Nasy-atul Muta'allimin

Welcome

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar (Umar ibn Khatthab).

Logika Analogi



Analogi dalam bahasa Indonesia ialah “kias” (arab:qasa:mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan orang mencari kesamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Kalau lembu dibandingkan dengan kerbau, maka kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang lain mengenai besarnya, warnanya, dan sebagainya. Kalau dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat perbedaannya maka timbullah analogi, persamaan dua hal yang berbeda.
Analogi disamping fungsi utamanya sebagai cara berargumentasi, sering benar dipakai dalam bentuk non argument yaitu penjelas atau dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan bisaanay disebut perumpamaan atau persamaan. 
Mundiri mengatakan analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari suatu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi pada fenomena yang lain 
Menurut poespopprodjo analogi adalah suatu perbandingan yang dipakai untuk mencoba membuat suatu idea dapat di percaya atau guna membuat suatu konsep yang sulit menjadi jelas 
Begitu pula menurut poedjawijatna analogi menunjuk sesuatu yang sama tetapi dalam kesamaan itu ada perbedaan pula 
Dari defenisi-definisi di atas sudah jelas bahwa yang di maksud dengan analogi adalah suatu proses penalaran dengan menggunakan perbandingan dua hal yang berbeda dengan cara melihat persamaan dari dua hal yang di perbandingkan tersebut sehingga dapat digunakan untuk memperjelas suatu konsep.
Analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi pada fenomena yang lain; Demikian pengertian analogi jika kita hendak memformulasikan dalam suatu batasan. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur yaitu: peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan principal yang menjadi pengikat dan ketiga fenomena yang hendak kita analogikan. 
A. Analogi Palsu
Penggunaan analogi dengan baik dan benar akan sangat berguna. Ilmu berkembang berkat pemakaian analogi secara baik dan benar.
Namun demikian, banyak pula orang memakai analogi palsu dalam penalaran atau argumentasinya. Analogi palsu adalah suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat suatu idea atau gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan idea atau gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan idea atau gagasan yang pertama tadi. Misalnya apabila seorang menyamakan kepala Negara dengan kepala manusia dipotong maka akan matilah manusia tersebut begitu pula apabila kepala Negara di bunuh, maka Negara itu akan hancur. Jelas contoh tersebut suatu analogi palsu. Perhatikan beberapa analogi palsu berikut ini:
1. Membuat istri bahagia adalah seperti membuat anjing kesayangan bahagia. Belai kepalanya sesering mungkin, dan beri makanan yang baik sebanyak mungkin
2. Hidup ini laksana orang mampir ke warung; begitu kebutuhannya tercukupi, ia pergi meninggalkannya.
3. Masuk universitas adalah seperti menerima pekerjaan. Tugasmu adalah membuat senang si pemberi pekerjaan
4. ABRI laksana tiang bendera. Apapun juga bendera yang dikibarkan, ABRI harus tunduk, tidak melawan
5. Sudin berumur 13 tahun, petang hari boleh ikut pergi nonton bioskop; sedangkan Ika, umur 8 tahu, harus tinggal di rumah. “jika kak Sudin boleh ikut, kenapa saya tidak boleh?” rengek si Ika. 

 
B. Macam-macam analogi
Disini analogi dibagi menjadi dua macam yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif.
1. Analogi Induktif
Analogi Induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan principal (mendasar) yang ada pada kedua fenomena, kemudian dicari kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Bentuk argument ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran yang mutlak. 
Contohnya: Tina adalah seorang tamatan fakultas ekonomi oxford university, ia telah memberikan prestasi yang luar bisaa pada perusahaan tempat ia bekerja dengan cara mengajukan usulan mengenai pemecahan kesulitan yang di hadapi perusahaannya. Pada waktu penerimaan pegawai baru, directur perusahaan langsung menerima rina karena rina tamatan yang sama dengan tina, maka pasti ia akan memiliki kecerdasan dan kualitas yang lebih atau sekurang-kurangnya sama dengan tina.
Pada dasarnya analogi induktif adalah suatu cara menyimpulkan yang menolong kita memanfaatkan pengalaman, kita berangkat dari suatu barang yang khusus, yang kita ketahui, menuju barang yang serupa dalam hal pokok. Tetapi juga terdapat kekeliruan besar, yakni dalam memperbandingkan bisa jadi tidak memperhatikan adanya beberapa perbedaan yang penting, sehingga dalam praktek hasilnya berbeda dengan hasil yang dicapai melalui proses pemikiran tersebut.
Guna menguji sah tidaknya persamaan dan kesimpulan semacam itu, pertama-tama harus kita singkirkan hal-hal sekadar bersifat menjelaskan dan memilih hal-hal yang memang merupakan dasar pemikiran. Bilamana yang terdapat hanya persamaan yang dangkal atau sekedar persamaan kebetulan yang terdapat di antara keduanya, dan apabila perbandingan mereka sekedar untuk maksud menjelaskan maka kita tidak dapat membuat suatu kesimpulan 
2. Analogi Deklaratif
Analogi Deklaratif disebut juga analogi penjelas yang merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.
Contoh: ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu tetapi tidak semua kumpulan pengetahuan itu ilmu, sebagaimana tidak semua tumpukan batu itu adalah rumah.
C. Cara menilai analogi
Sebagaimana generalisasi keterpercayaannya tergantung kepada terpenuhi tidaknya alat-alat ukur yang kita ketahui , maka demikian pula analogi untuk mengukur derajat keterpercayaannya sebuah analogi dapat diketahui dengan alat sebagai berikut  
1. Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar pula taraf keterpercayaannya. Apabila saya mengirim baju kepada tukang penatu dan ternyata hasilnya tidak memuaskan maka atas dasar analogi saya bisa menyarankan kepada teman saya untuk tidak mengirim pakaian ketukang penatu tadi. Analogi ini menjadi lebih kuat lagi setelah ternyata C,D,E,F dan G juga mengalami hal yang serupa
2. Sedikit banyak aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Contohnya: tentang sepatu yang telah kita beli pada sebuah toko. Bahwa sepatu yang baru kita beli tentu awet dan akan terasa enak di pakai karena sepatu yang dulu dibeli di toko ini juga awet dan enak dipakai. Analogi ini menjadi lebih kuat lagi misalnya di perhitungkan juga persamaan harga, merek, dan bahannya.
3. Sifat dari analogi yang kita buat. Apabila kita mempunyai mobil dan satu liter bahan bakarnya dapat menempuh 10 km, kemudian kita menyimpulkan bahwa mobil B yang sama dengan mobil kita akan bisa menempuh jarak 10 km setiap satu liternya, maka analogi demikian cukup kuat. Analogi ini akan lebih kuat lagi jika kita mengatakan bahwa mobil B akan menempuh 8 km setiap satu liter bahan bakarnya dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa mobil B akan dapat menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya. Jadi semakin rendah taksiran yang kita analogikan semakin kuat analogi itu.
4. Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda semakin kuat keterpercayaan analoginya. Konklusi yang kita ambil bahwa ari adalah pendatang baru di universitas X akan menjadi sarjana ulung karena beberapa tamatan dari universitas tersebut juga merupakan sarjana ulung. Analogi ini menjadi lebih kuat jika kita mempertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para lulusan sebelumnya.
5. Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila tidak relevan sudah barang tentu analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Bila kita menyimpulkan bahwa mobil yang baru kita beli setiap liter bahan bakarnya akan enempuh jarak 15 km berdasarkan analogi mobil B yang sama modelnya serta jumlah candela dan tahun produksinya sama dengan mobil yang kita beli ternyata dapat menempuh jarak 15 km setiap liter bahan bakarnya maka analogi serupa adalah analogi yang tidak relevan.
D. Analogi yang menyimpang
Meskipun analogi merupakan corak penalaran yang popular namun tidak semua penalaran analogi merupakan analogi induktif yang benar. Ada masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak bisa diterima meskipun sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya. Kekeliruan ini terjadi karena membuat persamaan yang tidak tepat.
1. Kekeliruan pertama adalah kekeliruan pada analogi induktif. 
Contoh: saya heran mengapa orang takut berpergian dengan pesawat terbang karena sering terjadi kecelakaan pesawat terbang dan tidak sedikit meminta korban. Bila demikian sebaiknya orang jangan tidur ditempat tidur karena hamper semua manusia menemui ajalnya di tempat tidur
Disini naik pesawat ditakuti karena sering menimbulkan petaka yang menyenbabkan maut. Sedang orang tidur karena jarang sekali atau boleh dikatakan tidak pernah ada orang menemui ajalnya karena kecelakaann tempat tidur melainkan karena penyakit yang di idapnya. Jadi orang menyamakan dua hal yang berbeda.
2. Kekeliruan kedua adalah pada analogi deklaratif
Contoh: Negara kita sudah banyak berhutang. Dengan pembangunan lima tahun kita harus menumpuk utang terus-menerus dari tahun ketahun. Pembangunan lima tahun ini memaksa rakyat dan bangsa Indonesia seperti naik perahu yang sarat yang semakin tahun semakin sarat (dengan utang) dan akhirnya tenggelam. Saudara-saudara tidak ingin tenggelam dan mati bukan? Karena itulah kita lebih baik tiodak naik kapal sarat itu. Kita tidak perlu melaksanakan pemabngunan itu..
Disini seorang tidak setuju dengan pembangunan lima tahun yang sedang dilaksanakan dengan analogi yang pincang. Memang Negara kita perlu melakukan pinjaman untuk membangun. Pinjaman itu digunakan seproduktif mungkin sehingga dapat meningkatkan devisa Negara. Dengan demikian penghasilan perkepala akan meningkat di banding sebelumnya. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun sehingga peningkatan kesejahteraan rakyat akan tercapai. Pembicara disini hanya menekankan segi utangnya saja, tidak memperhitungkan segi-segi positif dari kebijaksanaan menempuh pinjaman.
Analogi menyimpang model kedua ini amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap pendengar.
E. Analisis kritis
Defenisi analogi adalah suatu proses penalaran dengan menggunakan perbandingan dua hal yang berbeda dengan cara melihat persamaan dari dua hal yang di perbandingkan tersebut sehingga dapat digunakan untuk memperjelas suatu konsep
Namun demikian, banyak pula orang memakai analogi yang ngawur dalam penalaran atau argumentasinya. Analogi ngawur adalah suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat suatu idea atau gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan idea atau gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan idea atau gagasan yang pertama tadi. Misalnya apabila seorang menyamakan kepala Negara dengan kepala manusia dipotong maka akan matilah manusia tersebut begitu pula apabila kepala Negara di bunuh, maka Negara itu akan hancur. Jelas contoh tersebut suatu analogi ngawur karena Dengan adanya sedikit pembahasan makalah ini maka diharapkan agar orang-orang yang memakai analogi ngawur itu bisa mengetahui arti analogi sebenarnya dan bisa menggunakan analogi dengan baik dan benar karena kita manusia yang berakal dan harus memanfaatkannya agar kita menjadi orang yang cakap pikir. Penggunaan analogi dengan baik dan benar akan sangat berguna. Ilmu berkembang berkat pemakaian analogi secara baik dan benar.
PENUTUP
Kesimpulan
a. Analogi dalam bahasa Indonesia ialah “kias” (arab:qasa:mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, Mundiri mengatakan analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari suatu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis. 
b. Analogi ada beberapa macam diantaranya:
1. analogi induktif
analogi induktif adalah analogi yang sdisusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada kedua fenomena, kemudian dicari kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Bentuk argument ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran yang mutlak
2. analogi deklaratif
analogi deklaratif disebut juga analogi penjelas yang merupakan m,etode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samara, dengan sesuatu yang sudah dikenal
c. Cara menilai analogi
1. sedikit banyak peristiwa sejenis yang dianalogikan
2. sedikit banyak aspek-aspek yang menjadi dasar analogi
3. sifat analogi yang kita buat
4. mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan
5. relevan dan tidaknya masalah yang di analogikan
d. Analogi yang menyimpang
 Meskipun analogi merupakan corak penalaran yang popular namun tidak semua penalaran analogi benar. Ada masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak bisa diterima meskipun sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya.
1. Kekeliruan pertama adalah kekeliruan pada analogi induktif
2. Kekeliruan kedua adalah pada analogi deklaratif


read more “Logika Analogi”

EPISTEMOLOGI



Secara bahasa, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari dua akar kata yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang pengetahuan.
Secara istilah dalam filsafat ilmu, epistemologi adalah pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi rumusan masalah sebagai berikut: apa sumber-sumber pengetahuan, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Mungkinkah manusia mendapatkan pengetahuan? Sampai manakah manusia mampu menangkap pengetahuan?
Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan, sedangkan metode ilmiah adalah ekspresi dari kegiatan berpikir yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif yang bertujuan untuk menghasilkan karakteristik-karakteristik pengetahuan ilmiah yaitu rasional dan teruji sehingga pengetahuan yang didapat adalah pengetahuan yang dapat diandalkan.
Manusia berpikir karena manusia menghadapi masalah empiris yang harus dipecahkannya. Proses berpikir bermula ketika manusia mengamati sesuatu, proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan objek masalah empiris yang oleh Van Peursen dibagi ke dalam tiga tahapan yakni tahap mistis, tahap ontologis kemudian tahap fungsional
Syarat utama yang harus dipenuhi oleh suatu teori ilmiah adalah mampu mendampingkan rasionalisme dan empirisme dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Maksudnya teori ilmiah harus konsisten dengan teori-teori keilmuan lainnya sehingga tidak terjadi kontradiksi antar teori, selain itu juga harus diujikan dengan fakta-fakta empiris (verivikasi) sehingga dihasilkan kecocokan antara teori dengan fakta. Dengan begitu maka suatu teori ilmiah dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Semua penjelasan rasional apapun yang diajukan namun belum teruji kebenarannya secara empiris maupun ilmiah makas statusnya hanyalah berupa hipotesis yakni bersifat sementara dan berfungsi sebagai penunjuk jalan guna mendapatkan jawaban, karena objek yang ditelaah (alam) adalah bisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Dengan adanya hipotesis ini maka metode ilmiah dikenal dengan proses logico-hypothetico-verifikasi.


read more “EPISTEMOLOGI”

PENDIDIKAN UNTUK HUMANISASI DAN HOMINISASI



Bagi ahli filsafat manusia Dr J Sudarminta (48), maksud dan tujuan pendidikan pada hakikatnya memiliki dua tujuan dasar. Kedua hal itu, katanya mengutip gagasan filosof Prof Dr N Driyarkara SJ (1913-1967), adalah proses membentuk sosok profil manusia dengan mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang sehat, normal, dan wajar kelakuannya. Tegasnya, praktik penyelenggaraan pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses humanisasi dan hominisasi. 
Dari arti katanya saja sudah jelas. Humanisasi berarti proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga punya mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu punya kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan tentu saja berbudaya. 
Menjadi manusia yang manusia dengan sendirinya mengandaikan orang itu juga berbudaya dan beradab (civilized). Nah, pendidikan yang bagaimana yang bisa membentuk orang menjadi berbudaya dan beradab. Jawabannya mengandaikan dua proses, yakni inkulturasi dan akulturasi. Yang pertama lebih mengacu pada proses internalisasi semua nilai-nilai tradisi serta upaya keras mengenal budaya sendiri, sehingga akhirnya orang bisa berakar kuat pada kebudayaannya sendiri. Yang kedua lebih mengacu kepada aspek keterbukaan, toleransi atas masuknya pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing. 
Pada konteks yang kedua inilah, penguasaan bahasa asing menjadi mutlak agar kita bisa berdialog dengan masyarakat dan budaya asing. 
Keduanya saling mengandaikan. Rasanya tak mungkin kita bisa dengan mudah menerima pengaruh budaya asing dan menjadi toleran terhadapnya kalau kita tidak punya pijakan kuat terhadap budaya sendiri. Di era global seperti sekarang ini sudah tak memungkinkan lagi bagi kita semua untuk hidup sendiri, terpisah dari pergaulan global. 
Saya pikir ada baiknya kita mengedepankan lima visi dasar pendidikan manusia abad ke-21 sebagaimana pernah diajukan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific, and Cultural Organization). Pertama, learning how to think (belajar bagaimana berpikir) yang memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan rasionalitas, keberanian bersikap kritis, mandiri, hobi membaca; kedua, learning how to do (belajar hidup) yang memuat aspek-aspek keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi memecahkan setiap masalah; ketiga, learning to be (belajar menjadi diri sendiri) yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bisa tumbuh berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan sekadar memiliki having (materi). 
"Being" dan "having", dua kategori filosofis yang mengacu pada cara berada manusia? Dua hal itu sebaiknya kita bedakan, karena sekarang ini orang modern dengan mudah bisa menyamakan keduanya seperti biasa kita lihat dalam slogan-slogan you are what you have! (pribadi Anda ditentukan menurut apa yang Anda miliki). Di sini having punya variasi begitu banyak seperti you are what you wear/ drive/eat..., dan seterusnya. 
Aspek keempat sesuai visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO adalah learning how to learn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir imaginatif - hal-hal yang barangkali malah tidak kita peroleh dari bangku sekolah. 
Sedangkan aspek kelima adalah learning how to live together (belajar hidup bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik dan budaya lain. Di sinilah pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi perlu diperhatikan. 
Justru di situlah masalah krusialnya. Kalau hanya tinggal rumusan bagus-bagus, ya, tak ada gunanya. Yang penting sekarang adalah bagaimana mengoperasionalkan gagasan-gagasan itu sedini mungkin, setidaknya di tingkat pendidikan dasar.


read more “PENDIDIKAN UNTUK HUMANISASI DAN HOMINISASI”

ISLAM BACKING FEMINISME



Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini.
Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.
Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu?
Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tak akan kita lepaskan dari kehadiran Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya.
Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah.
Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.
Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.
Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya.
Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.
Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka frame menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai way of live atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna. 
Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan "male dominated" sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari frame ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran.
Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena nonsens bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam.
Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama.
Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya. 
Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini.


read more “ISLAM BACKING FEMINISME”

GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Di abad pertengahan, pada umumnya kedudukan kaum wanita di benua Barat sangat terkungkung; baik dalam kehidupan rumah tangga sebagai isteri, apalagi yang berkenaan dengan hak-hak kemasyarakatan. Posisi kaum wanita pada saat itu tak begitu jauh bedanya dengan kedudukan perbudakan yang diperlakukan semena-mena. Pada waktu itulah timbul di benua Eropa gerakan perempuan yang dinamakan gerakan emansipasi. Ketika wacana teologis tentang perempuan dibuka dan menjadi diskursus yang cukup ramai, maka pembahasan dogma-dogma agama mulai muncul dan berkembang. Diawali dengan anggapan bahwa konstruksi gender dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dan ideologi yang dianutnya, maka wacana teologi gender mulai bergulir. Anggapan bahwa pemahaman agama bias gender membuat arah baru gerakan feminisme, di mana para feminis mulai menawarkan pemaknaan baru terhadap agama sekaligus membongkar dogma-dogma agama yang telah mapan dan dianggap membelenggu kaum perempuan. Hal ini hampir terjadi di semua agama. Menurut sebuah tulisan yang mengatakan bahwa pada tahun 1895 misalnya, Elizabeth Cady berkomentar dan pandangan Injil terhadap perempuan dalam tulisannya yang terkenal yaitu The Women Bible
Dia menganggap bahwa subordinasi terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat Barat waktu itu berakar dari ideology dan agama yang dipegang teguh masyarakat. Isu penting yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi tema sentral dan menarik untuk dibicarakan dan menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, perubahan sosial, dan juga persoalan pembangunan dan perubahan sosial. Sesungguhnya ini menjadi penting karena kaum perempuan dianggap punya andil dalam keberhasilan pembangunan, baik fisik apalagi moril. Dalam membicarakan persoalan gender pasti pikiran kita akan terus digiring terhadap eksistensi wanita, terutama yang berkaitan dengan persoalan hak-hak yang terabaikan. Istilah gender itu pada awalnya berkembang sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley, dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Terlepas dari analisis yang dijadikan sebagai acuan untuk setiap persoalan perempuan, penulis sengaja menggambarkan realita yang cukup diperhitungkan untuk diperbincangkan baik di kalangan kampus atau akademisi maupun obrolan ringan di setiap pertemuan.
Seiring dengan berkembangnya feminisme di dunia Islam, spirit serupa juga mulai muncul dari kalangan Islam pada decade 1980-an lewat tulisan Riffat Hasan dan Yvonne Haddad. Tokoh feminisme muslim ini semakin bertambah banyak dengan lahirnya buku-buku yang bernafas rekonstruksi pemikiran seperti yang dilakukan oleh Fatimah Mernisi, Ali Asghar E, Amina Wadud Muhsin, dan sebagainya. Ada banyak sebab mengapa feminisme di kalangan Islam juga berkembang, sebab yang paling nyata adalah karena kondisi di sebagian masyarakat Islam yang pemahaman, persepsi, dan perlakuan terhadap perempuan lebih banyak diwarnai oleh kultur lokal dibanding Islam. Mereka mengkritik pemahaman yang berkembang selama ini. Pemahaman masyarakat dan ulama khususnya terhadap hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an dianggap bias gender. Itulah sebabnya menurut mereka di masyarakat Islam masih ada fenomena penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum wanita. Feminis muslim memahami bahwa spirit Islam yang dibawa Rasul adalah untuk membebaskan kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan tersebut, seperti yang banyak dilansir dalam sejarah Islam dengan sebutan zaman jahiliyah.
Seperti satu klausul yang ditulis oleh Nazaruddin Umar dalam makalahnya yaitu: Di dalam memposisikan keberadaan perempuan, kita tidak sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi, meskipun Nabi telah semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu”. Dari pernyataan tersebut dapat dipastikan bahwa sebenarnya kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh Rasul untuk mengangkat perempuan dari penindasan dan ketidakadilan sangat terikat oleh kultur suatu komunitas masyarakat. Secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah proses yang terus berjalan dan tidak pernah berhenti atau berjalan ditempat. Amina Wadud dalam penelitiannya mengatakan bahwa, di bidang gender, para pemikir konservatif menafsirkan reformasi yang jelas, yang dilakukan Al-Qur’an terhadap praktik historis dan kultur, sebagai pernyataan yang sesungguhnya dan pasti tentang praktik tersebut untuk selamanya dan di manapun. Yang dibutuhkan adalah suatu pemahaman yang menganggap perubahan tersebut sebagai upaya membangun preseden untuk dikembangkan secara berkelanjutan menuju sebuah tatanan sosial yang adil. Tatanan sosial yang adil dan komprehensif tidak saja memperlakukan wanita secara adil, tetapi juga melibatkan wanita sebagai agen, yang bertanggung jawab untuk memberikan konstribusi terhadap semua persoalan yang berhubungan dengan masyarakat manusia. Menarik untuk dibicarakan, paling tidak sebagai upaya mengangkat harga diri kaum perempuan sehingga lebih disejajarkan dengan kaum laki-laki.
Ini merupakan salah satu perjuangan yang tidak akan bergerak mundur tetapi sebuah peningkatan konstribusi pemikiran secara ilmiah agar kaum perempuan benar-benar mendapatkan haknya dan tidak diterlantarkan. Persoalan gender memang begitu kompleks, analisis gender sebagai alat analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan. Karena persoalan gender sebenarnya adalah persoalan ideologi yang dianut oleh kaum laki-laki maupun perempuan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku, bukan terletak pada kaum perempuan itu sendiri.


read more “GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM”

GENDER DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA



Secara substansial, setiap agama mengemban misi pembebas. Semangat pembebas tersebut salah satunya tercermin dalam teks kitab suci dan teraktualisasi dalam kehidupan nyata oleh para pemeluknya. Namun demikian, sering kali terjadi kesenjangan yang luar biasa antara teks dalam kitab suci dengan teks penafsiran atas kitab suci.Umat beragama menempatkan penafsiran kitab suci setara pula dengan kitab suci itu sendiri, sama-sama sebuah kebenaran mutlak. Sikap seperti inilah sebetulnya yang kemudian melahirkan hegemoni, stagnasi, kejumudan, dan kebekuan, sekaligus bagi yang lain sebagai tantangan yang harus dilawan.
Dalam al-Qur`an (baca: Islam), persoalan gender, merupakan contoh nyata betapa antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi, sering terjadi benturan-benturan dan ketegangan. Hingga saat ini, keadilan gender, kesetaraan laki-laki dan perempuan, di masyarakat muslim masih beragam. Keberagaman ini penting untuk dikritisi, karena sama-sama mengklaim dirinya berpegang pada kitab suci al-Qur`an.
Islam sebagai sebuah agama – dalam intelectual discourse – dapat didekati dari tiga persepektif, yaitu: Islam Normative, Islam Interpretatif dan Islam Practice. Islam Normative adalah Islam yang didiskripsikan dalam teks al-Qur`an dan Al-Sunnah. Islam Interpretatif adalah gambaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh ulama melalui interpretasi mereka terhadap al-qur`an dan al-Sunnah. Sementara Islam Practice adalah gambaran Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh Ummat Islam. Harus diakui, bahwa Islam dalam pemahaman masyarakat yang terartikulasi dalam praktek keseharian sering kali berbeda bahkan bertolak belakang dengan Islam dalam wujud normative. Banyak hal mempengaruhi terjadinya perbedaan antara Islam Practice dengan Islam Normative, yang antara lain adalah disebabkan oleh konstruksi budaya yang terwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Kaum egalitis percaya pada kekuatan budaya dalam membentuk sifat manusia. Sehingga kesetaraan gender 50/50 yang memakai standar ukuran maskulin (materi, status dan power) hanya dapat dicapai dengan mengubah institusi budaya ‘nature” perempuan. Sifat yang selama ini dikaitan dengan figur perempuan memang tidak cocok untuk meraih 50/50, karena sifat ini bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan untuk meraih keberhasilan berdasarkan standar maskulin. Keberhasilan standar maskulin membutuhkan sifat-sifat independen, otonom, ambisi, agresif, mampu mengontrol keadaan, dan berorientasi linear progresif (perjalanan hidup sesperti garis lurus, tidak kembali ke titik asal). Sedangkan sifat-sifat feminin, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah segala sifat kebalikannya, keterikatan, dependen, berkorban, pengasuh, tidak mampu mengontrol keadaan, dan orientasinya sirkular (perjalanan hidup melingkar, yaitu kembali ke asal semula). 
Berangkat dari pandangan bahwa pemahaman agama amat dipengaruhi oleh konstruksi budaya di mana masyarakat tersebut hidup, maka salah satu aspek krusial di Aceh mendapatkan imbas langsung dari warisan budaya tentang perbedaan antara Islam Normative dengan Islam Practice adalah berkaitan dengan "dunia kaum perempuan". Di Aceh, banyak ditemukan cerita-cerita tentang peran dan posisi perempuan, baik dalam konteks sebagai isteri, ibu rumah tangga, maupun peran sosial yang boleh dan tidak boleh mereka terlibat aktif di dalamnya. Selain dalam bentuk cerita rakyat, tuntunan bermuatan nasehat dan suri tauladan untuk anak perempuan dan remaja juga menjadi bahagian keseharian kehidupan mayarakat. Sayangnya, pandangan tersebut diterima oleh masyarakat sebagai "sebuah keyakinan agama" tanpa melalui proses penyeleksian, tanpa mempertanyakan kebenaran, dengan kata lain, diterima sebagai sesuatu yang benar dan difahami sebagai anjuran dan bimbingan agama Islam.
Ironisnya, masyarakat pada umumnya banyak yang menganggap budaya sebagai agama, sehingga praktek adat istiadat dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi budaya patriarkhi yang sangat mengakar dalam masyarakat Islam di semua sektor kehidupan, yaitu politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan moral.
Dalam bidang ekonomi, pada masyarkat dengan budaya patriarkhis, perempuan adalah subordinat dari laki. Laki-lakilah yang menguasai semua anggota keluarga, menguasai sumber-sumber ekonomi. Perempuan dalam sistem ini tidak mempunyai akses ekonomi, sehingga tidak dapat mandiri secara ekonomi dan pada gilirannya sangat tergantung secara psikologis pada suami. Di kalangan masyarakat patriarkhis, budaya yang menempatkan posisi perempuan sebagai pengikut laki-laki begitu kuatnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk subordinatif, perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin masyarakat. Tradisi ini masih dianut bahkan setelah datangnya Islam, karena mereka tidak begitu saja lepas dari struktur budaya yang patriarkhis. Hal ini menyebabkan termarginalkannya peran politik perempuan. Misalnya dalam budaya Jawa (etnik yang mayoritas menyebar di kepulauan Indonesia), perempuan dinggap tidak patut tampil memimpin, karena mereka menganggap tidak mungkin ada perempuan yang hatinya lurus dalam hal kepandaian dan kekuatan. Perempuan hanyalah seperdelapan dinding laki-laki.
Selama ini, pencitraan laki-laki dalam Islam sebagai sosok pemimpin atau kepala keluarga di kalangan masyarakat Indonesia masih terbius dengan acuan akar budaya paternalis-maskulinitas yang diisi dengan muatan-muatan hierarkis dalam nuansa hubungan laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan yang dipimpin, pendominasi dan yang didominasi, pelindung dan yang dilindungi serta serentetan hierarkis lainnya yang menempatkan perempuan dalam posisi ketidak-setaraan. Bahkan pencitraan ini didukung oleh ayat-ayat al-Qur`an yang diinterpretasikan sedemikian rupa dan diyakini sebagai legitimasi teologis oleh masyarakat muslim Indonesia.
Sebagai pemimpin, maka tugas-tugas laki-laki ada di publik. Sehingga masyarakat muslim mengkondisikan bahwa dunia domestik diperuntukkan bagi kaum perempuan. Lalu, berkembang anggapan bahwa tugas perempuan hanyalah mengurus rumah tangga dan bekerja di luar rumah. Anggapan tersebut berimplikasi kurangnya dorongan bagi keluarga untuk membekali pendidikan anak gadisnya, dengan alasan bahwa perempuan bagaimanapun tinggi pendidikannya pasti akan kembali kedapur. Kemudian asumsi ini dikukuhkan oleh masyarakat. Dan alasan ini pun dijadikan legitimasi bagi masyarakat muslim menengah ke bawah yang merasa kesulitan dalam bidang ekoonomi untuk memprioritaskan anak laki-laki mereka dalam pendidikan. 

Identifikasi Agenda Masalah Agama Yang Strategis
Dengan menekuni persoalan-persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian. Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal, pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan, seperti ayat Tuhan dalam al-Quran, surat al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi: Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling takwa. Masih banyak lagi ayat al-Quran yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidak sobordinasi terhadap kaum laki-laki, seperti surat al-Taubah ayat 71; al-Nisa` ayat 123; surat Ali Imran ayat 195 dan surat al-Nahl ayat 97. 
Kedua, pemahaman yang bias gender selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap separoh dari kaum laki-laki. Untuk membahas ini perlu dilakukan analisis konteks sosial terhadap struktur sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan, sehingga pemahaman masalah waris dan kesaksian tidak bertentangan dengan prinsip keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat di atas. Umumnya mereka yang menekuni masalah keadilan gender tidak melihat angka pembagiannya, melainkan semangat keadilannya. Sehingga demi mencapai keadilan, merubah angka yang sesuai dengan sistem dan struktur sosial dewasa ini pun perlu dilakukan.
Ketiga, segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi maupun reproduksi, yakni untuk mengontrol organ reproduksi mereka. Oleh karena itu, usaha untuk menafsirkan kembali agar terjadi keadilan gender dalam hak-hak reproduksi perlu mendapat perhatian. Di antara agenda mengenai penafsiran hak-hak reproduksi ini meliputi: Hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau menolak penggunaan organ reproduksinya. Mulai dari menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Hak untuk memilih pasangan. Dalam kenyataan masih banyak beredar keyakinan di masyarakat Islam bahwa orang tua (dalam hal ini ayah) memiliki hak menentukan jodoh (ijbarI) bagi anak gadisnya. Kajian tentang hak-hak perempuan untuk menentukan nasib jodohnya ini juga perlu diagendakan. Hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual. Dalam pandangan Islam yang bias gender, kaum perempuan secara seksual dimiliki dan dikontrol oleh kaum laki-laki dan tugas utama isteri adalah melayani. Meskipun tidak jelas dari mana pandangan ini datangnya, namun hubungan seksual bagi kaum perempuan lebih dikonstruksikan sebagai kewajiban belaka. Oleh karena itu perlu dilakukan dekonstruksi terhadap tafsir dan ajaran fikih yang menolak segenap jenis ketidakadilan gender dalam bentuk pelecehan seksual (sexual harassment), pemerkosaan terhadap isteri (marital rape) yang masih menjadi masalah kontroversial tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tafsiran agama mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya, yaitu dalam usaha menegakkan keadilan gender. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian ulang terhadap keseluruhan tafsir agama dan implikasinya terhadap ajaran dan prilaku keagamaan. Kajian tersebut menyangkut identitas akar permasalahan dan strategi pemecahannya.
Suatu strategi advokasi bisa dipinjam untuk melakukan proses penyadaran dan penafsiran ulang dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut: apabila persoalannya terletak dalam pengertian ayat al-Quran atau bunyi hadis, maka yang perlu dilakukan adalah penafsiran ulang terhadap ayat tersebut dengan perspektif gender, penelitian terhadap autensitas hadis tersebut, untuk menemukan hadis yang lebih sahih. Ini berarti memerlukan usaha yang melibatkan antara ulama dengan berbagai orang dan dengan bermacam-macam disiplin ilmu yang mempunyai perspektif gender.
Namun, jika persoalannya terletak pada penafsirnya, yakni dalam pemahaman para ulama yang memiliki otoritas penafsiran, maka perlu diadakan pendekatan dan pendidikan atau lokakarya guna membahas analisis gender bagi kalangan otoritas ilmu keagamaan tersebut. Kegiatan ini berarti melibatkan mereka yang dianggap memiliki otoritas ilmu keagamaan dalam memahami dan mendesiminasikan wacana keadilan gender dalam Islam. Akan tetapi jika persolannya terletak pada kultur masyarakat agama yang melanggengkan ketidakadilan gender, yang diperlukan adalah suatu usaha kampanye dan pendidikan massa tentang masalah gender yang dilakukan oleh semua pihak yang peduli terhdap masalah keadilan, termasuk melibatkan para ulama.
Untuk itu, sudah saatnya lembaga keagamaan dan pendidikan serta lembaga kajian keagamaan memiliki bagian “pengkajian perempuan” sebagai wadah yang memberi ruang untuk mengkaji persoalan kedudukan perempuan dalam agama. Dalam masyarakat Islam misalnya, perlunya kajian perempuan di pesantren maupun dilembaga pendidikan tinggi Islam. Melalui lembaga kajian seperti ini kemungkinan lahirnya tafsir maupun fikih perempuan yang berperspektifk keadilan gender terbuka lebar.

Bagi sebagian besar orang di Indonesia ini, saya yakin mereka akan menjawab Yes, dengan lantang. Siapakah mereka itu? Mereka adalah kaum tetua yang sebagian besar perempuan—terbukti data menyebutkan lebih banyak janda tua dan hanya seberapa persen duda tua, orang tua kita masing-masing and of course KITA, generasi yang masih mau dibilang beradab, walaupun banyak juga yang udah gila dan sinting mau negrusak badan mereka dengan miras dan naza (they really nuts!!!!!!!!!).
Lalu, kenapa saya masih mempertanyakan apakah virginitas itu penting, padahal saya tau sekeliling saya dan mungkin sekeliling anda-anda, masih sangat menganggap virginitas itu penting. Jawabannya akan kita temukan dibawah ini.
Selama ini kita gak pernah sadar bahwa kita telah hidup di zaman yang biadab, dan selama berabad-abad lamanya, kita yang pastinya kaum perempuan tanpa sadar selalu hidup di bawah bayang-bayang para laki-laki. Tahukah kalian bahwa R.A Kartini pun yang bapaknya itu seorang Bupati dan dekat dengan Belanda masih harus mengalami pingitan. Perempuan Jawa saat itu dianggap warga kelas dua, bahkan tiga atau empat mungkin, karena menurut saya, manusia yang dilahirkan tetapi tidak mendapatkan haknya sebagai manusia penuh untuk mendapatkan akses dan fasilitas apapun sama saja ia seperti binatang, bahkan dibawah binatang karena binatang saja masih bisa hidup bebas semau mereka. Lalu, apakah selang emansipasi wanita yang ditelurkan Kartini, lantas telah membuat wanita Indonesia punya bargaining position terhadap pria? Oh, sangat jauh dari itu. Masih banyak perempuan, baik dari kalangan atas sampai bawah tereksklusi secara sosial. Akibat apakah ini semua? Akibat Budaya, bernama PATRIARKI. 
Kontruksi sosial telah hadir sejak kita lahir, konstruksi sosial yaitu budaya patriarki tersebut difasilitasi oleh sosialisasi peran gender dalam setiap keluarga. Sosialisasi ini memang telah membedakan peran laki-laki dan perempuan, dan mirisnya peran perempuan selalu inferior dan subordinat, dibawah kekuasaan para laki-laki. Maka gak heran kan, kalo banyak orang, bahkan kaum perempuan itu sendiri, mengakui bahwa mereka lebih lemah daripada laki-laki, dan untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, masih menganggap wajar jika pacarnya atau suaminya mendominasi hubungan mereka, mereka menganggap hal itu adalah sebuah wujud bakti, tunduk dan patuh mereka sebagai seorang perempuan dan mereka terima karena memang sudah kodrat perempuan seperti itu. Padahal relasi sosial yang tidak seimbang tersebut, telah membawa perempuan pada keterpurukan dengan potensi pelecehan seksual. 
Guys, coba deh lo pikir lagi, perempuan itu sama dengan laki-laki dalam ranah sosial, kita adalah manusia seperti laki-laki. Kita diciptakan dengan daging dan darah yang sama oleh Tuhan kita. Mitos bahwa salah satu tulang rusuk Adam diambil untuk menciptakan Hawa sangat jauh dari kebenaran. Yang ada dalam Al-Qur’an itu adalah Tuhan menciptakan manusia dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya (penggalan QS. An-Nisa: 1). Maksudnya dari diri yang satu disini adalah bukanlah Adam, tapi Adam dan Hawa diciptakan Allah dari diri yang satu yaitu dari jenis yang sama—perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dari jenis yang sama yaitu manusia, bukan binatang, maupun tumbuhan (dikutip dari Fauzi Ahmad Muda. “Perempuan Hitam Putih”). 
Lalu apakah manusia pernah tahu apakah Tuhan menciptakan Adam baru setelah itu Hawa yang katanya untuk menemani Adam, ataukah Adam dan hawa diciptakan secara bersama-sama?—kalo memang Adam dan Hawa diciptakan secara bersama-sama bukankah seharusnya kita punya bargaining position yang lebih baik dari sekarang. Atau bisa juga kan sebelum Adam itu hadir dimuka bumi, udah ada makhluk yang berjenis manusia hadir duluan, cuma mungkin komposisi otaknya gak secerdas Adam dan Hawa. Jadi wanita tetep punya bargaining position terhadap pria dong. 
Banyak juga yang mempersalahkan bahwa Hawa lah penyebab Adam dan Hawa terusir dari Surga kemudian turun ke Bumi. Picik banget ya orang berpikir seperti itu. Karena menurut saya itu mungkin aja bagian ketetapan Allah, karena dalam QS. Al-Baqarah: 30, Allah berfirman bahwa Ia hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Nah, kalo Adam gak turun ke Bumi maka Allah gak mungkin juga kan menurunkan surat itu kepada manusia. 
Trus lo tau gak, kalo Al-Qur’an itu sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender lho! Salah satu contohnya dalam penggalan QS. Al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan……” Entah itu siapa seorang laki-laki dan seorang perempuannya tapi dari sana kita bisa lihat kan kalo Allah menyetarakan laki-laki dan perempuan, kalo secara logika sih tanpa ada perempuan seorang keturunan gak akan lahir, dan begitu sebaliknya tanpa ada laki-laki seorang keturunan juga gak akan lahir. Jadi, gak bener kan kalo seorang istri lebih harus patuh kepada suaminya, suami juga harus patuh dong sama istri. Intinya bisa saling menjaga, menghormati, dan menghargai perasaan masing-masing. Hal ini pun dipertegas juga dalam QS. An-Nisa: 19, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 
Pola-pola pemikiran yang mendiskreditkan perempuan nyatanya terus hadir di masyarakat, seperti misalnya, banyak istri yang diselingkuhin oleh suami-suami mereka terkesan disalahkan padahal mereka adalah korban. Masih banyak yang berkata seperti ini, “Ya, memang si suami yang salah, tapi, istrinya juga sih yang gak bisa jaga suami, gak pinter dandan, gak pinter ngelonin suami, gak bagus mainnya di tempat tidur, gak ini, gak itu, yang menunjukkan bahwa seorang istri harus perfect, harus bisa kerja plus ngurus anak, beresin rumah, ngurus suami yang banyak maunya, kalo hal tersebut gak dilakukan, maka serentet hal tidak menguntungkan harus diterima istri. Trus gimana dengan suami? Mereka gak harus apa-apa toh, mereka cuma harus kerja, tapi kalo penghasilannya ga mencukupi, apa istri bisa marah, apa trus kalo istrinya jadi selingkuh karena suami gak bisa ngasih nafkah, suaminya jadi digunjingin, bukannya malah istri yang dibilang, dasar istri gak tau diri, bukannya nolongin suami saat kesusahan, tapi malah cari cowok lain. Kenapa dunia ini begitu tidak adil terhadap perempuan? Kenapa perempuan selalu disalahkan dalam kondisi dan situasi apapun? Kenapa perempuan gak pernah punya pilihan dalam hidupnya? Kenapa mereka harus banyak mempertimbangkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hatinya? dan mengapa dengan keadaan yang sebegitu tidak adilnya, perempuan masih tidak sadar bahwa mereka telah banyak didominasi pria, perempuan-perempuan itu masih rela berlindung diketiak suami yang notabene telah banyak menyakiti hatinya. 
Dari serentet penjelasan tersebut, pasti anda bertanya, trus apa hubungannya dengan virginitas? Jelas sekali ada hubungannya, karena akibat kontruksi sosial tersebut, banyak dari perempuan yang di dominasi laki-laki, akhirnya harus menanggung segala bentuk kekerasaan karena ketidakpuasan mereka terhadap kita sebagai perempuan. Hal itu menjadi bentuk kejahatan yang berganda, ketika laki-laki melakukannya dalam kegiatan seksual—pemenuhan hasrat seksual mereka. Ketidakpuasan dalam tindakan seksual itu bisa berarti sebuah perkosaan. 
Ternyata, perkosaan tidak hanya terjadi antara wanita dengan orang-orang yang tidak mereka kenal (eksploitation rape), perkosaan pun juga kerap kali dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita dan sangat kita sayangin. Bagi para perempuan yang pernah merasa dipaksa berhubungan seksual oleh pacar mereka, mereka telah masuk dalam perkosaan jenis dating rape, (bayangkan teman, bahkan kalian gak tau kan kalo ternyata pemaksaan seksual yang dilakukan oleh pacar-pacar kita itu masuk dalam jenis perkosaan). Untuk para istri yang juga telah dipaksa suami untuk melakukan berbagai macam gaya dalam kegiatan seksual yang sebenarnya membuat istri tidak berdaya dan diperlakukan seperti binatang, pernah kan kita denger, gaya doggy style atau apapun, apakah semua istri menyukai hal tersebut, atau cuma supaya suami seneng, supaya suami mendapatkan kepuasan seksual, dan tidak sebaliknya. Maka para istri tersebut telah masuk dalam jenis marital rape. 
Bisa kalian bayangkan kan gimana susahnya jadi seorang perempuan di dalam budaya patriarki ini. Kita sering menganggap apa yang dilakukan oleh pacar atau suami adalah hal yang wajar, padahal kita tahu bahwa mereka telah sangat menyakiti diri kita. Ketika ternyata pacar kita telah berhasil merenggut keperawanan kita, apakah itu totally our faults karena begitu bodoh percaya dengan lelaki bejat. Apakah kita harus terus disalahkan, padahal kita adalah korban dari pacar atau suami kita? Kenapa bukan laki-lakinya sih yang memang disalahkan secara penuh bahwa mereka yang tidak bisa menjaga hawa nafsu, dan dengan kekuasaan yang ada di diri mereka dan dilegalkan oleh konstruksi sosial yang ada, mereka bisa dengan gampang kan melakukan tindakan itu terhadap pacar maupun istri mereka. Masih mau, nganggep perempuan itu yang bodoh, gak bisa jaga virginitasnya? 
Setiap orang tua selalu berkata, “nak, ati-ati jaga diri, perempuan itu ada bekasnya, tapi laki-laki bisa seenaknya nojos sana-nojos sini tanpa ada bekasnya”. Enak banget ya jadi laki-laki, bisa melakukan apa yang mereka inginkan tanpa harus berpikir panjang tentang kehidupan si perempuan kedepannya. Sedangkan perempuan harus terus berpikir dalam semua tindakannya dan dengan susah payah menjaga virginitasnya tetapi lenyap begitu saja oleh sang pacar yang bejat. Apakah itu bukan sebuah kejahatan bagi perempuan?
Maka dari itu, untuk laki-laki yang masih menganggap virginitas penting dan gak mau menikah dengan perempuan yang gak virgin, coba mikir ulang deh. Kasihan kan perempuan itu, penderitaan mereka udah banyak banget. Masih mau seneng-seneng diatas penderitaan berjuta-juta perempuan yang kehilangan virginitas akibat kekerasan seksual? Masih mau minta wanita yang perfect dan dapat memenuhi semua kemauan kalian sebagai laki-laki? 
Hal yang saya ingin tekankan disini adalah, selama kita masih hidup di budaya patriarki yang susah pudar, maka wanita akan tetap menjadi nomor dua dan terus dilecehakan, mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan ketidakpuasaan seksual laki-laki, hingga harus kehilangan keperawanannya. Bagaimanapun juga, virginitas itu penting untuk dijaga oleh wanita, tapi mohon jangan sepenuhnya menyalahkan wanita kalo ia telah kehilangan keperawanannya. Karena sebagian besar dari mereka adalah korban pelecehan seksual dalam masa pacaran (dating rape). 


read more “GENDER DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA”

Guru dan Problem Pendidikan



Apabila kita mencoba melakukan refleksi mendalam, kita temukan berbagai persoalan muncul silih berganti melanda dunia pendidikan nasional kita, baik yang berskala mikro maupun yang makro. 
Selain tantangan yang amat berat utamanya dalam upaya menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global, juga masih dihadapkan pada dampak buruk dari krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan di segala jalur jenis dan jenjang pendidikan.
Salah satu permasalahan esensial pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Berdasar hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, saat ini kita berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti. 
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif.
Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul. 
Bahkan untuk yang terakhir ini, menurut Dirjen Mandikdasmen pemerintah menyediakan dana blockgrant Rp 500 juta pertahun selama lima tahun. Namun demikian sampai saat ini tanda-tanda bahwa dunia pendidikan kita semakin membaik tidak kunjung muncul indikasinya. 
Pertanyaannya, mengapa sampai saat ini mutu dunia pendidikan nasional kita masih memprihatinkan dan apa akar persoalan yang menyebabkan semua itu terjadi?

Guru: Pihak yang Tertuduh
Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. 
Namun begitu guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan.
Guru memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 
Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan (output) melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya.
Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan. 
Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keniscayaan yagn tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas - sudah barang tentu - mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan. 
Upaya pengembangan itu memang merupakan suatu keharusan, mengingat tuntutan standar kualitas serta kebutuhan di lapangan juga terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era global ini.
Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan. 
Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a).
Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (satu) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
Dua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Tiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. Empat, guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar dari pengalamannya. Lima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional - seorang guru yang sejati - harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu. 
Prinsip bahwa tanpa ilmu pendidikan maka praksis pendidikan menjadi semu, menyesatkan dan membahayakan bangsa. Tetapi bagaimana realitasnya? 
Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan. 
Betapa tidak, lihat misalnya kasus KBK, sistem SKS, dan yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah persoalan sertifikasi dan uji kompetensi guru. Sertifikasi dan uji kompetensi guru hanya memenuhi tuntutan dunia modern, budaya global, logika bisnis, dan reaktif-pragmatik. Reaktif karena harus memenuhi tuntutan globalisasi, pasar terbuka dan persaingan bebas. Pragmatik, karena dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah aktual yang pada dasarnya sangat teknis. 
Itu memang penting, tetapi yang lebih penting lagi perlu ada pemahaman bahwa pendidikan lebih dari itu, tidak hanya menyelesaikan persoalan aktual, tetapi persoalan kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan harus mampu membekali peserta didiknya dengan kemampuan individual, lokal, sehingga menjadi warga negara yang mandiri dan berdaya, serta menjadi lebih antisipatif-humanistik.
Persoalan lain yang tidak kalah essensialnya yang menyebabkan mutu pendidikan semakin memprihatinkan adalah kecenderungan kita mengambil konsep dari luar, tanpa mau memahami konteksnya yang lebih luas dan implikasinya yang lebih jauh. Asal saja kita mendengar ada suara dari luar yang agak aneh, KBK, sertifikasi, lesensi, standarisasi, misalnya, kita cepat menerimanya sebagai "pasti bagus". Padahal konsep yang kita anggap bagus saat ini itu di negara mereka merupakan konsep yang sudah lama ditinggalkan. Mereka selalu bergerak dan maju terus kita selalu menunggu hasil dokumentasi dan menyesuaikannya. Akibatnya kita senantiasa berkembang denegan ketertinggalan yang berkelanjutan.


read more “Guru dan Problem Pendidikan”