendidikan.
Kembali kita tegaskan bahwa RUU BHP dan Perpres 77 sebagai alat komersialisasi pendidikan sangat bertentangan dengan pendapat umum yang menginginkan pendidikan nasional tidak bisa dijadikan alat komoditas karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan merupakan proses penanaman nilai budaya, intelektualitas, religiositas, dan cinta kepada Tanah Air. Dalam konteks inilah negara harus berperan besar, apalagi anggaran pendidikan 20 persen merupakan amanat UUD 1945. Kita sepakat bahwa nilai-nilai luhur bangsa tidak boleh luntur, tetapi harus ditumbuhkembangkan. Pendidikan merupakan amanat konstitusi, sehingga negara tidak dapat lepas tangan sekalipun dengan alasan otonomi pendidikan.


0 Opni Bebas:

Posting Komentar