Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

GENDER DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA



Secara substansial, setiap agama mengemban misi pembebas. Semangat pembebas tersebut salah satunya tercermin dalam teks kitab suci dan teraktualisasi dalam kehidupan nyata oleh para pemeluknya. Namun demikian, sering kali terjadi kesenjangan yang luar biasa antara teks dalam kitab suci dengan teks penafsiran atas kitab suci.Umat beragama menempatkan penafsiran kitab suci setara pula dengan kitab suci itu sendiri, sama-sama sebuah kebenaran mutlak. Sikap seperti inilah sebetulnya yang kemudian melahirkan hegemoni, stagnasi, kejumudan, dan kebekuan, sekaligus bagi yang lain sebagai tantangan yang harus dilawan.
Dalam al-Qur`an (baca: Islam), persoalan gender, merupakan contoh nyata betapa antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi, sering terjadi benturan-benturan dan ketegangan. Hingga saat ini, keadilan gender, kesetaraan laki-laki dan perempuan, di masyarakat muslim masih beragam. Keberagaman ini penting untuk dikritisi, karena sama-sama mengklaim dirinya berpegang pada kitab suci al-Qur`an.
Islam sebagai sebuah agama – dalam intelectual discourse – dapat didekati dari tiga persepektif, yaitu: Islam Normative, Islam Interpretatif dan Islam Practice. Islam Normative adalah Islam yang didiskripsikan dalam teks al-Qur`an dan Al-Sunnah. Islam Interpretatif adalah gambaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh ulama melalui interpretasi mereka terhadap al-qur`an dan al-Sunnah. Sementara Islam Practice adalah gambaran Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh Ummat Islam. Harus diakui, bahwa Islam dalam pemahaman masyarakat yang terartikulasi dalam praktek keseharian sering kali berbeda bahkan bertolak belakang dengan Islam dalam wujud normative. Banyak hal mempengaruhi terjadinya perbedaan antara Islam Practice dengan Islam Normative, yang antara lain adalah disebabkan oleh konstruksi budaya yang terwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Kaum egalitis percaya pada kekuatan budaya dalam membentuk sifat manusia. Sehingga kesetaraan gender 50/50 yang memakai standar ukuran maskulin (materi, status dan power) hanya dapat dicapai dengan mengubah institusi budaya ‘nature” perempuan. Sifat yang selama ini dikaitan dengan figur perempuan memang tidak cocok untuk meraih 50/50, karena sifat ini bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan untuk meraih keberhasilan berdasarkan standar maskulin. Keberhasilan standar maskulin membutuhkan sifat-sifat independen, otonom, ambisi, agresif, mampu mengontrol keadaan, dan berorientasi linear progresif (perjalanan hidup sesperti garis lurus, tidak kembali ke titik asal). Sedangkan sifat-sifat feminin, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah segala sifat kebalikannya, keterikatan, dependen, berkorban, pengasuh, tidak mampu mengontrol keadaan, dan orientasinya sirkular (perjalanan hidup melingkar, yaitu kembali ke asal semula). 
Berangkat dari pandangan bahwa pemahaman agama amat dipengaruhi oleh konstruksi budaya di mana masyarakat tersebut hidup, maka salah satu aspek krusial di Aceh mendapatkan imbas langsung dari warisan budaya tentang perbedaan antara Islam Normative dengan Islam Practice adalah berkaitan dengan "dunia kaum perempuan". Di Aceh, banyak ditemukan cerita-cerita tentang peran dan posisi perempuan, baik dalam konteks sebagai isteri, ibu rumah tangga, maupun peran sosial yang boleh dan tidak boleh mereka terlibat aktif di dalamnya. Selain dalam bentuk cerita rakyat, tuntunan bermuatan nasehat dan suri tauladan untuk anak perempuan dan remaja juga menjadi bahagian keseharian kehidupan mayarakat. Sayangnya, pandangan tersebut diterima oleh masyarakat sebagai "sebuah keyakinan agama" tanpa melalui proses penyeleksian, tanpa mempertanyakan kebenaran, dengan kata lain, diterima sebagai sesuatu yang benar dan difahami sebagai anjuran dan bimbingan agama Islam.
Ironisnya, masyarakat pada umumnya banyak yang menganggap budaya sebagai agama, sehingga praktek adat istiadat dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi budaya patriarkhi yang sangat mengakar dalam masyarakat Islam di semua sektor kehidupan, yaitu politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan moral.
Dalam bidang ekonomi, pada masyarkat dengan budaya patriarkhis, perempuan adalah subordinat dari laki. Laki-lakilah yang menguasai semua anggota keluarga, menguasai sumber-sumber ekonomi. Perempuan dalam sistem ini tidak mempunyai akses ekonomi, sehingga tidak dapat mandiri secara ekonomi dan pada gilirannya sangat tergantung secara psikologis pada suami. Di kalangan masyarakat patriarkhis, budaya yang menempatkan posisi perempuan sebagai pengikut laki-laki begitu kuatnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk subordinatif, perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin masyarakat. Tradisi ini masih dianut bahkan setelah datangnya Islam, karena mereka tidak begitu saja lepas dari struktur budaya yang patriarkhis. Hal ini menyebabkan termarginalkannya peran politik perempuan. Misalnya dalam budaya Jawa (etnik yang mayoritas menyebar di kepulauan Indonesia), perempuan dinggap tidak patut tampil memimpin, karena mereka menganggap tidak mungkin ada perempuan yang hatinya lurus dalam hal kepandaian dan kekuatan. Perempuan hanyalah seperdelapan dinding laki-laki.
Selama ini, pencitraan laki-laki dalam Islam sebagai sosok pemimpin atau kepala keluarga di kalangan masyarakat Indonesia masih terbius dengan acuan akar budaya paternalis-maskulinitas yang diisi dengan muatan-muatan hierarkis dalam nuansa hubungan laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan yang dipimpin, pendominasi dan yang didominasi, pelindung dan yang dilindungi serta serentetan hierarkis lainnya yang menempatkan perempuan dalam posisi ketidak-setaraan. Bahkan pencitraan ini didukung oleh ayat-ayat al-Qur`an yang diinterpretasikan sedemikian rupa dan diyakini sebagai legitimasi teologis oleh masyarakat muslim Indonesia.
Sebagai pemimpin, maka tugas-tugas laki-laki ada di publik. Sehingga masyarakat muslim mengkondisikan bahwa dunia domestik diperuntukkan bagi kaum perempuan. Lalu, berkembang anggapan bahwa tugas perempuan hanyalah mengurus rumah tangga dan bekerja di luar rumah. Anggapan tersebut berimplikasi kurangnya dorongan bagi keluarga untuk membekali pendidikan anak gadisnya, dengan alasan bahwa perempuan bagaimanapun tinggi pendidikannya pasti akan kembali kedapur. Kemudian asumsi ini dikukuhkan oleh masyarakat. Dan alasan ini pun dijadikan legitimasi bagi masyarakat muslim menengah ke bawah yang merasa kesulitan dalam bidang ekoonomi untuk memprioritaskan anak laki-laki mereka dalam pendidikan. 

Identifikasi Agenda Masalah Agama Yang Strategis
Dengan menekuni persoalan-persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian. Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal, pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan, seperti ayat Tuhan dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi: Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling takwa. Masih banyak lagi ayat al-Quran yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidak sobordinasi terhadap kaum laki-laki, seperti surat al-Taubah ayat 71; al-Nisa` ayat 123; surat Ali Imran ayat 195 dan surat al-Nahl ayat 97. 
Kedua, pemahaman yang bias gender selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap separoh dari kaum laki-laki. Untuk membahas ini perlu dilakukan analisis konteks sosial terhadap struktur sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan, sehingga pemahaman masalah waris dan kesaksian tidak bertentangan dengan prinsip keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat di atas. Umumnya mereka yang menekuni masalah keadilan gender tidak melihat angka pembagiannya, melainkan semangat keadilannya. Sehingga demi mencapai keadilan, merubah angka yang sesuai dengan sistem dan struktur sosial dewasa ini pun perlu dilakukan.
Ketiga, segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi maupun reproduksi, yakni untuk mengontrol organ reproduksi mereka. Oleh karena itu, usaha untuk menafsirkan kembali agar terjadi keadilan gender dalam hak-hak reproduksi perlu mendapat perhatian. Di antara agenda mengenai penafsiran hak-hak reproduksi ini meliputi: Hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau menolak penggunaan organ reproduksinya. Mulai dari menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Hak untuk memilih pasangan. Dalam kenyataan masih banyak beredar keyakinan di masyarakat Islam bahwa orang tua (dalam hal ini ayah) memiliki hak menentukan jodoh (ijbarI) bagi anak gadisnya. Kajian tentang hak-hak perempuan untuk menentukan nasib jodohnya ini juga perlu diagendakan. Hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual. Dalam pandangan Islam yang bias gender, kaum perempuan secara seksual dimiliki dan dikontrol oleh kaum laki-laki dan tugas utama isteri adalah melayani. Meskipun tidak jelas dari mana pandangan ini datangnya, namun hubungan seksual bagi kaum perempuan lebih dikonstruksikan sebagai kewajiban belaka. Oleh karena itu perlu dilakukan dekonstruksi terhadap tafsir dan ajaran fikih yang menolak segenap jenis ketidakadilan gender dalam bentuk pelecehan seksual (sexual harassment), pemerkosaan terhadap isteri (marital rape) yang masih menjadi masalah kontroversial tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tafsiran agama mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya, yaitu dalam usaha menegakkan keadilan gender. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian ulang terhadap keseluruhan tafsir agama dan implikasinya terhadap ajaran dan prilaku keagamaan. Kajian tersebut menyangkut identitas akar permasalahan dan strategi pemecahannya.
Suatu strategi advokasi bisa dipinjam untuk melakukan proses penyadaran dan penafsiran ulang dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: apabila persoalannya terletak dalam pengertian ayat al-Quran atau bunyi hadis, maka yang perlu dilakukan adalah penafsiran ulang terhadap ayat tersebut dengan perspektif gender, penelitian terhadap autensitas hadis tersebut, untuk menemukan hadis yang lebih sahih. Ini berarti memerlukan usaha yang melibatkan antara ulama dengan berbagai orang dan dengan bermacam-macam disiplin ilmu yang mempunyai perspektif gender.
Namun, jika persoalannya terletak pada penafsirnya, yakni dalam pemahaman para ulama yang memiliki otoritas penafsiran, maka perlu diadakan pendekatan dan pendidikan atau lokakarya guna membahas analisis gender bagi kalangan otoritas ilmu keagamaan tersebut. Kegiatan ini berarti melibatkan mereka yang dianggap memiliki otoritas ilmu keagamaan dalam memahami dan mendesiminasikan wacana keadilan gender dalam Islam. Akan tetapi jika persolannya terletak pada kultur masyarakat agama yang melanggengkan ketidakadilan gender, yang diperlukan adalah suatu usaha kampanye dan pendidikan massa tentang masalah gender yang dilakukan oleh semua pihak yang peduli terhdap masalah keadilan, termasuk melibatkan para ulama.
Untuk itu, sudah saatnya lembaga keagamaan dan pendidikan serta lembaga kajian keagamaan memiliki bagian “pengkajian perempuan” sebagai wadah yang memberi ruang untuk mengkaji persoalan kedudukan perempuan dalam agama. Dalam masyarakat Islam misalnya, perlunya kajian perempuan di pesantren maupun dilembaga pendidikan tinggi Islam. Melalui lembaga kajian seperti ini kemungkinan lahirnya tafsir maupun fikih perempuan yang berperspektifk keadilan gender terbuka lebar.

Bagi sebagian besar orang di Indonesia ini, saya yakin mereka akan menjawab Yes, dengan lantang. Siapakah mereka itu? Mereka adalah kaum tetua yang sebagian besar perempuan—terbukti data menyebutkan lebih banyak janda tua dan hanya seberapa persen duda tua, orang tua kita masing-masing and of course KITA, generasi yang masih mau dibilang beradab, walaupun banyak juga yang udah gila dan sinting mau negrusak badan mereka dengan miras dan naza (they really nuts!!!!!!!!!).
Lalu, kenapa saya masih mempertanyakan apakah virginitas itu penting, padahal saya tau sekeliling saya dan mungkin sekeliling anda-anda, masih sangat menganggap virginitas itu penting. Jawabannya akan kita temukan dibawah ini.
Selama ini kita gak pernah sadar bahwa kita telah hidup di zaman yang biadab, dan selama berabad-abad lamanya, kita yang pastinya kaum perempuan tanpa sadar selalu hidup di bawah bayang-bayang para laki-laki. Tahukah kalian bahwa R.A Kartini pun yang bapaknya itu seorang Bupati dan dekat dengan Belanda masih harus mengalami pingitan. Perempuan Jawa saat itu dianggap warga kelas dua, bahkan tiga atau empat mungkin, karena menurut saya, manusia yang dilahirkan tetapi tidak mendapatkan haknya sebagai manusia penuh untuk mendapatkan akses dan fasilitas apapun sama saja ia seperti binatang, bahkan dibawah binatang karena binatang saja masih bisa hidup bebas semau mereka. Lalu, apakah selang emansipasi wanita yang ditelurkan Kartini, lantas telah membuat wanita Indonesia punya bargaining position terhadap pria? Oh, sangat jauh dari itu. Masih banyak perempuan, baik dari kalangan atas sampai bawah tereksklusi secara sosial. Akibat apakah ini semua? Akibat Budaya, bernama PATRIARKI. 
Kontruksi sosial telah hadir sejak kita lahir, konstruksi sosial yaitu budaya patriarki tersebut difasilitasi oleh sosialisasi peran gender dalam setiap keluarga. Sosialisasi ini memang telah membedakan peran laki-laki dan perempuan, dan mirisnya peran perempuan selalu inferior dan subordinat, dibawah kekuasaan para laki-laki. Maka gak heran kan, kalo banyak orang, bahkan kaum perempuan itu sendiri, mengakui bahwa mereka lebih lemah daripada laki-laki, dan untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, masih menganggap wajar jika pacarnya atau suaminya mendominasi hubungan mereka, mereka menganggap hal itu adalah sebuah wujud bakti, tunduk dan patuh mereka sebagai seorang perempuan dan mereka terima karena memang sudah kodrat perempuan seperti itu. Padahal relasi sosial yang tidak seimbang tersebut, telah membawa perempuan pada keterpurukan dengan potensi pelecehan seksual. 
Guys, coba deh lo pikir lagi, perempuan itu sama dengan laki-laki dalam ranah sosial, kita adalah manusia seperti laki-laki. Kita diciptakan dengan daging dan darah yang sama oleh Tuhan kita. Mitos bahwa salah satu tulang rusuk Adam diambil untuk menciptakan Hawa sangat jauh dari kebenaran. Yang ada dalam Al-Qur’an itu adalah Tuhan menciptakan manusia dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya (penggalan QS. An-Nisa: 1). Maksudnya dari diri yang satu disini adalah bukanlah Adam, tapi Adam dan Hawa diciptakan Allah dari diri yang satu yaitu dari jenis yang sama—perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dari jenis yang sama yaitu manusia, bukan binatang, maupun tumbuhan (dikutip dari Fauzi Ahmad Muda. “Perempuan Hitam Putih”). 
Lalu apakah manusia pernah tahu apakah Tuhan menciptakan Adam baru setelah itu Hawa yang katanya untuk menemani Adam, ataukah Adam dan hawa diciptakan secara bersama-sama?—kalo memang Adam dan Hawa diciptakan secara bersama-sama bukankah seharusnya kita punya bargaining position yang lebih baik dari sekarang. Atau bisa juga kan sebelum Adam itu hadir dimuka bumi, udah ada makhluk yang berjenis manusia hadir duluan, cuma mungkin komposisi otaknya gak secerdas Adam dan Hawa. Jadi wanita tetep punya bargaining position terhadap pria dong. 
Banyak juga yang mempersalahkan bahwa Hawa lah penyebab Adam dan Hawa terusir dari Surga kemudian turun ke Bumi. Picik banget ya orang berpikir seperti itu. Karena menurut saya itu mungkin aja bagian ketetapan Allah, karena dalam QS. Al-Baqarah: 30, Allah berfirman bahwa Ia hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Nah, kalo Adam gak turun ke Bumi maka Allah gak mungkin juga kan menurunkan surat itu kepada manusia. 
Trus lo tau gak, kalo Al-Qur’an itu sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender lho! Salah satu contohnya dalam penggalan QS. Al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan……” Entah itu siapa seorang laki-laki dan seorang perempuannya tapi dari sana kita bisa lihat kan kalo Allah menyetarakan laki-laki dan perempuan, kalo secara logika sih tanpa ada perempuan seorang keturunan gak akan lahir, dan begitu sebaliknya tanpa ada laki-laki seorang keturunan juga gak akan lahir. Jadi, gak bener kan kalo seorang istri lebih harus patuh kepada suaminya, suami juga harus patuh dong sama istri. Intinya bisa saling menjaga, menghormati, dan menghargai perasaan masing-masing. Hal ini pun dipertegas juga dalam QS. An-Nisa: 19, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 
Pola-pola pemikiran yang mendiskreditkan perempuan nyatanya terus hadir di masyarakat, seperti misalnya, banyak istri yang diselingkuhin oleh suami-suami mereka terkesan disalahkan padahal mereka adalah korban. Masih banyak yang berkata seperti ini, “Ya, memang si suami yang salah, tapi, istrinya juga sih yang gak bisa jaga suami, gak pinter dandan, gak pinter ngelonin suami, gak bagus mainnya di tempat tidur, gak ini, gak itu, yang menunjukkan bahwa seorang istri harus perfect, harus bisa kerja plus ngurus anak, beresin rumah, ngurus suami yang banyak maunya, kalo hal tersebut gak dilakukan, maka serentet hal tidak menguntungkan harus diterima istri. Trus gimana dengan suami? Mereka gak harus apa-apa toh, mereka cuma harus kerja, tapi kalo penghasilannya ga mencukupi, apa istri bisa marah, apa trus kalo istrinya jadi selingkuh karena suami gak bisa ngasih nafkah, suaminya jadi digunjingin, bukannya malah istri yang dibilang, dasar istri gak tau diri, bukannya nolongin suami saat kesusahan, tapi malah cari cowok lain. Kenapa dunia ini begitu tidak adil terhadap perempuan? Kenapa perempuan selalu disalahkan dalam kondisi dan situasi apapun? Kenapa perempuan gak pernah punya pilihan dalam hidupnya? Kenapa mereka harus banyak mempertimbangkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatinya? dan mengapa dengan keadaan yang sebegitu tidak adilnya, perempuan masih tidak sadar bahwa mereka telah banyak didominasi pria, perempuan-perempuan itu masih rela berlindung diketiak suami yang notabene telah banyak menyakiti hatinya. 
Dari serentet penjelasan tersebut, pasti anda bertanya, trus apa hubungannya dengan virginitas? Jelas sekali ada hubungannya, karena akibat kontruksi sosial tersebut, banyak dari perempuan yang di dominasi laki-laki, akhirnya harus menanggung segala bentuk kekerasaan karena ketidakpuasan mereka terhadap kita sebagai perempuan. Hal itu menjadi bentuk kejahatan yang berganda, ketika laki-laki melakukannya dalam kegiatan seksual—pemenuhan hasrat seksual mereka. Ketidakpuasan dalam tindakan seksual itu bisa berarti sebuah perkosaan. 
Ternyata, perkosaan tidak hanya terjadi antara wanita dengan orang-orang yang tidak mereka kenal (eksploitation rape), perkosaan pun juga kerap kali dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita dan sangat kita sayangin. Bagi para perempuan yang pernah merasa dipaksa berhubungan seksual oleh pacar mereka, mereka telah masuk dalam perkosaan jenis dating rape, (bayangkan teman, bahkan kalian gak tau kan kalo ternyata pemaksaan seksual yang dilakukan oleh pacar-pacar kita itu masuk dalam jenis perkosaan). Untuk para istri yang juga telah dipaksa suami untuk melakukan berbagai macam gaya dalam kegiatan seksual yang sebenarnya membuat istri tidak berdaya dan diperlakukan seperti binatang, pernah kan kita denger, gaya doggy style atau apapun, apakah semua istri menyukai hal tersebut, atau cuma supaya suami seneng, supaya suami mendapatkan kepuasan seksual, dan tidak sebaliknya. Maka para istri tersebut telah masuk dalam jenis marital rape. 
Bisa kalian bayangkan kan gimana susahnya jadi seorang perempuan di dalam budaya patriarki ini. Kita sering menganggap apa yang dilakukan oleh pacar atau suami adalah hal yang wajar, padahal kita tahu bahwa mereka telah sangat menyakiti diri kita. Ketika ternyata pacar kita telah berhasil merenggut keperawanan kita, apakah itu totally our faults karena begitu bodoh percaya dengan lelaki bejat. Apakah kita harus terus disalahkan, padahal kita adalah korban dari pacar atau suami kita? Kenapa bukan laki-lakinya sih yang memang disalahkan secara penuh bahwa mereka yang tidak bisa menjaga hawa nafsu, dan dengan kekuasaan yang ada di diri mereka dan dilegalkan oleh konstruksi sosial yang ada, mereka bisa dengan gampang kan melakukan tindakan itu terhadap pacar maupun istri mereka. Masih mau, nganggep perempuan itu yang bodoh, gak bisa jaga virginitasnya? 
Setiap orang tua selalu berkata, “nak, ati-ati jaga diri, perempuan itu ada bekasnya, tapi laki-laki bisa seenaknya nojos sana-nojos sini tanpa ada bekasnya”. Enak banget ya jadi laki-laki, bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus berpikir panjang tentang kehidupan si perempuan kedepannya. Sedangkan perempuan harus terus berpikir dalam semua tindakannya dan dengan susah payah menjaga virginitasnya tetapi lenyap begitu saja oleh sang pacar yang bejat. Apakah itu bukan sebuah kejahatan bagi perempuan?
Maka dari itu, untuk laki-laki yang masih menganggap virginitas penting dan gak mau menikah dengan perempuan yang gak virgin, coba mikir ulang deh. Kasihan kan perempuan itu, penderitaan mereka udah banyak banget. Masih mau seneng-seneng diatas penderitaan berjuta-juta perempuan yang kehilangan virginitas akibat kekerasan seksual? Masih mau minta wanita yang perfect dan dapat memenuhi semua kemauan kalian sebagai laki-laki? 
Hal yang saya ingin tekankan disini adalah, selama kita masih hidup di budaya patriarki yang susah pudar, maka wanita akan tetap menjadi nomor dua dan terus dilecehakan, mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan ketidakpuasaan seksual laki-laki, hingga harus kehilangan keperawanannya. Bagaimanapun juga, virginitas itu penting untuk dijaga oleh wanita, tapi mohon jangan sepenuhnya menyalahkan wanita kalo ia telah kehilangan keperawanannya. Karena sebagian besar dari mereka adalah korban pelecehan seksual dalam masa pacaran (dating rape). 


0 Opni Bebas:

Posting Komentar