Dunia selalu bergerak dan berubah. “Kita”, kata Heraklitus, “tidak pernah menginjak air sungai yang sama dua kali.” Dengan nada yang sama Henri Bergson (w. 1941) memberikan realitas sebagai “kesinambungan menjadi” dan masa kini dalam kesinambungan tersebut sebagai bagian quasi-inetantaneus yang dipengaruhi oleh persepsi kita dalam masa yang mengalir. Namun, gerak kehidupan cenderung bergerak ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Rumi berkata: “Segala sesuatu cinta pada kesempurnaan, maka ia pun meronta ke atas laksana tunas.” Mullah Shadra juga mengatakan bahwa seluruh dunia fisik, bahkan psikis dan imajinal yang bergerak ke atas hingga arketip-arketip yang tidak bergerak dan bercahaya, selalu dalam gerak dan menjadi.” Semua inilah yang kita namakan dinamika kehidupan.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga itu sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan, IAIN juga tidak luput dari “hukum” tersebut; kalaupun mampu mengikuti irama perubahan itu, maka insya Allah ia akan “survive”, tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya, maka cepat atau lambat lembaga akan tertinggal dan ditinggalkan.
Oleh karena itu, agar lembaga ini tetap “survive” maka kita harus berani mengadakan perubahan-perubahan esensial secara periodik. Tetapi kalau kita ingin “maju” (berkembang) dan bukan hanya “survive”, maka kita harus mengadakan perubahan-perubahan yang lebih fundamental untuk mengadakan “antisipasi” ke masa depan sesuai dengan arah kecenderungan yang berkembang.
IAIN sangat beruntung memiliki tokoh kharismatik seperti Prof. Dr. Harun Nasution yang pada tahun 70-an dan 80-an telah mengadakan “reformasi” fundamental terhadap IAIN, dan keteguhan/ketetapan hati dan kepercayaannya terhadap kebenaran dari ide-ide dan tindakannya membuat ia “tahan banting” terhadap segala macam kecaman dan kritik yang destruktif, dan pada akhirnya semua orang mengerti dan mengakui pen-capaiannya yang agung.
Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa mengelak dari hukum dinamika kehidupan –yang belakangan ini cenderung semakin cepat–, maka bahkan ide-ide dan gebrakan-gebrakan dinamis almarhum Harun Nasution sudah agak “tertinggal” oleh jaman, dan itu dirasakan hampir di semua bidang keilmuan Islam, terutama seperti yang kita lihat dalam bidang filsafat. Oleh karena itu, untuk tetap bisa “survive”, bahkan kalau bisa “maju dan berkembang”, maka dalam memasuki millenium ketiga ini, mau tidak mau IAIN harus mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda pemikiran dunia global maupun regional, dan terutama pemikiran keagamaan dan filosofis di negara kita sendiri. Untuk itu, barangkali kita juga harus merumuskan ulang visi dan misi dari lembaga pendidikan tinggi Islam.
Metafisika dan Epistemologi Islam
Salah satu definisi metafisika adalah “upaya untuk mengeksplorasi dunia non-indrawi, yang berada di seberang dunia pengalaman”. Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang mencoba menjelajahi dunia rohani atau alam gaib, yang menurut Islam harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, seperti Tuhan, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, neraka dan sebagainya. Agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mempercayai yang gaib tersebut dengan sepenuhnya; tentu saja kepercayaan ini tidak bisa diajarkan secara dogmatis belaka, seperti yang sudah-sudah. Namun, harus disampaikan melalui argumen-argumen rasional, yang rupanya telah menjadi tuntutan jaman, melalui analisis yang logis dan sistimatis. Oleh karena itu, IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal.
Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace (w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.
Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah. Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkanal itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.
Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund Freud (w. 1939), bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud memandang bukan saja Tuhan, bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi. Dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menganggap agama lebih sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan manusia), ketimbang mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut Freud, ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan pengalaman atau hasil akhir dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan manusia yang paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan ide-ide itu menjadi “ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari keinginan-keinginan manusia, sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam keinginan-keinginan tadi. Feud melihat ide-ide keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan manusia. Demikian juga Emile Durkheim, seorang sosiolog modern Prancis, melihat bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari Tuhan.
Demikianlah beberapa contoh ide ilmuwan Barat yang menyerang berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis. Kita harus memberi jawaban yang rasional pula, jika kepercayaan kita terhadap alam gaib/metafisika tidak mau dianggap sebagai ilusi/angan-angan belaka, lantas dicampakkan oleh orang-orang modern yang telah cukup dalam dipengaruhi oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut di atas, yang bagi para pengikutnya yang luas dipandang sebagai nabi-nabi ilmu pengetahuan. Namun, hingga hari ini IAIN belum mempersiapkan visi metafisik tentang hal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sebab kedua yang menyebabkan IAIN perlu memiliki visi metafisik yang jelas, adalah adanya kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern, baik Barat maupun Timur, terhadap bangun metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas. Setelah masa Perang Dunia kedua, terdapat kecenderungan yang semakin jelas dari kaum intelektual Barat terhadap metafisika. Dalam dunia/bidang metafisika dan astronomi sendiri telah ada kecenderungan yang semakin kuat terhadap hal-hal yang bersifat metafisik. Fisikawan kontemporer Barat, pengarang buku God’s Wispher and Creation’s Thunder, menyebutkan pandangan-pandangan Jalal al-Din Rumi (w. 1274), seorang penyair sufi Persia, untuk melengkapi dimensi batin/esoterik dari realitas sejati yang mana fisika modern, menurut pandangan buku tersebut, hanya mampu mengungkapkannya dari dimensi lahir/eksetorik belaka dan karena itu hanya bersifat parsial. Demikian juga Robert Jastrow pengarang buku God and Astronomers, melihat perkembangan-perkembangan yang menarik pada bidang astronomi, karena implikasi-implikasi religiusnya. Menurut dia, berbagai ilmu tidak bisa bertahan untuk tetap pada tataran fisik, dan banyak diantaranya yang mencoba melakukan pendakian ke dunia metafisik, yang disebut sebagai gunung ketidaktahuan (montain of ignorance). Di akhir karyanya, ia menyatakan: “ilmuwan telah (mencoba) mendaki gunung ketidaktahuan (metafisika), dan ia hampir mencapai pucaknya yang tertinggi. Namun, kala ia mengangkat dirinya ke atas, ia disambut oleh sekelompok teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad.” Inilah kisah menarik yang diceritakan oleh Jastrow, yang menggambarkan para ilmuwan dengan para agamawan. Jadi, jelaslah betapa fisikawan kontemporer membutuhkan bimbingan metafisika dari para teolog/agamawan.
Perkembangan metafisika, atau lebih tepatnya, kebangkitan kembali metafisika di Barat, semakin kentara dengan adanya upaya untuk bisa menghidupkan kembali Philosophia Perennis, yang dipimpin oleh Rene Goenon, seorang ahli metafisika abad dua puluh dari Perancis, yang kemudian masuk Islam dan kemudian menghabiskan bagian akhir hidupnya di Mesir. Peranan yang dimainkan oleh Goenon dalam kebangkitan metafisika dan filsafat perenial, tercermin dari munculnya beberapa ilmuwan dan metafisikawan terkenal yang mengaku sebagai murid Goenon. Misalnya, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Martin Lings, Marco Pallis dan Seyyed Hossein Nasr. Sebagian besar adalah kaum intelektual dan ilmuwan yang telah tersadarkan dari nestapa kehidupan modern, lalu mencari dan mendapatkan hikmah dari Timur, yakni tradisi-tradisi religius yang agung, seperti Taoisme, Budhisme, dan Islam, khususnya Sufisme.
Dari apa yang kita sajikan di atas, bisa kita tarik kesim-pulan bahwa dunia modern berada di persimpangan jalan antara pengetahuan sekuler masa lalu. Kondisi yang demikian ini masih dominan di kalangan ilmuwan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem metafisika religius dan arus kontemporer ke arah kebangkitan kembali tradisi keagamaan Timur yang masih berlangsung dan semakin berpengaruh di kalangan tertentu, yakni dunia intelektual Barat. Kedua fenomena ini, tentunya, perlu kita sikapi dengan membangun metafisika yang kokoh dan besar dengan dua tujuan sekaligus: (1) menjawab tantangan metafisika yang dilancarkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sekuler yang secara ilmiah mencoba mendongkel pondasi metafisika religius; (2) memberi jawaban yang memadai bagi tuntutan yang terus berkembang, terutama dalam memasuki milenium ketiga ini, terhadap visi metafisika yang seimbang, logis dan rasional yang bisa memuaskan kaum intelektual yang sedang mencari spiritualitas di dunia Timur. Saya berharap bahwa cukuplah kiranya dua fenomena yang menarik ini menjadi alasan perlunya IAIN untuk memiliki visi metafisika yang seimbang, tetapi cukup dapat diandalkan dari sudut logika dan filosofis, serta tidak bertentangan dengan semangat agama.
Kini, sampilah kita pada persoalan pokok, yaitu visi metafisika yang bagaimana yang kita butuhkan. Tentunya, sebagai lembaga yang melibatkan banyak pihak, IAIN tidak bisa menganut satu sistem metafisika tertentu saja, misalnya metafisika Ibn Sina (w. 1037). IAIN harus memiliki visi metafisika yang mengayomi berbagai aliran metafisika yang pernah dikembangkan oleh umat Islam, sejauh tidak melanggar atau menolak ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan demikian, metafisika yang dikembangkan di IAIN bisa mengambil bentuk Avicennian, Suhrawardian, Shadrian, Farabian, maupun Ibn Arabian. Tentunya, bila benar-benar dikembangkan, maka wacana metafisika di IAIN akan semakin kaya. Ini terwujud, bila sistem-sistem tersebut tidak melanggar prinsip dasar agama Islam.
Selain metafisika, IAIN juga harus merumuskan visi epistemologinya yang jelas. Selama ini, epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam merupakan bidang yang sangat diabaikan. Sebagai ilustrasi, UI Press menerbitkan sebuah buku kecil dengan judul Epistemologi Islam. Selain kecil, buku ini juga tidak cukup subtansial memuat ajaran-ajaran epistemologi Islam. Padahal, khazanah filsafat Islam sangat kaya dan potensial untuk disusun menjadi epistemologi Islam yang komprehensif.
Memasuki milenium ketiga, terutama berkaitan dengan rencana merubah IAIN menjadi universitas, arus kajian yang lintas disiplin akan semakin ramai memasuki kampus ini. Dengan dibukanya jurusan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, psikologi, dll., serta kemungkinan besar IAIN akan merekrut dosen-dosen dari beberapa universitas umum, seperti UI, ITB dan IPB. Tenaga-tenaga pengajar ini boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing. Tetapi, dari sudut epitemologi, mereka pasti mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kalau ini dibiarkan begitu saja, maka sudah bisa dibayangkan kebingungan yang akan dihadapi oleh seorang mahasiswa yang mendapat pengajaran dari pelbagai dosen dengan pandangan epistemologi yang berbeda, bahkan mungkin kontras satu sama lain. Misalnya, seorang dosen mengatakan bahwa sumber ilmu hanyalah inderawi, dan metodenya hanyalah observasi. Yang lain mengatakan bahwa sumber ilmu itu adalah inderawi, akal dan hati. Sementara yang lain mengatakan hanya inderawi dan akal.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problem besar yang mungkin terjadi, IAIN harus merumuskan visi epistemologinya, yang tentunya, cocok dengan pandangan fundamental Islam. Setidaknya, visi epistemologi ini harus meliputi dua aspek utamanya: (1) ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, (2) sumber serta metodologi ilmu. Melalui penjelasan keduanya, diharapkan setiap dosen memiliki pedoman yang jelas dalam membahas aspek-aspek teoritis ilmu pengetahuan apapun yang diajarkan.
Dua pertanyaan mendasar dalam setiap teori ilmu adalah pertama, “Apa yang dapat kita ketahui”, dan kedua, “Bagaimana kita mengetahuinya.” Pertanyaan pertama secara langsung berkaitan dengan lingkup dan obyek ilmu, sementara yang kedua terkait dengan sumber dan metode lain.
Dalam pandangan keilmuan Islam, obyek ilmu sama halnya dengan rangkaian wujud (eksistensi), baik yang gaib (metafisika) maupun yang lahir (fisik). Karena itu, ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina dan al-Biruni, mempunyai pandangan dunia yang melukiskan susunan wujud dari yang tertinggi (Tuhan) kemudian turun melalui akal atau entitas rohani (malaikat), serta jiwa dan benda angkasa, hingga yang terendah (alam dunia), atau apa yang disebut sebagai dunia di bawah Bulan. Susunan wujud seperti ini disebut kosmologi.
Berbagai wujud yang tersusun dalam kosmologi ini, lalu terpilah manjadi pelbagai obyek ilmu, lantas muncullah klasifikasi ilmu. Klasifikasi ilmu ini dipandang penting oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim, bukan sekadar untuk mengetahui lingkup pengetahuan manusia, bahkan untuk melihat hubungan antara suatu cabang ilmu dengan yang lainnya.
Yang terpenting dalam pembicaraan tentang lingkup dan obyek-obyek ilmu ini adalah bahwa setiap cabang ilmu mempunyai korelasi ontologis positif dengan obyek-obyeknya. Artinya, setiap obyek dari cabang ilmu itu harus diakui dan diyakini keberadaannya, apakah ia bersifat gaib (metafisik) maupun nyata (fisik). Misalnya, metafisika berkorelasi secara ontologis dengan obyek-obyek yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, jiwa, alam barzah, surga dan neraka. Obyek-obyek tersebut, yang oleh para filosof Muslim disebut sebagai obyek-obyek ma‘qûlî (intelligible), sementara oleh agamawan disebut alam gaib/rohani (supranatural), diakui serta diyakini keberadaannya oleh para sarjana Muslim (seperti tuntunan agamanya). Sebagaimana obyek-obyek mahsûsî (sensible) menjadi obyek dalam ilmu fisika, astronomi, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, dll.
Pengakuan terhadap status ontologis obyek-obyek itu, baik yang ma‘qûlî maupun mahsûsî, pada gilirannya akan mengarah kepada pengakuan terhadap status keilmuan dari cabang-cabang ilmu yang masuk dalam klasifikasi/lingkup ilmu yang kita kembangkan. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat banyak cabang ilmu yang telah dikembangkan para sarjana Muslim, seperti metafisika, kosmologi, eskatologi, mistisisme, dll., telah diragukan status ilmiahnya oleh para sarjana Barat modern, hanya karena keraguan mereka sendiri terhadap status ontologis dari obyek-obyek ilmu tersebut yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara empiris melalui eksperimen.
Masalah epistemologi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber dan metode ilmu yang berkaitan langsung dengan pertanyaan kedua, yaitu “bagaimana” atau “dengan apa” kita bisa mengetahui sebuah obyek ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mengacu pada “alat” atau “sumber”, yang dengannya manusia mampu mencapai pengetahuan tentang obyek-obyek yang berbeda sifatnya. Setiap epistemologi yang dibangun para sarjana Muslim, mesti menggagas setidaknya tiga sumber atau alat ilmu yang sama-sama diakui keabsahannya, yakni inderawi, akal dan hati (intuisi).
Melalui “inderawi” atau “persepsi indrawi” (sense-perception), bisa dikembangkan metode observasi berdasarkan data-data empiris dan eksperimental. Metode observasi ini telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu alam, seperti kimia, astronomi, optik, dll. Metode observasi dan eksperimen berguna untuk menguji teori-teori lama sekaligus menemukan teori-teori baru.
Seperti telah disinggung di atas, selain panca indra, para sarjana Muslim telah mengakui akal sebagai sumber dan alat untuk menangkap realitas. Dari sini, mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasional atau diskursif (bahtsî). Sebagaimana inderawi bisa menangkap obyek-obyek rohani (mahsûsî) atau metafisika secara silogistik, yakni manarik kesimpulan tentang hal-hal yang belum/tak diketahui (the unknown) dari hal-hal yang telah diketahui (the known). Dengan cara inilah akal manusia, melalui penalaran dan penelitian terhadap alam semesta, bisa mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya.
Selain metode observasi dan rasional, para epistemolog Muslim juga mengakui metode lain untuk menangkap pelbagai realitas spiritual atau metafisika, yaitu metode intuitif atau eksperiensial (dzawqî), seperti yang dikembangkan oleh para sufi dan filosof Isyrâqî. Kendati sama-sama berfungsi untuk menangkap pelbagai realitas metafisika, tetapi terdapat perbedaan metodologis yang fundamental antara akal dan intuisi. Karena, akal menangkap obyek tersebut secara inferensial, sementara intuisi menangkapnya secara langsung (eksperiensial). Sehingga, ia mampu melintasi jurang lebar antara subyek dan obyek. Ciri utama epistemologi Islam adalah menggagas bahwa bukan hanya pengalaman indrawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi. Karenanya, masing-masing patut diperhatikan dalam visi epistemologi IAIN. Mengabaikan salah satu dari ketiganya, sama halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri. Kalau kita mengabaikan pengalaman intuisi, misalnya, maka dengan sendirinya kita akan mengabaikan pengalaman yang menjadi dasar kenabian. Demikian juga pengalaman mistik yang telah menjadi sumber kreatif spitualitas Islam.
Etika Islam
Melihat kondisi moral masyarakat akhir-akhir ini yang semakin menurun, maka sudah selayaknya IAIN memiliki visi etika yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini masih ada banyak kesalah-pahaman terhadap etika atau filsafat moral. Etika acapkali digagas sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan jarang dikaitkan dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani. Karenanya, semakin penting peran IAIN dalam perumusan visi etika yang tegas dan jelas.
Dengan demikian, cara pandang etika IAIN setidaknya dapat meliputi tiga aspek: (1) Etika yang terkait dengan pencarian kebahagiaan, (2) Etika yang terkait dengan rasionalitas dan ilmu, (3) Etika sebagai Pengobatan Rohani.
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan, seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshîl al-Sa‘âdah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.
Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlâk al-karîmah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashîr al-Dîn al-Thûsî (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan; dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbîr). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Râzî (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Rûhanî (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”
Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseim-bangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.26 Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nûr) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah. Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.
Etika juga telah dipandang oleh para filosof Muslim sebagai pengobatan atau “kedokteran” rohani, sebagaimana tercermin dalam judul buku Thibb al-Rûhanî (Kedokteran Rohani), buah karya al-Râzî, seorang ahli kedokteran abad kesepuluh.
Peran etika sebagai kedokteran rohani sangat sifnifikan. Para filosof Muslim mensejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari kepentingannya, maupun dari metodenya. Jika kita menganggap penting ilmu kedokteran untuk memelihara kesehatan tubuh kita, maka demikian juga kita sangat membutuhkan etika untuk memelihara kesehatan mental kita. Kalau pada saat ini lebih banyak orang yang datang ke dokter medis untuk memeriksakan kesehatan atau mengobati tubuhnya dibanding dengan yang datang ke ahli etika untuk mengkonsultasikan kesehatan mentalnya, dengan sendirinya, bukan berarti bahwa etika tidak penting. Mungkin, hal ini terjadi lantaran mereka tidak/belum mengetahui apa makna dan manfaat etika yang sebenarnya bagi dirinya. Atau, ia merupakan refleksi manusia modern yang lebih menekankan aspek jasmani ketimbang rohani. Keduanya bermuara pada kecenderungan materialistik, bukan pada fakta bahwa di jaman moderen ini etika dianggap tidak perlu. Dibanding manusia masa silam, manusia moderen jauh lebih memerlukanetika, karena krisis moral yang parah sedang melandanya, misalnya pembunuhan sadis, pemerkosaan masal, penjarahan dan lain-lain.
Perbandingan kepentingan antara etika dan kedokteran sebagai disiplin ilmu yang terurai di atas, bisa kita terapkan terhadap metode perawatan dan pengobatan dalam kedua disiplin itu. Metode pengobatan etika sama halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan kuratif. Miskawaih, dalam bukunya Tahdzîb al-Akhlâk, mengatakan bahwa perawatan tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu memelihara dan mengobati. Demikian juga dalam perawatan mental, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan berusaha memulihkannya bila telah hilang dengan cara mengobatinya. Karenanya, dalam rangka memelihara kesehatan jiwa, Miskawaih menyuguhkan lima kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-pandai mencari teman yang baik, agar tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk tabiatnya. Karena, sekali bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar kita akan mencuri tabiat buruk mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia menodai jiwa kita; (2) Berolah fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya dengan berolah raga bagi kesehatan badan. Karenanya, berolah pikir -dalam bentuk kontemplasi, refleksi, dll.- sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian kehormatan dengan tidak merangsang nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik dengan perbuatan, agar kita tidak terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan; dan (5) Berusaha memperbaiki diri yang diawali dengan mencari dan mengenali kelemahan diri sendiri.
Selain memelihara kesehatan jiwa, etika juga berupaya mengobati penyakit yang menimpa mental, sehingga kesehatan mental dapat dipulihkan. Upaya ini dilakukan dengan mendiagnosis penyakit, mencari sebab musabab, lantas mengobatinya seefektif mungkin. Metode demikian disuguhkan al-Kindi (w. 866) dalam karyanya yang berjudul al-Hilâh li Daf’ al-Ahzân (seni menepis kesedihan). Di sini al-Kindi berupaya menganalisis sebuah penyakit jiwa yang disebut “kesedihan” (al-huzn). Pada mula pertama ia menyebutkan sebab terjadinya, seraya berkata bahwa “kesedihan adalah penyakit jiwa lantaran hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba.” Lalu, al-Kindi menawarkan solusi pengobatannya, pertama, perihal hilangnya yang dicinta, al-Kindi menganjurkan untuk bisa memahami sifat dasar makhluk dunia yang fana. Apapun yang kita cintai di dunia ini akan musnah, maka janganlah mengharapkan mereka kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu luputnya yang didamna bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup yang sederhana, suka menerima (qanâ‘ah), menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan kemungkinan yang kita miliki, agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya
Menjadikan IAIN Sebagai Pusat Pemikiran dan Filsafat Islam
Visi seluas dan setajam apapun tidak akan punya pengaruh seperti yang diharapkan, jika tidak diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit, atau dikembangkan dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan yang relevan dan menunjang visi tersebut. Karena itu, visi yang telah ditawarkan pada bagian terdahulu perlu diwujudkan dalam bentuk Pusat Kajian Filsafat (pemikiran) Islam yang handal dan komprehensif dengan tujuan ganda: (1) memberi jawaban komprehensif dan rasional bagi tantangan dan kritik tajam dari para ilmuwan dan filosof Barat sekuler terhadap bangun metafisika yang berimplikasi terhadap sistem epistemologi dan etika Islam. (2) Mengantisipasi kebutuhan informasi perihal filsafat dan pemikiran Islam di masa datang. Ini terkait dengan bangkitnya kembali metafisika di Barat, dan pencarian hikmah dari tradisi keagamaan Timur (termasuk Islam, terutama aspek pemikiran dan spiritual) oleh para ilmuwan serta cendekiawan Barat.
Setiap lembaga pendidikan tinggi yang baik harus memiliki “Center of Exellence”. Sangat memungkinkan bagi IAIN untuk membuat dirinya sebagai pusat pemikiran dan kajian filsafat Islam, yang kelak akan menjadi kebanggaannya, lantaran: (1) betapa pun besarnya minat IAIN dan mahasiswanya terhadap filsafat dan pemikiran Barat, tak kan mampu mengejar ketinggalan di bidang ini, misalnya, dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Sebagai lembaga pendidikan Islam, terasa janggal bila IAIN menjadikan filsafat “Barat” sebagai center atau point of exellence-nya. (2) Sebenarnya, IAIN memiliki SDM yang handal, yang telah banyak dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga lain, formal maupun non-formal, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh IAIN sendiri. Kehandalan ini bukan hanya pada keluasan cakrawala berpikir, bahkan penguasaan bahasa asing yang sangat dibutuhkan, baik untuk menimba maupun mentransfer ilmu dan menerjemah, dalam upaya menghimpun data dan informasi yang akan dibutuhkan oleh IAIN sebagi pusat studi fFilsafat dan pemikiran Islam. (3) Hal lain yang menunjang atau memungkinkan untuk membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Pemikiran Islam adalah semakin tersedianya bahan-bahan mental (material) yang sangat potensial untuk digali baik dari khasanah klasik Islam, maupun dari hasil-hasil pengkajian sarjana moderen terhadap pemikiran dan spiritualitas Islam.
Membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Filsafat dan Pemikiran Islam, sebagai mana STF Driyarkara sebagai Pusat Kajian Filsafat Barat dan Kristen, menunjuk kepada perlunya gebrakan-gebrakan baru yang signifikan dan mesti diperkuat pelbagai kebijakan, baik dari IAIN sendiri maupun instansi terkait. Kendati memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini mesti direalisasikan. Sebab informasi dan data yang tersedia, terutama di bidang filsafat Islam, telah sangat tidak memadai. Karenanya, perlu dilakukan pelbagai pengembangan besar, demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Upaya di atas sekaligus menunjuk kepada upaya membuka (melalui penelitian dan pengembangan) pelbagai lahan filsafat yang sangat potensial untuk digali. Misalnya, pengenalan tokoh-tokoh filsafat yang belum begitu dikenal (the Minor Philosophers), penerjemahan karya-karya utama, pengembangan bidang-bidang tertentu dalam filsafat ––metafisika, epistemologi, etika dan politik–– dan pelbagai hal yang terkait dengan literatur filsafat Islam.
Pengenalan terhadap segelintir filosof utama Muslim (enam orang) oleh Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam, kendati sangat berguna, namun sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan IAIN sebagai pusat informasi pemikiran Islam. Penyajian ulang secara terus menerus sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan dan penambahan selama lebih dari seperempat abad. Ini mengesankan seolah-olah dunia Islam hanya memiliki sedikit filosof. Padahal, dunia Islam abad ketiga belas, sebagaimana dilaporkan Ibn Abî Ushaybi’ah dalam ‘Uyûn al-’anbâ’ fî Thabaqât al-Athibbâ’, telah memiliki lebih dari 350 filosof besar dan kecil. Tentunya, itu belum termasuk beberapa filosof lain yang diungkapkan biografer lainnya, seperti Syams al-Dîn Sahrarûzî dalam Nuzhat al-Arwâh wa Raudlat al-Afrâh, yang memuat biografi “Shaikh Isyrâqî” Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191), dan Dzâhir al-Dîn Bayhaqî dalam Târîkh Hukamâ’ al-Islâm.
Berarti, lahan garap filsafat di bidang tokoh (biografis) masih sangat luas dan dalam, lantaran masih ada ratusan tokoh filsafat, dengan corak pemikiran yang kaya dan berbeda-beda, yang belum diperkenalkan. Penggalian data dan informasinya bisa ditempuh melalui upaya: (1) kajian intensif (bahkan penerjemahan) beberapa karya biografis filosofis dan ilmiah yang pernah ditulis oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti tiga karya yang tersebut di atas, ditambah karya-karya biografis lain seperti al-Fihrist oleh Ibn al-Nadîm, Ikhbâr al-‘Ulamâ’ bi Akhbâr al-Hukamâ’ oleh Ibn Qifthî, dan Thabaqât al-Athibbâ’ wa al-Hukamâ’ oleh Ibn Juljul;41 (2) mencermati perkembangan kesarjanaan filsafat Islam komtemporer, baik oleh para sarjana Barat maupun Muslim, dalam monografi mereka berkenaan dengan para filosof Muslim tertentu yang belum begitu dikenal. Misalnya, perihal Abu Sulayman al-Sijistani oleh Joel L. Kraemer dalam The Philosophy in The Renaissance of Islam; perihal Abu al-Hasan al-Amiri oleh Everett K. owson dalam A Muslim Philosoher on the Soul and its Fate: al-Âmiri’s Kitâb al-Amâd ‘alâ al-Abad; atau Subhan Khalifat dalam Rasâ’il Abî al-Hasan al-Âmirî wa Syadzâtatuhu al-Falsafiyah yang membahas seluruh karya al-Âmirî yang ada. Juga perihal biografi dan pandangan Qutb al-Dîn Syîrâzî, seorang ahli kedokteran dan astronomi Muslim abad ke tigabelas Masehi, dikedepankan oleh John Walbridge dalam The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi and the Illuninationist Tradition in Islamic Philosophy; perihal Abû Ya‘qûb al-Sijistanî disajikan dalam karya terjemahannya The Wellsprings of Wisdom oleh Paul E. Walker; dan masih banyak monografi lain yang patut mendapatkan perhatian kita.
Cara lain yang lebih efektif dalam pengembangan lahan-lahan potensial Filsafat Islam adalah dengan menghimpun (mengoleksi) karya-karya filosofis Muslim untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Pengkajian dan penerjemahan ini akan sangat berguna bagi pemahaman dan pengembangan wawasan filosofis Islam, yang selama ini hanya dinikmati melalui karya-karya sekunder, bertujuan menghidari kesalahpahaman akibat ketidakmampuan mengakses secara langsung karya-karya utama (materpiece) para filosof kita. Ratusan karya filosofis, ilmiah, dan mistis masih menunggu upaya-upaya yang serius. Misalnya, dalam bidang filsafat terdapat karya-karya agung seperti Fî al-Falsafah al-Ulâ buah karya al-Kindi, Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadhîlah buah karya al-Farabî, al-Syifâ’ dan al-Isyârât wa al-Tanbîhât buah karya Ibn Sinâ, Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât buah karya Suhrawardi, The Nashirean Ethics buah karya Nashîr al-Dîn Thûsî, serta Kitâb al-Asfâr al-Arba’ah dan Hikmat al-‘Arsy buah karya Mullah Shadra, dll. Demikian juga karya-karya ilmiah di pelbagai bidang, seperti Kitâb al-Manâzhir membahas optika buah karya Ibn Haytsam (w. 1039), al-Hawi fi al-Thibb dan al-Thibb al-Rûhanî buah karya Abu Bakr al-Razi, al-Qanûn fî al-Thibb buah karya Ibn Sina dan al-Syamil fî al-Thibb buah karya Ibn Nafis (w. 1288), serta karya-karya di bidang medis. Di bidang astronomi, kita juga punya kitab-kitab agung seperti Zij-I Ilkhânî karya Nashîr al-Dîn Thûsî (w. 1274), dan Durrat al-Tâj li Ghurrat al-Dubaj karya Quthb al-Dîn Syîrazî. Sementara bidang tasawuf, yang tidak bisa dipisahkan dari wacana filsafat, terdapat karya-karya agung yang patut dikaji dan diterjemahkan. Misalnya, Matsnawi dan Diwân-I Syams-I Tabrîz karya seorang penyair sufi terbesar Persia, Jalal al-din Rumi (w. 1273), Fushûsh al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi (w. 1240), Lama’at karya Fakhr al-Dîn ‘Iraqî (w. 1289), dan Munâjâtkarya Khwaja Abdullah Anshari (w. 1089).
Filsafat Islam, yang baru dasarnya saja diperkenalkan oleh almarhum Nasution, patut sekali dikembangkan secara lebih rinci menurut bidang-bidang utamanya: metafisika, epistemologi, etika dan politik. Di bidang metafisika, pengembangan bukan hanya pada masalah ketuhanan dalam pelbagai konsep para filosof Muslim, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Abu Sulaiman al-Sijistani, al-Kirmani, al-’Amiri dll., sebagaimana yang dipaparkan Ian Netton dalam Allah Transcendent: Studies in The Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology. Perihal bukti-bukti filosofis keberadaan-Nya, misalnya dalil al-hudûts yang dikembangkan al-Kindi, dalil al-jawâz oleh Ibn Sina maupun dalil al-inâyah61 oleh Ibn Rusyd. Bahkan bidang-bidang kosmologis, konsep akal (intelek), konsep eskatologis, termasuk alam barzakh dan alam mitsal yang menjadi perhatian utama Henry Corbin dalam Spiritual Body and Celestial Earth juga Fazlur Rahman dalam The Philosohy of Mulla Shadra. Hal penting yang sering dilewatkan dalam kajian metafisika di IAIN adalah kajian yang berkaitan dengan wujud (eksistensialisme), yang telah menjadi topik utama dalam karya-karya monumental para filosof Muslim. Di bidang epistemologi, pengembangan bisa dalam bentuk kajian intensif perihal pandangan epistemologis para filosof dan ilmuwan Muslim yang selama ini jarang sekali disentuh, kendati hal ini dirasa mendesak. Misalnya, pancarian pandangan keilmuan yang harmonis, sebagai alternatif bagi pandangan keilmuan Barat yang dirasakan semakin timpang.
Karya-karya utama para filosof Muslim yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan, seperti Ihshâ’ al-‘Ulûm karya al-Farabi, al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Ghazali, Durrat al-Taj li-Gurrat al-Dubaj karya Quthb al-Din Syirazi (w. 1311), dan al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun (w.1406), merupakan rujukan utama dalam wacana epistemologi Islam. Di dalamnya dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta metode-metodenya. Kita pun patut memperhatikan karya-karay besar di bidang filsafat Islam kontemporer yang membahas pelbagai aspek epistemologi Islam secara panjang lebar dan mendalam, sebagaimana karya Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.
Etika filosofis yang dikembangkan para filosof Muslim pun perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat langkanya kajian filsafat Islam di bidang ini. Hingga kini masih terdapat pandangan yang kabur perihal obyek, tujuan dan pembahasan pokok dalam etika filosofis, lantaran acapkali terjadi kesalahpahaman. Selain itu, kondisi psikologis dan mental masyarakat akhir-akhir ini menunjukan dekadensi yang mencolok. Pelbagai persoalan moral muncul dengan sangat memalukan, karenanya pengkajian di bidang ini dirasakan semakin urgen. Mengingat etika, menurut para pemikir Muslim, tiada lain adalah ilmu pengobatan rohani yang sangat dibutuhkan manusia, di mana saja dan kapan saja, lebih-lebih dalam keadaan yang serba tidak menentu seperti sekarang ini. Sebenarnya, kita amat beruntung telah memperoleh karya-karya agung perihal etika yang isu-isu moralnya cukup menarik untuk diperbincangkan, misalnya perihal kebahagiaan, pembinaan karakter, pelbagai keutamaan dan penyakit moral, serta pelbagai solusi bagi pelbagai masalah yang timbul. Seperti Tahdzîb al-Ahklâq karya Ibn Miskawaih, Nashirian Ethics karya Nashîr al-Dîn Thûsî, al-Akhlâq wa al-Siyâr karya Ibn Hazm, Akhlâq-I Jalâlî karya Jalâl al-Dîn al-Dawwânî, serta karya-karya filosof Muslim kontemporer seperti Falsafe Akhlâq karya Murtadla Muthahhari.
Terakhir, bagian filsafat Islam yang paling diabaikan adalah bidang politik. Kendati perlu diakui bahwa teori politik yang dikembangkan para filosof Muslim tidak begitu berpengaruh dalam praktek politik yang nyata dalam masyarakat, ketimbang, misalnya, konsep politik kaum “jurist”, seperti al-Mawardi, al-Juwayni, al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.
Namun, setidaknya sumbangan para filosof dalam hal ini patut diperhatikan. Para filosof yang merumuskan teori-teori politik adalah mereka yang langsung terjun dalam bidang politik, seperti Ibn Sina yang menjadi perdana menteri bagi ‘Ala’ al-Dawlah, Nashir al-Din al-Thusi sebagai wazir dan kepercayaan Hulagu Khan, Miskawayh sebagai wazir bagi ‘Adlul al-Dawlah, dan Ibn Rusyd yang menjadi wazir bagi Ibn Ya’kub. Karenanya, untuk melengkapi bidang garap filsafat di IAIN, sebagai pusat pemikiran dan filsafat Islam, harus disertai perhatian khusus terhadap bidang yang lagi aktual, yakni politik. Semestinya kita patut bersyukur lantaran telah ada, paling tidak dua, karya yang secara khusus membahas pelbagai topik dan bias politik dari filsafat Islam. Pertama, Political Thought in Medieval Islam karya Erwin Rosenthal. Karya ini membahas teori-teori kekhalifahan menurut al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Ibn Taymiyah. Bahkan juga filsafat politik dalam Islam, dengan menampilkan pandangan politik Ibn Sina, Ibn Bajja, Thusi dan al-Dawwani. Kedua, karya yang secara eksklusif menyuguhkan pandangan politik para filosof, yakni The Political Aspect of Islamic Philosophy. Di dalamnya dikemukakan berbagai konsep politik ––banyak di antaranya untuk pertama kali–– berasal dari hampir semua filosof besar Muslim, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah. Ibn Thufayl, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan Quthb al-Din Syirazi. Karya yang dengan apik diedit oleh Charles E. Butterworth ini memuat sumbangan para penulis filsafat Islam yang terkenal, seperti ia sendiri, Paul E. Walker, Miriam Galston, Stephen Harvey, Hossein Ziai dan John Walbridge. Semua karya ini sangat mendesak untuk diteliti dan dikembangkan oleh civitas akademika IAIN.
Ada beberapa hal lagi yang juga patut menjadi perhatian kita dan bisa menjadi lahan subur bagi pengembangan bidang filsafat Islam, seperti literatur hikmah, kebangkitan metafisika di Barat, dan perkembangan filsafat Islam kontemporer. Literatur hikmah merupakan bidang yang barangkali belum disentuh secara serius, padahal khazanah Islam sangat kaya dengan karya-karya hikmah yang agung. Literatur hikmah yang saya maksud adalah kumpulan karya para filosof Muslim maupun non-Muslim, berisi nasehat moral, religius, politik, juga anekdot-anekdot yang sarat dengan kandungan moral. Diantaranya, Nawâdir al-Falâsifah karya Hunain b. Ishaq, al-Hikmah al-Khalîdah karya Ibn Miskawayh, al-Kalâm al-Rûhâniyyah karya Ibn Hindu, Shiwan al-Hikmah karya Abu Sulayman al-Sijistani, dan Mukhtâr al-Hikam wa Mahâsin al-Hikam, karya Mubasysyir b. Fatik.
Selain literatur hikmah, perkembangan metafisika dalam bentuk filsafat perenial di bawah pimpinan Rene Guenon, juga merupakan lahan yang kaya, sangat berguna dan menarik untuk dikaji secara intensif. Rene Gueson dan murid-muridnya seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Titus Burckhardt, dll., merupakan generasi baru intelektual Barat yang tersadarkan dari kematian spiritualitas dunia Barat. Lalu, berupaya merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai pandangan alternatif bagi filsafat materialistik Barat. Yang terpenting adalah bahwa mereka telah mengambil tradisi-tradisi besar Timur termasuk Islam (dalam bentuk sufismenya) sebagai sumber inspirasi mereka, dan lebih penting lagi fakta bahwa banyak di antara mereka yang menjadi Muslim. Karena itu, kita punya kepentingan yang besar terhadap karya-karya mereka, bila memiliki rasa ingin tahu bagaimana kontak yang terjadi pada tataran metafisika antara Barat dan Timur. Mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya kreatif, seperti What is Sufism? karya Martin Lings, An Introduction to Sufi Doctrines dan The Mirror of Intellect karya Titus Burckhardt, The Reign of Quantity karya Guenon, dan beberapa karya cemerlang dari Frithjof Schuon seperti The Transcendent Unity of Religions, Sufism, Sufism: Veil and Quintessence, Light on the Ancient Worlds, dll.
Lahan lain yang mesti dikembangkan adalah perkembangan filsafat Islam kontemporer dan modern, atau yang lebih dikenal sebagai filsafat pasca-Ibn Rusd. Banyak sekali filosof Muslim yang telah menyumbangkan karya-karya orisinil mereka di bidang filsafat pasca-Ibn Rusyd, namun sayang perhatian kita masih sangat minim. Seperti Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Syam al-Din Lahiji, Mulla Shadra, ‘Abd al-Razzaq Lahiji, Muhsin Faydl Kasyani, dll. adalah para tokoh baru yang namanya terdengar samar-samar. Beberapa tokoh yang hidup pada abad kedua puluh seperti Astiyani, Tabataba’i, Murtadla Muthahhari, dan tentu saja Mehdi Ha’iri Yazdi, adalah para tokoh yang mesti dikaji secara intensif dan serius. Karena, dalam karya mereka tercermin bagaimana reaksi para fiolsof Muslim terhadap perkembangan filsafat Barat. Ini mesti digagas, bila IAIN ingin menjadi Pusat pemikiran dan Filsafat Islam. Sebenarnya telah tersedia dua karya penting Henry Cobin, pertama, History of Islamic Philosophy yang membahas sejarah filsafat Islam, sejak munculnya hingga banyak filosof pasca-Ibn Rusyd; kedua, Spiritual Body and Celestial Earth, yang melacak secara khusus pemikiran para filosof dan Sufi pasca-Ibn Rusyd, khususnya konsep mereka tentang alam mitsal. Suatu bidang kajian yang belum tersentuh dalam kurikulum kita.
Penutup
Demikianlah yang dapat saya sajikan berkenaan dengan upaya membangun kerangka keilmuan di IAIN dalam memasuki milenium ketiga, khususnya dari perspektif filosofis. Tentu saja, semua ini akan sangat efektif bila diimplementasikan bukan saja dalam lembaga-lembaga kajian, bahkan dalam kurikulum filsafat di IAIN, baik tingkat S1 maupun S2. Jadi, kalau kita lihat dari apa yang telah disajikan, nampak khazanah filsafat Islam sangat kaya, dalam dan menarik. Tiada lain harapan saya, semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini akan menjadi masukan yang esensial teruatama dalam menyusun kurikulum filsafat islam, yang saat ini masih terlalu sederhana dan perlu terus dikembangkan. Terutama memasuki era baru milenium ketiga yang penuh tantangan, sekaligus kesempatan yang tidak boleh begitu saja kita lewatkan. Semoga bermanfaat.
Dinamika atau perubahan ini merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa kita bantah dan telah menjadi sifat dasar dari segala yang ada di muka bumi, termasuk manusia dan lembaga-lembaga yang ia bangun. Semua lembaga, baik keagamaan, negara maupun kemasyarakatan, tidak ada yang luput dari pengaruh dinamika kehidupan ini. Bahkan, kelestarian lembaga-lembaga itu sedikit banyaknya tergantung dan dipengaruhi oleh sejauh mana mereka dapat menyesuaikan diri dengan irama perubahan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan, IAIN juga tidak luput dari “hukum” tersebut; kalaupun mampu mengikuti irama perubahan itu, maka insya Allah ia akan “survive”, tetapi kalau lamban sehingga tidak bisa mengejarnya, maka cepat atau lambat lembaga akan tertinggal dan ditinggalkan.
Oleh karena itu, agar lembaga ini tetap “survive” maka kita harus berani mengadakan perubahan-perubahan esensial secara periodik. Tetapi kalau kita ingin “maju” (berkembang) dan bukan hanya “survive”, maka kita harus mengadakan perubahan-perubahan yang lebih fundamental untuk mengadakan “antisipasi” ke masa depan sesuai dengan arah kecenderungan yang berkembang.
IAIN sangat beruntung memiliki tokoh kharismatik seperti Prof. Dr. Harun Nasution yang pada tahun 70-an dan 80-an telah mengadakan “reformasi” fundamental terhadap IAIN, dan keteguhan/ketetapan hati dan kepercayaannya terhadap kebenaran dari ide-ide dan tindakannya membuat ia “tahan banting” terhadap segala macam kecaman dan kritik yang destruktif, dan pada akhirnya semua orang mengerti dan mengakui pen-capaiannya yang agung.
Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa mengelak dari hukum dinamika kehidupan –yang belakangan ini cenderung semakin cepat–, maka bahkan ide-ide dan gebrakan-gebrakan dinamis almarhum Harun Nasution sudah agak “tertinggal” oleh jaman, dan itu dirasakan hampir di semua bidang keilmuan Islam, terutama seperti yang kita lihat dalam bidang filsafat. Oleh karena itu, untuk tetap bisa “survive”, bahkan kalau bisa “maju dan berkembang”, maka dalam memasuki millenium ketiga ini, mau tidak mau IAIN harus mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental untuk mengantisipasi arus besar yang akan melanda pemikiran dunia global maupun regional, dan terutama pemikiran keagamaan dan filosofis di negara kita sendiri. Untuk itu, barangkali kita juga harus merumuskan ulang visi dan misi dari lembaga pendidikan tinggi Islam.
Metafisika dan Epistemologi Islam
Salah satu definisi metafisika adalah “upaya untuk mengeksplorasi dunia non-indrawi, yang berada di seberang dunia pengalaman”. Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang mencoba menjelajahi dunia rohani atau alam gaib, yang menurut Islam harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, seperti Tuhan, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, neraka dan sebagainya. Agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mempercayai yang gaib tersebut dengan sepenuhnya; tentu saja kepercayaan ini tidak bisa diajarkan secara dogmatis belaka, seperti yang sudah-sudah. Namun, harus disampaikan melalui argumen-argumen rasional, yang rupanya telah menjadi tuntutan jaman, melalui analisis yang logis dan sistimatis. Oleh karena itu, IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas, seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal.
Keharusan IAIN memiliki pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental. Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan, misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace (w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah “hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.
Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan hukum seleksi alamiah. Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkanal itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.
Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund Freud (w. 1939), bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud memandang bukan saja Tuhan, bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi. Dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menganggap agama lebih sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan manusia), ketimbang mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut Freud, ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan pengalaman atau hasil akhir dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan manusia yang paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan ide-ide itu menjadi “ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari keinginan-keinginan manusia, sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam keinginan-keinginan tadi. Feud melihat ide-ide keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan manusia. Demikian juga Emile Durkheim, seorang sosiolog modern Prancis, melihat bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari Tuhan.
Demikianlah beberapa contoh ide ilmuwan Barat yang menyerang berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis. Kita harus memberi jawaban yang rasional pula, jika kepercayaan kita terhadap alam gaib/metafisika tidak mau dianggap sebagai ilusi/angan-angan belaka, lantas dicampakkan oleh orang-orang modern yang telah cukup dalam dipengaruhi oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut di atas, yang bagi para pengikutnya yang luas dipandang sebagai nabi-nabi ilmu pengetahuan. Namun, hingga hari ini IAIN belum mempersiapkan visi metafisik tentang hal tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sebab kedua yang menyebabkan IAIN perlu memiliki visi metafisik yang jelas, adalah adanya kebutuhan yang semakin mendesak bagi orang-orang modern, baik Barat maupun Timur, terhadap bangun metafisika yang kokoh, tempat berlindung orang-orang beriman dan menjunjung tinggi spiritualitas. Setelah masa Perang Dunia kedua, terdapat kecenderungan yang semakin jelas dari kaum intelektual Barat terhadap metafisika. Dalam dunia/bidang metafisika dan astronomi sendiri telah ada kecenderungan yang semakin kuat terhadap hal-hal yang bersifat metafisik. Fisikawan kontemporer Barat, pengarang buku God’s Wispher and Creation’s Thunder, menyebutkan pandangan-pandangan Jalal al-Din Rumi (w. 1274), seorang penyair sufi Persia, untuk melengkapi dimensi batin/esoterik dari realitas sejati yang mana fisika modern, menurut pandangan buku tersebut, hanya mampu mengungkapkannya dari dimensi lahir/eksetorik belaka dan karena itu hanya bersifat parsial. Demikian juga Robert Jastrow pengarang buku God and Astronomers, melihat perkembangan-perkembangan yang menarik pada bidang astronomi, karena implikasi-implikasi religiusnya. Menurut dia, berbagai ilmu tidak bisa bertahan untuk tetap pada tataran fisik, dan banyak diantaranya yang mencoba melakukan pendakian ke dunia metafisik, yang disebut sebagai gunung ketidaktahuan (montain of ignorance). Di akhir karyanya, ia menyatakan: “ilmuwan telah (mencoba) mendaki gunung ketidaktahuan (metafisika), dan ia hampir mencapai pucaknya yang tertinggi. Namun, kala ia mengangkat dirinya ke atas, ia disambut oleh sekelompok teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad.” Inilah kisah menarik yang diceritakan oleh Jastrow, yang menggambarkan para ilmuwan dengan para agamawan. Jadi, jelaslah betapa fisikawan kontemporer membutuhkan bimbingan metafisika dari para teolog/agamawan.
Perkembangan metafisika, atau lebih tepatnya, kebangkitan kembali metafisika di Barat, semakin kentara dengan adanya upaya untuk bisa menghidupkan kembali Philosophia Perennis, yang dipimpin oleh Rene Goenon, seorang ahli metafisika abad dua puluh dari Perancis, yang kemudian masuk Islam dan kemudian menghabiskan bagian akhir hidupnya di Mesir. Peranan yang dimainkan oleh Goenon dalam kebangkitan metafisika dan filsafat perenial, tercermin dari munculnya beberapa ilmuwan dan metafisikawan terkenal yang mengaku sebagai murid Goenon. Misalnya, Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Martin Lings, Marco Pallis dan Seyyed Hossein Nasr. Sebagian besar adalah kaum intelektual dan ilmuwan yang telah tersadarkan dari nestapa kehidupan modern, lalu mencari dan mendapatkan hikmah dari Timur, yakni tradisi-tradisi religius yang agung, seperti Taoisme, Budhisme, dan Islam, khususnya Sufisme.
Dari apa yang kita sajikan di atas, bisa kita tarik kesim-pulan bahwa dunia modern berada di persimpangan jalan antara pengetahuan sekuler masa lalu. Kondisi yang demikian ini masih dominan di kalangan ilmuwan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem metafisika religius dan arus kontemporer ke arah kebangkitan kembali tradisi keagamaan Timur yang masih berlangsung dan semakin berpengaruh di kalangan tertentu, yakni dunia intelektual Barat. Kedua fenomena ini, tentunya, perlu kita sikapi dengan membangun metafisika yang kokoh dan besar dengan dua tujuan sekaligus: (1) menjawab tantangan metafisika yang dilancarkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sekuler yang secara ilmiah mencoba mendongkel pondasi metafisika religius; (2) memberi jawaban yang memadai bagi tuntutan yang terus berkembang, terutama dalam memasuki milenium ketiga ini, terhadap visi metafisika yang seimbang, logis dan rasional yang bisa memuaskan kaum intelektual yang sedang mencari spiritualitas di dunia Timur. Saya berharap bahwa cukuplah kiranya dua fenomena yang menarik ini menjadi alasan perlunya IAIN untuk memiliki visi metafisika yang seimbang, tetapi cukup dapat diandalkan dari sudut logika dan filosofis, serta tidak bertentangan dengan semangat agama.
Kini, sampilah kita pada persoalan pokok, yaitu visi metafisika yang bagaimana yang kita butuhkan. Tentunya, sebagai lembaga yang melibatkan banyak pihak, IAIN tidak bisa menganut satu sistem metafisika tertentu saja, misalnya metafisika Ibn Sina (w. 1037). IAIN harus memiliki visi metafisika yang mengayomi berbagai aliran metafisika yang pernah dikembangkan oleh umat Islam, sejauh tidak melanggar atau menolak ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan demikian, metafisika yang dikembangkan di IAIN bisa mengambil bentuk Avicennian, Suhrawardian, Shadrian, Farabian, maupun Ibn Arabian. Tentunya, bila benar-benar dikembangkan, maka wacana metafisika di IAIN akan semakin kaya. Ini terwujud, bila sistem-sistem tersebut tidak melanggar prinsip dasar agama Islam.
Selain metafisika, IAIN juga harus merumuskan visi epistemologinya yang jelas. Selama ini, epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam merupakan bidang yang sangat diabaikan. Sebagai ilustrasi, UI Press menerbitkan sebuah buku kecil dengan judul Epistemologi Islam. Selain kecil, buku ini juga tidak cukup subtansial memuat ajaran-ajaran epistemologi Islam. Padahal, khazanah filsafat Islam sangat kaya dan potensial untuk disusun menjadi epistemologi Islam yang komprehensif.
Memasuki milenium ketiga, terutama berkaitan dengan rencana merubah IAIN menjadi universitas, arus kajian yang lintas disiplin akan semakin ramai memasuki kampus ini. Dengan dibukanya jurusan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, psikologi, dll., serta kemungkinan besar IAIN akan merekrut dosen-dosen dari beberapa universitas umum, seperti UI, ITB dan IPB. Tenaga-tenaga pengajar ini boleh jadi benar-benar menguasai bidang mereka masing-masing. Tetapi, dari sudut epitemologi, mereka pasti mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain. Kalau ini dibiarkan begitu saja, maka sudah bisa dibayangkan kebingungan yang akan dihadapi oleh seorang mahasiswa yang mendapat pengajaran dari pelbagai dosen dengan pandangan epistemologi yang berbeda, bahkan mungkin kontras satu sama lain. Misalnya, seorang dosen mengatakan bahwa sumber ilmu hanyalah inderawi, dan metodenya hanyalah observasi. Yang lain mengatakan bahwa sumber ilmu itu adalah inderawi, akal dan hati. Sementara yang lain mengatakan hanya inderawi dan akal.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problem besar yang mungkin terjadi, IAIN harus merumuskan visi epistemologinya, yang tentunya, cocok dengan pandangan fundamental Islam. Setidaknya, visi epistemologi ini harus meliputi dua aspek utamanya: (1) ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, (2) sumber serta metodologi ilmu. Melalui penjelasan keduanya, diharapkan setiap dosen memiliki pedoman yang jelas dalam membahas aspek-aspek teoritis ilmu pengetahuan apapun yang diajarkan.
Dua pertanyaan mendasar dalam setiap teori ilmu adalah pertama, “Apa yang dapat kita ketahui”, dan kedua, “Bagaimana kita mengetahuinya.” Pertanyaan pertama secara langsung berkaitan dengan lingkup dan obyek ilmu, sementara yang kedua terkait dengan sumber dan metode lain.
Dalam pandangan keilmuan Islam, obyek ilmu sama halnya dengan rangkaian wujud (eksistensi), baik yang gaib (metafisika) maupun yang lahir (fisik). Karena itu, ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina dan al-Biruni, mempunyai pandangan dunia yang melukiskan susunan wujud dari yang tertinggi (Tuhan) kemudian turun melalui akal atau entitas rohani (malaikat), serta jiwa dan benda angkasa, hingga yang terendah (alam dunia), atau apa yang disebut sebagai dunia di bawah Bulan. Susunan wujud seperti ini disebut kosmologi.
Berbagai wujud yang tersusun dalam kosmologi ini, lalu terpilah manjadi pelbagai obyek ilmu, lantas muncullah klasifikasi ilmu. Klasifikasi ilmu ini dipandang penting oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim, bukan sekadar untuk mengetahui lingkup pengetahuan manusia, bahkan untuk melihat hubungan antara suatu cabang ilmu dengan yang lainnya.
Yang terpenting dalam pembicaraan tentang lingkup dan obyek-obyek ilmu ini adalah bahwa setiap cabang ilmu mempunyai korelasi ontologis positif dengan obyek-obyeknya. Artinya, setiap obyek dari cabang ilmu itu harus diakui dan diyakini keberadaannya, apakah ia bersifat gaib (metafisik) maupun nyata (fisik). Misalnya, metafisika berkorelasi secara ontologis dengan obyek-obyek yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, jiwa, alam barzah, surga dan neraka. Obyek-obyek tersebut, yang oleh para filosof Muslim disebut sebagai obyek-obyek ma‘qûlî (intelligible), sementara oleh agamawan disebut alam gaib/rohani (supranatural), diakui serta diyakini keberadaannya oleh para sarjana Muslim (seperti tuntunan agamanya). Sebagaimana obyek-obyek mahsûsî (sensible) menjadi obyek dalam ilmu fisika, astronomi, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, dll.
Pengakuan terhadap status ontologis obyek-obyek itu, baik yang ma‘qûlî maupun mahsûsî, pada gilirannya akan mengarah kepada pengakuan terhadap status keilmuan dari cabang-cabang ilmu yang masuk dalam klasifikasi/lingkup ilmu yang kita kembangkan. Hal ini perlu dikemukakan, mengingat banyak cabang ilmu yang telah dikembangkan para sarjana Muslim, seperti metafisika, kosmologi, eskatologi, mistisisme, dll., telah diragukan status ilmiahnya oleh para sarjana Barat modern, hanya karena keraguan mereka sendiri terhadap status ontologis dari obyek-obyek ilmu tersebut yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya secara empiris melalui eksperimen.
Masalah epistemologi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber dan metode ilmu yang berkaitan langsung dengan pertanyaan kedua, yaitu “bagaimana” atau “dengan apa” kita bisa mengetahui sebuah obyek ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini mengacu pada “alat” atau “sumber”, yang dengannya manusia mampu mencapai pengetahuan tentang obyek-obyek yang berbeda sifatnya. Setiap epistemologi yang dibangun para sarjana Muslim, mesti menggagas setidaknya tiga sumber atau alat ilmu yang sama-sama diakui keabsahannya, yakni inderawi, akal dan hati (intuisi).
Melalui “inderawi” atau “persepsi indrawi” (sense-perception), bisa dikembangkan metode observasi berdasarkan data-data empiris dan eksperimental. Metode observasi ini telah dikembangkan oleh banyak ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu alam, seperti kimia, astronomi, optik, dll. Metode observasi dan eksperimen berguna untuk menguji teori-teori lama sekaligus menemukan teori-teori baru.
Seperti telah disinggung di atas, selain panca indra, para sarjana Muslim telah mengakui akal sebagai sumber dan alat untuk menangkap realitas. Dari sini, mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai metode rasional atau diskursif (bahtsî). Sebagaimana inderawi bisa menangkap obyek-obyek rohani (mahsûsî) atau metafisika secara silogistik, yakni manarik kesimpulan tentang hal-hal yang belum/tak diketahui (the unknown) dari hal-hal yang telah diketahui (the known). Dengan cara inilah akal manusia, melalui penalaran dan penelitian terhadap alam semesta, bisa mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya.
Selain metode observasi dan rasional, para epistemolog Muslim juga mengakui metode lain untuk menangkap pelbagai realitas spiritual atau metafisika, yaitu metode intuitif atau eksperiensial (dzawqî), seperti yang dikembangkan oleh para sufi dan filosof Isyrâqî. Kendati sama-sama berfungsi untuk menangkap pelbagai realitas metafisika, tetapi terdapat perbedaan metodologis yang fundamental antara akal dan intuisi. Karena, akal menangkap obyek tersebut secara inferensial, sementara intuisi menangkapnya secara langsung (eksperiensial). Sehingga, ia mampu melintasi jurang lebar antara subyek dan obyek. Ciri utama epistemologi Islam adalah menggagas bahwa bukan hanya pengalaman indrawi yang dipandang “real”, tetapi juga pengalaman akal dan intuisi. Karenanya, masing-masing patut diperhatikan dalam visi epistemologi IAIN. Mengabaikan salah satu dari ketiganya, sama halnya dengan mengabaikan realitas itu sendiri. Kalau kita mengabaikan pengalaman intuisi, misalnya, maka dengan sendirinya kita akan mengabaikan pengalaman yang menjadi dasar kenabian. Demikian juga pengalaman mistik yang telah menjadi sumber kreatif spitualitas Islam.
Etika Islam
Melihat kondisi moral masyarakat akhir-akhir ini yang semakin menurun, maka sudah selayaknya IAIN memiliki visi etika yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa hingga kini masih ada banyak kesalah-pahaman terhadap etika atau filsafat moral. Etika acapkali digagas sebagai aturan yang menuntun sebagian sikap masyarakat belaka, bahkan jarang dikaitkan dengan masalah kebahagian, rasionalitas dan pengobatan rohani. Karenanya, semakin penting peran IAIN dalam perumusan visi etika yang tegas dan jelas.
Dengan demikian, cara pandang etika IAIN setidaknya dapat meliputi tiga aspek: (1) Etika yang terkait dengan pencarian kebahagiaan, (2) Etika yang terkait dengan rasionalitas dan ilmu, (3) Etika sebagai Pengobatan Rohani.
Menurut para filosof etika Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan, seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tahshîl al-Sa‘âdah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit. Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (hasad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.
Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhlâk al-karîmah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan.
Sementara itu, ilmu dan rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nashîr al-Dîn al-Thûsî (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan; dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Miskawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbîr). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Râzî (w. 925), dalam bukunya al-Thibb al-Rûhanî (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”
Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-syahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghadlabiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nuthqiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseim-bangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran “manajerial”nya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik.26 Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nûr) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah. Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.
Etika juga telah dipandang oleh para filosof Muslim sebagai pengobatan atau “kedokteran” rohani, sebagaimana tercermin dalam judul buku Thibb al-Rûhanî (Kedokteran Rohani), buah karya al-Râzî, seorang ahli kedokteran abad kesepuluh.
Peran etika sebagai kedokteran rohani sangat sifnifikan. Para filosof Muslim mensejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari kepentingannya, maupun dari metodenya. Jika kita menganggap penting ilmu kedokteran untuk memelihara kesehatan tubuh kita, maka demikian juga kita sangat membutuhkan etika untuk memelihara kesehatan mental kita. Kalau pada saat ini lebih banyak orang yang datang ke dokter medis untuk memeriksakan kesehatan atau mengobati tubuhnya dibanding dengan yang datang ke ahli etika untuk mengkonsultasikan kesehatan mentalnya, dengan sendirinya, bukan berarti bahwa etika tidak penting. Mungkin, hal ini terjadi lantaran mereka tidak/belum mengetahui apa makna dan manfaat etika yang sebenarnya bagi dirinya. Atau, ia merupakan refleksi manusia modern yang lebih menekankan aspek jasmani ketimbang rohani. Keduanya bermuara pada kecenderungan materialistik, bukan pada fakta bahwa di jaman moderen ini etika dianggap tidak perlu. Dibanding manusia masa silam, manusia moderen jauh lebih memerlukanetika, karena krisis moral yang parah sedang melandanya, misalnya pembunuhan sadis, pemerkosaan masal, penjarahan dan lain-lain.
Perbandingan kepentingan antara etika dan kedokteran sebagai disiplin ilmu yang terurai di atas, bisa kita terapkan terhadap metode perawatan dan pengobatan dalam kedua disiplin itu. Metode pengobatan etika sama halnya dengan metode kedokteran yang bersifat preventif dan kuratif. Miskawaih, dalam bukunya Tahdzîb al-Akhlâk, mengatakan bahwa perawatan tubuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu memelihara dan mengobati. Demikian juga dalam perawatan mental, yakni menjaga kesehatan agar tidak sakit, dan berusaha memulihkannya bila telah hilang dengan cara mengobatinya. Karenanya, dalam rangka memelihara kesehatan jiwa, Miskawaih menyuguhkan lima kiat dalam merawat kesehatan mental: (1) Pandai-pandai mencari teman yang baik, agar tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk tabiatnya. Karena, sekali bergaul dengan mereka, maka secara tidak sadar kita akan mencuri tabiat buruk mereka yang sulit untuk dibersihkan kala ia menodai jiwa kita; (2) Berolah fikir bagi kesehatan mental sama pentingnya dengan berolah raga bagi kesehatan badan. Karenanya, berolah pikir -dalam bentuk kontemplasi, refleksi, dll.- sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan mental; (3) Memelihara kesucian kehormatan dengan tidak merangsang nafsu; (4) Menyesuaikan rencana yang baik dengan perbuatan, agar kita tidak terjerat pada kebiasaan buruk yang merugikan; dan (5) Berusaha memperbaiki diri yang diawali dengan mencari dan mengenali kelemahan diri sendiri.
Selain memelihara kesehatan jiwa, etika juga berupaya mengobati penyakit yang menimpa mental, sehingga kesehatan mental dapat dipulihkan. Upaya ini dilakukan dengan mendiagnosis penyakit, mencari sebab musabab, lantas mengobatinya seefektif mungkin. Metode demikian disuguhkan al-Kindi (w. 866) dalam karyanya yang berjudul al-Hilâh li Daf’ al-Ahzân (seni menepis kesedihan). Di sini al-Kindi berupaya menganalisis sebuah penyakit jiwa yang disebut “kesedihan” (al-huzn). Pada mula pertama ia menyebutkan sebab terjadinya, seraya berkata bahwa “kesedihan adalah penyakit jiwa lantaran hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba.” Lalu, al-Kindi menawarkan solusi pengobatannya, pertama, perihal hilangnya yang dicinta, al-Kindi menganjurkan untuk bisa memahami sifat dasar makhluk dunia yang fana. Apapun yang kita cintai di dunia ini akan musnah, maka janganlah mengharapkan mereka kekal abadi, karena hal itu sama dengan mengharap yang tak mungkin dan akan menimbulkan kesedihan. Kedua, yaitu luputnya yang didamna bisa diselesaikan dengan mengembangkan sikap hidup yang sederhana, suka menerima (qanâ‘ah), menyesuaikan keinginan dengan kemampuan dan kemungkinan yang kita miliki, agar tidak lebih besar pasak daripada tiangnya
Menjadikan IAIN Sebagai Pusat Pemikiran dan Filsafat Islam
Visi seluas dan setajam apapun tidak akan punya pengaruh seperti yang diharapkan, jika tidak diimplementasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit, atau dikembangkan dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan yang relevan dan menunjang visi tersebut. Karena itu, visi yang telah ditawarkan pada bagian terdahulu perlu diwujudkan dalam bentuk Pusat Kajian Filsafat (pemikiran) Islam yang handal dan komprehensif dengan tujuan ganda: (1) memberi jawaban komprehensif dan rasional bagi tantangan dan kritik tajam dari para ilmuwan dan filosof Barat sekuler terhadap bangun metafisika yang berimplikasi terhadap sistem epistemologi dan etika Islam. (2) Mengantisipasi kebutuhan informasi perihal filsafat dan pemikiran Islam di masa datang. Ini terkait dengan bangkitnya kembali metafisika di Barat, dan pencarian hikmah dari tradisi keagamaan Timur (termasuk Islam, terutama aspek pemikiran dan spiritual) oleh para ilmuwan serta cendekiawan Barat.
Setiap lembaga pendidikan tinggi yang baik harus memiliki “Center of Exellence”. Sangat memungkinkan bagi IAIN untuk membuat dirinya sebagai pusat pemikiran dan kajian filsafat Islam, yang kelak akan menjadi kebanggaannya, lantaran: (1) betapa pun besarnya minat IAIN dan mahasiswanya terhadap filsafat dan pemikiran Barat, tak kan mampu mengejar ketinggalan di bidang ini, misalnya, dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Sebagai lembaga pendidikan Islam, terasa janggal bila IAIN menjadikan filsafat “Barat” sebagai center atau point of exellence-nya. (2) Sebenarnya, IAIN memiliki SDM yang handal, yang telah banyak dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga lain, formal maupun non-formal, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh IAIN sendiri. Kehandalan ini bukan hanya pada keluasan cakrawala berpikir, bahkan penguasaan bahasa asing yang sangat dibutuhkan, baik untuk menimba maupun mentransfer ilmu dan menerjemah, dalam upaya menghimpun data dan informasi yang akan dibutuhkan oleh IAIN sebagi pusat studi fFilsafat dan pemikiran Islam. (3) Hal lain yang menunjang atau memungkinkan untuk membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Pemikiran Islam adalah semakin tersedianya bahan-bahan mental (material) yang sangat potensial untuk digali baik dari khasanah klasik Islam, maupun dari hasil-hasil pengkajian sarjana moderen terhadap pemikiran dan spiritualitas Islam.
Membentuk IAIN sebagai Pusat Kajian Filsafat dan Pemikiran Islam, sebagai mana STF Driyarkara sebagai Pusat Kajian Filsafat Barat dan Kristen, menunjuk kepada perlunya gebrakan-gebrakan baru yang signifikan dan mesti diperkuat pelbagai kebijakan, baik dari IAIN sendiri maupun instansi terkait. Kendati memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal ini mesti direalisasikan. Sebab informasi dan data yang tersedia, terutama di bidang filsafat Islam, telah sangat tidak memadai. Karenanya, perlu dilakukan pelbagai pengembangan besar, demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Upaya di atas sekaligus menunjuk kepada upaya membuka (melalui penelitian dan pengembangan) pelbagai lahan filsafat yang sangat potensial untuk digali. Misalnya, pengenalan tokoh-tokoh filsafat yang belum begitu dikenal (the Minor Philosophers), penerjemahan karya-karya utama, pengembangan bidang-bidang tertentu dalam filsafat ––metafisika, epistemologi, etika dan politik–– dan pelbagai hal yang terkait dengan literatur filsafat Islam.
Pengenalan terhadap segelintir filosof utama Muslim (enam orang) oleh Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam, kendati sangat berguna, namun sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan IAIN sebagai pusat informasi pemikiran Islam. Penyajian ulang secara terus menerus sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan dan penambahan selama lebih dari seperempat abad. Ini mengesankan seolah-olah dunia Islam hanya memiliki sedikit filosof. Padahal, dunia Islam abad ketiga belas, sebagaimana dilaporkan Ibn Abî Ushaybi’ah dalam ‘Uyûn al-’anbâ’ fî Thabaqât al-Athibbâ’, telah memiliki lebih dari 350 filosof besar dan kecil. Tentunya, itu belum termasuk beberapa filosof lain yang diungkapkan biografer lainnya, seperti Syams al-Dîn Sahrarûzî dalam Nuzhat al-Arwâh wa Raudlat al-Afrâh, yang memuat biografi “Shaikh Isyrâqî” Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191), dan Dzâhir al-Dîn Bayhaqî dalam Târîkh Hukamâ’ al-Islâm.
Berarti, lahan garap filsafat di bidang tokoh (biografis) masih sangat luas dan dalam, lantaran masih ada ratusan tokoh filsafat, dengan corak pemikiran yang kaya dan berbeda-beda, yang belum diperkenalkan. Penggalian data dan informasinya bisa ditempuh melalui upaya: (1) kajian intensif (bahkan penerjemahan) beberapa karya biografis filosofis dan ilmiah yang pernah ditulis oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti tiga karya yang tersebut di atas, ditambah karya-karya biografis lain seperti al-Fihrist oleh Ibn al-Nadîm, Ikhbâr al-‘Ulamâ’ bi Akhbâr al-Hukamâ’ oleh Ibn Qifthî, dan Thabaqât al-Athibbâ’ wa al-Hukamâ’ oleh Ibn Juljul;41 (2) mencermati perkembangan kesarjanaan filsafat Islam komtemporer, baik oleh para sarjana Barat maupun Muslim, dalam monografi mereka berkenaan dengan para filosof Muslim tertentu yang belum begitu dikenal. Misalnya, perihal Abu Sulayman al-Sijistani oleh Joel L. Kraemer dalam The Philosophy in The Renaissance of Islam; perihal Abu al-Hasan al-Amiri oleh Everett K. owson dalam A Muslim Philosoher on the Soul and its Fate: al-Âmiri’s Kitâb al-Amâd ‘alâ al-Abad; atau Subhan Khalifat dalam Rasâ’il Abî al-Hasan al-Âmirî wa Syadzâtatuhu al-Falsafiyah yang membahas seluruh karya al-Âmirî yang ada. Juga perihal biografi dan pandangan Qutb al-Dîn Syîrâzî, seorang ahli kedokteran dan astronomi Muslim abad ke tigabelas Masehi, dikedepankan oleh John Walbridge dalam The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi and the Illuninationist Tradition in Islamic Philosophy; perihal Abû Ya‘qûb al-Sijistanî disajikan dalam karya terjemahannya The Wellsprings of Wisdom oleh Paul E. Walker; dan masih banyak monografi lain yang patut mendapatkan perhatian kita.
Cara lain yang lebih efektif dalam pengembangan lahan-lahan potensial Filsafat Islam adalah dengan menghimpun (mengoleksi) karya-karya filosofis Muslim untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Pengkajian dan penerjemahan ini akan sangat berguna bagi pemahaman dan pengembangan wawasan filosofis Islam, yang selama ini hanya dinikmati melalui karya-karya sekunder, bertujuan menghidari kesalahpahaman akibat ketidakmampuan mengakses secara langsung karya-karya utama (materpiece) para filosof kita. Ratusan karya filosofis, ilmiah, dan mistis masih menunggu upaya-upaya yang serius. Misalnya, dalam bidang filsafat terdapat karya-karya agung seperti Fî al-Falsafah al-Ulâ buah karya al-Kindi, Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadhîlah buah karya al-Farabî, al-Syifâ’ dan al-Isyârât wa al-Tanbîhât buah karya Ibn Sinâ, Hikmat al-Isyrâq dan al-Talwîhât buah karya Suhrawardi, The Nashirean Ethics buah karya Nashîr al-Dîn Thûsî, serta Kitâb al-Asfâr al-Arba’ah dan Hikmat al-‘Arsy buah karya Mullah Shadra, dll. Demikian juga karya-karya ilmiah di pelbagai bidang, seperti Kitâb al-Manâzhir membahas optika buah karya Ibn Haytsam (w. 1039), al-Hawi fi al-Thibb dan al-Thibb al-Rûhanî buah karya Abu Bakr al-Razi, al-Qanûn fî al-Thibb buah karya Ibn Sina dan al-Syamil fî al-Thibb buah karya Ibn Nafis (w. 1288), serta karya-karya di bidang medis. Di bidang astronomi, kita juga punya kitab-kitab agung seperti Zij-I Ilkhânî karya Nashîr al-Dîn Thûsî (w. 1274), dan Durrat al-Tâj li Ghurrat al-Dubaj karya Quthb al-Dîn Syîrazî. Sementara bidang tasawuf, yang tidak bisa dipisahkan dari wacana filsafat, terdapat karya-karya agung yang patut dikaji dan diterjemahkan. Misalnya, Matsnawi dan Diwân-I Syams-I Tabrîz karya seorang penyair sufi terbesar Persia, Jalal al-din Rumi (w. 1273), Fushûsh al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi (w. 1240), Lama’at karya Fakhr al-Dîn ‘Iraqî (w. 1289), dan Munâjâtkarya Khwaja Abdullah Anshari (w. 1089).
Filsafat Islam, yang baru dasarnya saja diperkenalkan oleh almarhum Nasution, patut sekali dikembangkan secara lebih rinci menurut bidang-bidang utamanya: metafisika, epistemologi, etika dan politik. Di bidang metafisika, pengembangan bukan hanya pada masalah ketuhanan dalam pelbagai konsep para filosof Muslim, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Abu Sulaiman al-Sijistani, al-Kirmani, al-’Amiri dll., sebagaimana yang dipaparkan Ian Netton dalam Allah Transcendent: Studies in The Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology. Perihal bukti-bukti filosofis keberadaan-Nya, misalnya dalil al-hudûts yang dikembangkan al-Kindi, dalil al-jawâz oleh Ibn Sina maupun dalil al-inâyah61 oleh Ibn Rusyd. Bahkan bidang-bidang kosmologis, konsep akal (intelek), konsep eskatologis, termasuk alam barzakh dan alam mitsal yang menjadi perhatian utama Henry Corbin dalam Spiritual Body and Celestial Earth juga Fazlur Rahman dalam The Philosohy of Mulla Shadra. Hal penting yang sering dilewatkan dalam kajian metafisika di IAIN adalah kajian yang berkaitan dengan wujud (eksistensialisme), yang telah menjadi topik utama dalam karya-karya monumental para filosof Muslim. Di bidang epistemologi, pengembangan bisa dalam bentuk kajian intensif perihal pandangan epistemologis para filosof dan ilmuwan Muslim yang selama ini jarang sekali disentuh, kendati hal ini dirasa mendesak. Misalnya, pancarian pandangan keilmuan yang harmonis, sebagai alternatif bagi pandangan keilmuan Barat yang dirasakan semakin timpang.
Karya-karya utama para filosof Muslim yang membahas klasifikasi ilmu pengetahuan, seperti Ihshâ’ al-‘Ulûm karya al-Farabi, al-Munqidz min al-Dhalal dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Ghazali, Durrat al-Taj li-Gurrat al-Dubaj karya Quthb al-Din Syirazi (w. 1311), dan al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun (w.1406), merupakan rujukan utama dalam wacana epistemologi Islam. Di dalamnya dibahas lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber serta metode-metodenya. Kita pun patut memperhatikan karya-karay besar di bidang filsafat Islam kontemporer yang membahas pelbagai aspek epistemologi Islam secara panjang lebar dan mendalam, sebagaimana karya Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.
Etika filosofis yang dikembangkan para filosof Muslim pun perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat langkanya kajian filsafat Islam di bidang ini. Hingga kini masih terdapat pandangan yang kabur perihal obyek, tujuan dan pembahasan pokok dalam etika filosofis, lantaran acapkali terjadi kesalahpahaman. Selain itu, kondisi psikologis dan mental masyarakat akhir-akhir ini menunjukan dekadensi yang mencolok. Pelbagai persoalan moral muncul dengan sangat memalukan, karenanya pengkajian di bidang ini dirasakan semakin urgen. Mengingat etika, menurut para pemikir Muslim, tiada lain adalah ilmu pengobatan rohani yang sangat dibutuhkan manusia, di mana saja dan kapan saja, lebih-lebih dalam keadaan yang serba tidak menentu seperti sekarang ini. Sebenarnya, kita amat beruntung telah memperoleh karya-karya agung perihal etika yang isu-isu moralnya cukup menarik untuk diperbincangkan, misalnya perihal kebahagiaan, pembinaan karakter, pelbagai keutamaan dan penyakit moral, serta pelbagai solusi bagi pelbagai masalah yang timbul. Seperti Tahdzîb al-Ahklâq karya Ibn Miskawaih, Nashirian Ethics karya Nashîr al-Dîn Thûsî, al-Akhlâq wa al-Siyâr karya Ibn Hazm, Akhlâq-I Jalâlî karya Jalâl al-Dîn al-Dawwânî, serta karya-karya filosof Muslim kontemporer seperti Falsafe Akhlâq karya Murtadla Muthahhari.
Terakhir, bagian filsafat Islam yang paling diabaikan adalah bidang politik. Kendati perlu diakui bahwa teori politik yang dikembangkan para filosof Muslim tidak begitu berpengaruh dalam praktek politik yang nyata dalam masyarakat, ketimbang, misalnya, konsep politik kaum “jurist”, seperti al-Mawardi, al-Juwayni, al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.
Namun, setidaknya sumbangan para filosof dalam hal ini patut diperhatikan. Para filosof yang merumuskan teori-teori politik adalah mereka yang langsung terjun dalam bidang politik, seperti Ibn Sina yang menjadi perdana menteri bagi ‘Ala’ al-Dawlah, Nashir al-Din al-Thusi sebagai wazir dan kepercayaan Hulagu Khan, Miskawayh sebagai wazir bagi ‘Adlul al-Dawlah, dan Ibn Rusyd yang menjadi wazir bagi Ibn Ya’kub. Karenanya, untuk melengkapi bidang garap filsafat di IAIN, sebagai pusat pemikiran dan filsafat Islam, harus disertai perhatian khusus terhadap bidang yang lagi aktual, yakni politik. Semestinya kita patut bersyukur lantaran telah ada, paling tidak dua, karya yang secara khusus membahas pelbagai topik dan bias politik dari filsafat Islam. Pertama, Political Thought in Medieval Islam karya Erwin Rosenthal. Karya ini membahas teori-teori kekhalifahan menurut al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Jama’ah dan Ibn Taymiyah. Bahkan juga filsafat politik dalam Islam, dengan menampilkan pandangan politik Ibn Sina, Ibn Bajja, Thusi dan al-Dawwani. Kedua, karya yang secara eksklusif menyuguhkan pandangan politik para filosof, yakni The Political Aspect of Islamic Philosophy. Di dalamnya dikemukakan berbagai konsep politik ––banyak di antaranya untuk pertama kali–– berasal dari hampir semua filosof besar Muslim, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah. Ibn Thufayl, Ibn Rusyd, Suhrawardi, dan Quthb al-Din Syirazi. Karya yang dengan apik diedit oleh Charles E. Butterworth ini memuat sumbangan para penulis filsafat Islam yang terkenal, seperti ia sendiri, Paul E. Walker, Miriam Galston, Stephen Harvey, Hossein Ziai dan John Walbridge. Semua karya ini sangat mendesak untuk diteliti dan dikembangkan oleh civitas akademika IAIN.
Ada beberapa hal lagi yang juga patut menjadi perhatian kita dan bisa menjadi lahan subur bagi pengembangan bidang filsafat Islam, seperti literatur hikmah, kebangkitan metafisika di Barat, dan perkembangan filsafat Islam kontemporer. Literatur hikmah merupakan bidang yang barangkali belum disentuh secara serius, padahal khazanah Islam sangat kaya dengan karya-karya hikmah yang agung. Literatur hikmah yang saya maksud adalah kumpulan karya para filosof Muslim maupun non-Muslim, berisi nasehat moral, religius, politik, juga anekdot-anekdot yang sarat dengan kandungan moral. Diantaranya, Nawâdir al-Falâsifah karya Hunain b. Ishaq, al-Hikmah al-Khalîdah karya Ibn Miskawayh, al-Kalâm al-Rûhâniyyah karya Ibn Hindu, Shiwan al-Hikmah karya Abu Sulayman al-Sijistani, dan Mukhtâr al-Hikam wa Mahâsin al-Hikam, karya Mubasysyir b. Fatik.
Selain literatur hikmah, perkembangan metafisika dalam bentuk filsafat perenial di bawah pimpinan Rene Guenon, juga merupakan lahan yang kaya, sangat berguna dan menarik untuk dikaji secara intensif. Rene Gueson dan murid-muridnya seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Titus Burckhardt, dll., merupakan generasi baru intelektual Barat yang tersadarkan dari kematian spiritualitas dunia Barat. Lalu, berupaya merumuskan metafisika yang sangat kreatif sebagai pandangan alternatif bagi filsafat materialistik Barat. Yang terpenting adalah bahwa mereka telah mengambil tradisi-tradisi besar Timur termasuk Islam (dalam bentuk sufismenya) sebagai sumber inspirasi mereka, dan lebih penting lagi fakta bahwa banyak di antara mereka yang menjadi Muslim. Karena itu, kita punya kepentingan yang besar terhadap karya-karya mereka, bila memiliki rasa ingin tahu bagaimana kontak yang terjadi pada tataran metafisika antara Barat dan Timur. Mereka telah banyak menyumbangkan karya-karya kreatif, seperti What is Sufism? karya Martin Lings, An Introduction to Sufi Doctrines dan The Mirror of Intellect karya Titus Burckhardt, The Reign of Quantity karya Guenon, dan beberapa karya cemerlang dari Frithjof Schuon seperti The Transcendent Unity of Religions, Sufism, Sufism: Veil and Quintessence, Light on the Ancient Worlds, dll.
Lahan lain yang mesti dikembangkan adalah perkembangan filsafat Islam kontemporer dan modern, atau yang lebih dikenal sebagai filsafat pasca-Ibn Rusd. Banyak sekali filosof Muslim yang telah menyumbangkan karya-karya orisinil mereka di bidang filsafat pasca-Ibn Rusyd, namun sayang perhatian kita masih sangat minim. Seperti Suhrawardi, Quthb al-Din Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Syam al-Din Lahiji, Mulla Shadra, ‘Abd al-Razzaq Lahiji, Muhsin Faydl Kasyani, dll. adalah para tokoh baru yang namanya terdengar samar-samar. Beberapa tokoh yang hidup pada abad kedua puluh seperti Astiyani, Tabataba’i, Murtadla Muthahhari, dan tentu saja Mehdi Ha’iri Yazdi, adalah para tokoh yang mesti dikaji secara intensif dan serius. Karena, dalam karya mereka tercermin bagaimana reaksi para fiolsof Muslim terhadap perkembangan filsafat Barat. Ini mesti digagas, bila IAIN ingin menjadi Pusat pemikiran dan Filsafat Islam. Sebenarnya telah tersedia dua karya penting Henry Cobin, pertama, History of Islamic Philosophy yang membahas sejarah filsafat Islam, sejak munculnya hingga banyak filosof pasca-Ibn Rusyd; kedua, Spiritual Body and Celestial Earth, yang melacak secara khusus pemikiran para filosof dan Sufi pasca-Ibn Rusyd, khususnya konsep mereka tentang alam mitsal. Suatu bidang kajian yang belum tersentuh dalam kurikulum kita.
Penutup
Demikianlah yang dapat saya sajikan berkenaan dengan upaya membangun kerangka keilmuan di IAIN dalam memasuki milenium ketiga, khususnya dari perspektif filosofis. Tentu saja, semua ini akan sangat efektif bila diimplementasikan bukan saja dalam lembaga-lembaga kajian, bahkan dalam kurikulum filsafat di IAIN, baik tingkat S1 maupun S2. Jadi, kalau kita lihat dari apa yang telah disajikan, nampak khazanah filsafat Islam sangat kaya, dalam dan menarik. Tiada lain harapan saya, semoga apa yang saya sampaikan dalam makalah ini akan menjadi masukan yang esensial teruatama dalam menyusun kurikulum filsafat islam, yang saat ini masih terlalu sederhana dan perlu terus dikembangkan. Terutama memasuki era baru milenium ketiga yang penuh tantangan, sekaligus kesempatan yang tidak boleh begitu saja kita lewatkan. Semoga bermanfaat.
0 Opni Bebas:
Posting Komentar