Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

PENDIDIKAN UNTUK HUMANISASI DAN HOMINISASI



Bagi ahli filsafat manusia Dr J Sudarminta (48), maksud dan tujuan pendidikan pada hakikatnya memiliki dua tujuan dasar. Kedua hal itu, katanya mengutip gagasan filosof Prof Dr N Driyarkara SJ (1913-1967), adalah proses membentuk sosok profil manusia dengan mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang sehat, normal, dan wajar kelakuannya. Tegasnya, praktik penyelenggaraan pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses humanisasi dan hominisasi. 
Dari arti katanya saja sudah jelas. Humanisasi berarti proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga punya mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu punya kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan tentu saja berbudaya. 
Menjadi manusia yang manusia dengan sendirinya mengandaikan orang itu juga berbudaya dan beradab (civilized). Nah, pendidikan yang bagaimana yang bisa membentuk orang menjadi berbudaya dan beradab. Jawabannya mengandaikan dua proses, yakni inkulturasi dan akulturasi. Yang pertama lebih mengacu pada proses internalisasi semua nilai-nilai tradisi serta upaya keras mengenal budaya sendiri, sehingga akhirnya orang bisa berakar kuat pada kebudayaannya sendiri. Yang kedua lebih mengacu kepada aspek keterbukaan, toleransi atas masuknya pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing. 
Pada konteks yang kedua inilah, penguasaan bahasa asing menjadi mutlak agar kita bisa berdialog dengan masyarakat dan budaya asing. 
Keduanya saling mengandaikan. Rasanya tak mungkin kita bisa dengan mudah menerima pengaruh budaya asing dan menjadi toleran terhadapnya kalau kita tidak punya pijakan kuat terhadap budaya sendiri. Di era global seperti sekarang ini sudah tak memungkinkan lagi bagi kita semua untuk hidup sendiri, terpisah dari pergaulan global. 
Saya pikir ada baiknya kita mengedepankan lima visi dasar pendidikan manusia abad ke-21 sebagaimana pernah diajukan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific, and Cultural Organization). Pertama, learning how to think (belajar bagaimana berpikir) yang memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasionalitas, keberanian bersikap kritis, mandiri, hobi membaca; kedua, learning how to do (belajar hidup) yang memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; ketiga, learning to be (belajar menjadi diri sendiri) yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bisa tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan sekadar memiliki having (materi). 
"Being" dan "having", dua kategori filosofis yang mengacu pada cara berada manusia? Dua hal itu sebaiknya kita bedakan, karena sekarang ini orang modern dengan mudah bisa menyamakan keduanya seperti biasa kita lihat dalam slogan-slogan you are what you have! (pribadi Anda ditentukan menurut apa yang Anda miliki). Di sini having punya variasi begitu banyak seperti you are what you wear/ drive/eat..., dan seterusnya. 
Aspek keempat sesuai visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO adalah learning how to learn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imaginatif - hal-hal yang barangkali malah tidak kita peroleh dari bangku sekolah. 
Sedangkan aspek kelima adalah learning how to live together (belajar hidup bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik dan budaya lain. Di sinilah pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi perlu diperhatikan. 
Justru di situlah masalah krusialnya. Kalau hanya tinggal rumusan bagus-bagus, ya, tak ada gunanya. Yang penting sekarang adalah bagaimana mengoperasionalkan gagasan-gagasan itu sedini mungkin, setidaknya di tingkat pendidikan dasar.


0 Opni Bebas:

Posting Komentar