Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

ISLAM BACKING FEMINISME



Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini.
Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.
Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu?
Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tak akan kita lepaskan dari kehadiran Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya.
Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah.
Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.
Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.
Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya.
Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.
Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka frame menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai way of live atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna. 
Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan "male dominated" sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari frame ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran.
Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena nonsens bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam.
Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama.
Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya. 
Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini.


0 Opni Bebas:

Posting Komentar